11/17/07

حوار هدئ











حــــوار هـــــدئ
( عـــــن العــقـيـــــــدة )


DIALOG SANTAI
( TENTANG AQIDAH )

Segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya , sehingga sampai saat ini saya masih mampu mengerakkan jemari tanganku untuk mengoreskan sebuah makalah ringan namun sarat dengan nasehat yang amat berharga, dan patut untuk kita renungkan, yaitu sebuah diskusi tentang aqidah & tauhid yang harus di yakini oleh seorang muslim yang di rangkum dalam sebuah dialog santai. makalah ini ana nukil dari kitab " tafsir al isryil akhih minal qur'anil karim min kitab zubdatu at tafsir ( tafsir sepersepuluh dari alqur'an dari kitab zubdatu tafsir bagian hukum-hukum penting bagi muslim,ada pada saya kitab berbahasa arab & terjemahannya bahasa indonesia ) yang diterbitkan oleh kantor dakwah dan penyuluhan untuk para pendatang ( ISLAMIC CENTER) kota JUBAIL – DAMMAM – KSA , dan buku tersebut mendapat tazkiyah dari sejumlah ulama dan para penuntut ilmu di dunia untuk info , donasi, partisipsi atau permintaan buku bisa kunjungi link : www.tafseer.info atau kirim email ke: ind@tafseer.info.

A. KEMUSRIKAN DIAWALI DENGAN GHULU' KEPADA ORANG-ORANG SHALEH
Seorang laki-laki bernama ABDULLAH ( hamba Allah ) bertemu dengan seorang laki-laki lainya bernama ABD AN-NABI ( hamba nabi ). dalam hatinya abdullah mengingkari nama rekannya ini, dan berkata :"bagaimana munkin seseorang menjdi hamba selain Allah "? Lalu dia berbicara kepada ABDUL AN NABI seraya berkata :" apakah anda menyembah / beribadah, selain kepada Allah ?
ABD AN NABI : tidak saya tidak beribadah selain kepada Allah, saya seorang muslim dan saya hanya menyembah Allah semata".
ABDULLAH : "jadi nama apakah ini yang serupa dengan nama-nama orang cristian seperti ABDUL AL-MASIH, ( hamba yesus) ? hal ini tidak aneh, karena orang cristian menyembah isa orang yang mendengar nama anda akan terlints di benaknya bahwa anda menyembah nabi, dan ini bukan aqidah seorang muslim terhadap nabinya , akan tetapi kewajiban seorang muslim adalah meyakini bahwa muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya".
ABD AN NABI berkata : tetapi Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baiknya manusia dan penghulu para Rasul , dan kami diberi nama ini karena mengharapkan berkah dan agar mendekatkan diri kepada Allah dengan kehormatan dan kedudukan beliau ( nabi) di sisi-NYA, dan meminta syafaat kepada beliau , jangan heran karena saudaraku juga namanya ABD AL-HUSAIN dan bapakKu namanya ABD AL-RASUL. memberikan nama seperti itu sudah ada sejak jaman dahulu dan sudah tersebar pada banyak orang, kami dapati kakek-kakek kami seperti itu, maka anda jangan terlalu extrim dalam masalah ini , karena ini urusan yang gampang, dan agama ini mudah.
ABDULLAH berkata : " ini adalah kemungkaran lain yang lebih besar dari kemungkaran yang pertama, yaitu meminta kepada selain Allah sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik orang yang diminta itu adalah Nabi Muhammad sendiri atau orang sholeh yang kedudukannya di bawah beliau seperti HUSAIN atau lainya, perbuatan ini bertentengan dengan tauhid yang di perintahkan oleh Allah kepada kita dan juga bertentangan dengan kandungan " laa ilaaha illa allah".
saya akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda , agar tampak jelas betapa besarnya perkara ini, dan dampak negatif yang timbul akibat pemakaian nama tersebut dan sejenisnya, saya sama sekali tidak mempunya tujuan ataupun maksud lain kecuali untuk menegakkan kebenaran dan mengikutinya, menerangkan kebatilan dan menjauhinya, serta 'amar makruf nahi mungkar' . hanya kepada Allah tempat meminta tolong dan hanya kepadaNya bertawakal , tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, akan tetapi sebelumnya saya akan menginggatkan anda dengan sebuah firman :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51)
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung ( QS An nuur 24:51 ) .

firman Allah :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian ( QS An nisa' 4:59 ).

B. ORANG MUSRIK MENGAKUI TAUHID RUBUBIYYAH.
ABDULLAH : anda mengatakan bahwasannya anda mengesakan Allah, dan bersaksi laa ilaaha illa allahu, bisakah anda menerangakn maknanya kepadaku .
ABD AN NABI : tauhid itu adalah : anda percaya Allah ada, Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi , Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah yang mengatur alam semesta, dan Dia-lah yang Maha Memberi Rikzi , Maha Mengatur Alam Semesta , Maha Mengenali ( segala sesuatu ) lagi Maha Kuasa.
ABDULLAH : kalau hanya itu hakekat AT Tauhid , pastilah Fir'aun dan kaumnya , Abu jahal dan yang lainya adalah orang yang mengesakan Allah , karena mereka mengetahui hal ini sebagaimana kebanyakan orang musrikin, Fir'aun yang mengaku-ngaku dirinya sebagai tuhan , jauh dari lubuk hatinya mengaku dan percaya bahwa Allah itu ada , Dia-lah Yang Maha Mengatur Alam semesta , sebagaimana firman Allah :
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya ( QS An Naml 27:14 ).
pengakuannya ini nampak jelas ketika dia akan tengelam akan tetapi sebenarnya tauhid yang oleh karenanya di utus para Rasul diturunkan kitab-kitab dan di perangai kaum Quraish adalah tauhid yang berarti mengesakan Allah dalam peribadatan افراد الله بالعبادة) ) dan makna ibadah itu sendiri adalah : اسم جامع لكل ما يحب الله و يرضاه من الأقوال و الأعمال الظاهرة و الباطنة
nama-nama ( sebutan ) yang mencakup semua apa-apa yang di cintai dan di ridhai olah Allah baik berupa perkataan , atau perbuatan yang lahir ( nampak ) ataupun yang batin ( tersembunyi ) kata illah ( اله ) dalam kalimat لا اله الا الله artinya adalah المعبود yang di sembah ( di ibadahi ) yang ibadah itu tidaklah patut & layak dilakukan kecuali kepadaNya.
tahukan anda kenapa para rasul di utus kebumi dan yang pertama kali adalah nabi Nuh As ?
ABD AN NABI :" agar mengajak orang musrikin beribadah kepad Allah semata dan meningalkan segala sekutu baginya ".
ABDULLAH :"lalu apakah sebab terjadinya syirik pada kaum kaum nabi Nuh As ?
ABD AN NABI :" saya tidak tahu "!?
ABDULLAH :"Allah mengutus nabi Nuh kepada kaumnya tatkala mereka menyanjung dan mengkultuskan orang-orang shaleh diantaranya : wadd, suwa, yaghust, ya'uq dan nasr ( lihat QS nuh 71:23 pent.).
ABD AN NABI :"maksud anda bahwa Wadd, Suwa', yaghuts, Ya'uq dan Nasr dan lainya merupakan nama-nama orang shaleh dan bukan nama-nama tirani kafir ?'
ABDULLAH :"Ya, ini adalah nama-nama orang shaleh yang di jadikan oleh kaumnya Nabi Nuh AS sebagai tuhan , lalu di ikuti oelh bangsa arab, dalilnya adalah apa yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas RA ia berkata :" Berhala-berhala yang dulu ada pada kaum nabi nuh AS kemudian menjadi berhala di bangsa arab ( berhala) Wadd kepunyaan kabilah Kalb di Daumah Al-Jandal, dan (berhala) Suwa' dimiliki oleh kabilah Hudzail, adapun ( berhala) Yaghust pertama kalinya kepunyaan Murad, kemudian menjadi milik bani Ghuthaif di Al-Juff dekat saba', dan ( berhala) Ya'uq kepunyaan kabilah Hamdan, sedangkan Nasr dimiliki oleh kabilah Himyar keluarga Dzi al Kila' mereka itu adalah nama-nama orang shaleh dari kaum nabi Nuh AS, setelah mereka mati , syaithan membisikan kepada kaum mereka untuk membuat patung di majlis-masjlis dimana mereka biasa duduk, dan patung-patung tersebut diberi nama mereka masing-masing, hal ini mereka lakukan, dan pada waktu itu belum sampai disembah , sampai suatu ketika generasi itu binasa (meninggal semuanya pent.) dan ilmu agama lenyap, maka patung-patung itu akhirnya di sembah ( HR Bukhari )
ABD AN NABI :"ini perkataan yang aneh !"
ABDULLAH :" Maukah aku tunjukkan yang lebih aneh lagi !? anda mengetahui bahwasanya penutup segala nabi adalah Nabi Muhammad SAW telah di utus oleh Allah kepada kaum yang beristighfar, beribadah, melakun thowaf, sai , melaksnakan ibadah haji, dan bersedekah, akan tetapi mereka menjaadiakn sebagian makhluq sebagai perantara antara mereka dengan Allah , mereka berkata : kami menginginkan agar mereka dapat mendekatkan diri kami kepada Allah, dan kami menginginkan syafa'at mereka disisi Allah,seperti para malaikat , nabi isa dan orang-orang shaleh lainya, maka Allah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaharui agama bapak mereka yaitu nabi ibrahim, belaiu menyampaikan kepada mereka bahwa pendekatan diri dan kepercayaan ini merupakan hak yang khusus hanya untuk Allah, tidak sedikitpun ada yang memberi rizki kecuali Dia , tujuh langit beserta isinya dan tujuh bumi beserta isinya adalah hamba-Nya, berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya, bahkan berhala yang mereka sembah pun mengakui bahwa sesungguhnya mereka berada di bawah kepemilikan dan pengaturan-Nya "
ABD AN NABI: " perkataan ini berbahaya dan aneh , mana dalilnya ?
ABDULLAH :"dalilnya banyak sekali diantaranya firman Allah Ta'alaa:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (31)
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)? ( QS yunus 10:31).
Firman Allah ta'alaa:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)
84. Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?"85. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"86. Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"87. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." atakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"88. Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui?"89. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu? (QS Al Mukminuun23:84-89)
orang-orang musrik dulu bertalbiyyah dalam melaksanakan haji dengan berkata:
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك الا شركا هو لك تملكه و ماملك
kami sambut pangilan-MU ya Allah, kami sambut pangilan-MU , kami sambut pangilan-MU, tiada sekutu bagimu kecuali satu sekutu untuk-MU Engkau memilikinya dan apa yang di milikinya.
pengakuan orang musrik Quraish bahwa Allah lah yang mengatur alam semesta atau yang dikenal dengan tauhid RUBUBIYYAH , tidak menjadikan mereka masuk islam, dan juga pengakuan mereka bahwa yang mereka tuju adalah para malaikat, para nabi dan para wali, menginginkan syafa'at mereka dan supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tersebut perbuatan itulah yang menjadikan darah & harta mereka halal ( karena kafir pent.), maka dari itu wajib hukumnya berdoa, nadzar, sembelihan, dan minta tolong serta seluruh jenis ibadah hanya di tujukan hanya kepada Allah.

C. TAUHID ULUHIYYAH POKOK DAKWAH PARA RASUL
ABD AN NABI: "apabila Tauhid itu bukan sekedar mengakui adanya Allah, dan pengaturan-Nya terhadap alam semesta ini, seperti yang kamu katakan, jadi apakah tauhid itu ?"
ABDULLAH :"Tauhid yang karenannya di utus para Rasul, dan orang musrik enggan untuk mengakuinya adalah " PENGESAAN ALLAH DALAM IBADAH" oleh karena itu, sesuatu dari jenis ibadah tidka boleh di tujukan kecuali hanya untuk Allah seperti : doa, nadzar, sembelihan, istighotsah, minta pertolongan, dan lainya, Tauhid inilah pengertian dari kalimat : laa ilaaha illa allahu , karena pengertian tuhan bagi orang musrik Quraish itu adalah yang di tujukan kepadanya ibadah-ibadah ini, baik itu malaikat, nabi, wali, pepohonan, kuburan, atau jin, atau mereka tidak bermaksud dengan tuhan itu adalah :Sang Pencipta, Sang Pemebri Rizki, atau Sang Pengatur, karena mereka tahu bahwasanya semua itu adalah milik ( haq ) Allah semata, yang disebutkan diatas, lantas Nabi Muhammad SAW mendatanggi mereka dan mengajak mereka kepada kalimat at tauhid " laa ilaha illa allah" untuk menerapkan maknanya bukan sekedar mengucapkannya saja .
ABD AN NABI: " Seakan-akan engkau ingin mengatakan bahwa orang musrik quraish lebih, mengetahui makna la illaha illa Allah, dari pada kebanyakan kaum muslimin pada zaman kita sekarang ini ".
ABDULLAH :" ya itulah realita yang amat menyedihkan, orang-orang kafir dan bodoh mengetahui bahwa maksud Nabi Muhammad SAW dengan kalimat ini adalah mengesakan Allah dengan ibadah, dan mengingkari sesuatu yang di tujukan iabdah kepadanya selain Allah, serta berlepas diri darinya, buktinya tatkala beliau mengatakan kepada mereka ucapkanlah : laa ilaha illa Allah, mereka menjawab:
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5)
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan ( QS shood 38:5).
mereka berakata demikian meskipun menyakini bahwa Allah lah yang mengatur alam semesta ini .
apabila orang yang bodoh dari kalangan orang kafir mengetahui itu, maka lebih mengherankan jika seorang yang mengaku islam, tetapi tidak mengetahui penafsiran kalimat at tauhid, sepeti yang diketahui oleh orang-orang bodoh dari kalangan orang kafir bahkan ia mengira bahwasanya hal itu hanya sebatas mengucapkan huruf-hurufnya saja, tanpa harus menyakini maknanya dalam hati, dan yang pintar dari mereka mengira bahwa maknanya adalah : " tidak yang menciptakan, tidak ada yang memberi rizki dan tidak ada yang mengatur segala urusan selain Allah" , maka tidak ada kebaikan sama sekali pada diri orang-orang yang mengaku beragama islam, sedangkan orang yang paling bodoh dari kalangan kafir Quraish lebih mengetahui akan makna:laa ilaha illa allah daripada mereka.

BERSAMBUNG INSYA ALLAH ...................

11/6/07

बगिमु ayah डान इबू

Bagimu Ayah dan Ibu
Sabtu, 06 Januari 2007 - 05:00 PM, Penulis: Al Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran

Sebuah kebahagiaan yang mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata manakala orang tua mendapati di hari tuanya perlakuan yang demikian istimewa dari anak-anaknya. Ketika ia mulai lemah dan mungkin sakit-sakitan, anak-anaknya dengan sabar dan penuh perhatian memberikan perawatan kepadanya. Ini semua tentu tidak didapat begitu saja, namun melalui pendidikan dan perjuangan yang panjang dari orang tua tersebut agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang shalih dan berbakti pada orang tuanya.

Sesosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari diri keduanya. Dia adalah darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia ini. Air susunya menjadi sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya. Kasih sayang ibu adalah ketenangan yang selalu dia rindukan. Kerelaan ibu untuk berjaga membuat nyenyak tidurnya. Kegelisahan ibu menyisakan kebahagiaan untuknya.
Timangan sang ayah dirasakan sebagai kekokohan. Perasan keringat ayah memberikan rasa kenyang dan hangat bagi dirinya. Doa-doa yang mereka panjatkan menjadi sebab segala kebaikan yang didapatinya. Tak terhingga dengan hitungan jemari untuk merunut kembali segala kebaikan yang mereka curahkan untuk buah hati mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hak bagi kedua orang tua untuk diberikan bakti, kelembutan, penjagaan dan kasih sayang, dan Allah kuatkan hak ini dengan mengiringkannya setelah hak-Nya Subhanahu wa Ta'ala, karena hak orang tua mengandung pemuliaan dan pengagungan. Bahkan di dalam Kitab-Nya yang mulia termaktub berbilang ayat yang memberikan wasiat dan mendorong untuk berbakti kepada orang tua, serta menjanjikan banyak kebaikan bagi seorang yang berbakti dan mengancam dengan balasan yang akan menimpa orang yang mendurhakai ayah bundanya. (Wa bil Walidaini Ihsana, hal. 11)
Di antara sekian banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)
Dalam kalam-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya, karena Dialah Al-Khaliq (Yang Menciptakan), Ar-Raziq (Yang Memberikan Rizki), Al-Mun’im (Yang Memberikan Nikmat), yang memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya setiap saat dan setiap keadaan. Oleh karena itu, Dialah yang berhak untuk diesakan dan tidak disekutukan dengan sesuatu pun dari kalangan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu:
(( أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى العِبَادِ ؟)) قَالَ : اللهُ وَرَسُوْلُهُُ أَعْلَمُ. قَالَ (( أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا )) ثُمَّ قَالَ (( أَتَدْرِي مَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ ؟ أَنْ لاَ يُعَذِّبَهُمْ ))
“Tahukah engkau, apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau (Rasulullah) berkata, “Yakni beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” Kemudian beliau berkata lagi, “Tahukah engkau, apa hak hamba atas Allah bila mereka melaksanakannya? Allah tidak akan mengadzab mereka.” (HR. Al Bukhari no 5967 dan Muslim no. 30)
Setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mewasiatkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, karena Allah jadikan keduanya sebagai sebab keluarnya seseorang dari ketiadaan menjadi ada. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/213)
Oleh karena itu, semestinya semenjak dini kedua orang tua mulai menanamkan hal ini kepada putra-putri mereka, mengiringi pengajaran tentang keimanan terhadap Rabb mereka. Inilah pula yang dilakukan oleh Luqman yang mengiringi wasiatnya kepada anaknya untuk beribadah kepada Allah semata dengan wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.

“Dan Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dengan melaksanakan peribadahan kepada-Nya serta menunaikan hak-hak-Nya, dan tidak menggunakan nikmat-nikmat yang dianugerahkan-Nya untuk bermaksiat pada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan untuk bersyukur kepada kedua orang tua dengan berbuat baik kepada keduanya. Hal ini dilakukan dengan berucap lemah lembut, melakukan perbuatan yang baik, dan merendahkan diri terhadap mereka. Juga dengan memuliakan dan menanggung kebutuhan hidupnya, serta tidak menyakiti mereka dengan cara apa pun, baik dengan ucapan atau pun perbuatan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Di dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut tentang pendidikan seorang ibu, kesulitan dan kesusahannya ketika harus berjaga siang dan malam. Penyebutan ini untuk mengingatkan anak tentang kebaikan seorang ibu yang telah diberikan kepadanya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

“Dan ucapkanlah doa: Wahai Rabbku, kasihilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mendidikku semenjak kecilku.” (Al-Isra: 24) (Tafsir Ibnu Katsir, 6/192)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pengajaran, bagaimana semestinya seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya yang musyrik:

“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan engkau ikuti keduanya, dan pergaulilah mereka berdua di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Janganlah seseorang menyangka bahwa hal ini (mentaati perintah orang tua dalam kejelekan) termasuk kebaikan terhadap orang tua, karena hak Allah lebih diutamakan daripada hak siapa pun juga, dan tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap Al-Khaliq.
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengatakan, “Apabila mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka durhakailah keduanya.” Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan, “Jangan engkau ikuti mereka dalam perbuatan syirik mereka.”
Adapun berbakti terhadap mereka, maka engkau harus terus melakukannya. Oleh karena itulah Allah berfirman (وَصاَحِبْهُماَ فِي الدُّنْياَ مَعْرُوْفاً), yaitu pergaulilah mereka di dunia ini dengan penuh kebaikan. Adapun mengikuti mereka sementara mereka berkubang dalam kekufuran atau kemaksiatan, maka hal itu janganlah engkau lakukan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Sementara itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini:
(( أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟)) قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ ثَلاَثًا (( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ )) وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ (( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ )) فَمَا زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ.
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu pun meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ancaman beliau:
(( رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ )) قِيْلَ : مَنْ؟ يَا رَسُوْلَ الله! قَالَ (( مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ ))
“Nista dan hinanya! Nista dan hinanya! Nista dan hinanya!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang mendapati salah seorang atau kedua orang tuanya dalam keadaan lanjut usia, namun dia tidak masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan dorongan untuk berbakti kepada orang tua serta menunjukkan besarnya pahala amalan itu. Di dalam ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut didapati makna bahwa berbakti kepada kedua orang tua pada saat mereka telah lanjut usia dan lemah, dengan mencurahkan khidmat (pelayanan), nafkah ataupun lainnya merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Barangsiapa yang meremehkannya, maka dia akan terluput dari masuk surga dan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim, 16/109)
Sebuah kisah tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya, yang amalan itu dapat melepaskannya dari belenggu musibah yang menimpa, disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
(( بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ المَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ ، فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً للهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ : اللّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِيَ صِبْيَةُ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ ، حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ. وَإِنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَ فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلٌبُ فَجِئْتُ بِالحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُؤُسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى أَطْلَعَ الفَجْرُ ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ ، فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ ... ))
Ada tiga orang yang sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba turun hujan menimpa mereka hingga mereka pun berteduh di dalam gua di sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalam gua, runtuhlah sebuah batu besar dari gunung di mulut gua hingga menutupi mereka. Maka ada di antara mereka yang berkata kepada temannya, “Lihatlah amalan shalih yang pernah kalian kerjakan karena Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amalan tersebut. Semoga dengan itu Allah akan memberikan jalan keluar kepada kalian.” Maka salah seorang di antara mereka berdoa, “ Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tua yang telah renta, dan aku pun memiliki istri dan anak-anak kecil. Aku biasa menggembala kambing-kambing untuk mereka. Apabila aku telah membawa pulang kambing-kambingku, aku biasa memerah susu dan aku awali dengan memberikan minum kepada kedua orang tuaku sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu ketika aku terlalu jauh menggembala sehingga belum juga pulang sampai sore hari, hingga kudapati mereka berdua telah tidur. Maka aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Kemudian aku datang membawa susu perahan itu dan berdiri di sisi kepala ayah ibuku. Aku tak ingin membangunkan mereka berdua dari tidurnya dan aku pun tak ingin memberi minum anak-anakku sebelum mereka berdua, sementara anak-anakku menangis kelaparan di sisi kedua kakiku. Terus menerus demikian keadaanku dengan mereka hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku lakukan semua itu untuk mengharap wajah-Mu, berikanlah jalan keluar dari batu itu hingga kami dapat melihat langit.” Maka Allah pun memberikan kepada mereka kelapangan hingga mereka dapat melihat langit kembali…” (HR. Al-Bukhari no. 2215 dan Muslim no. 2743)
Kisah ini menunjukkan gambaran keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutamaan melayani dan mendahulukan mereka berdua dari yang lainnya, baik anak-anak, istri dan selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 17/56)
Bila demikian keadaannya, adakah hati orang tua yang tidak tergerak untuk mendidik anak-anak mereka agar berbakti kepada ayah bundanya? Adakah orang tua yang akan membiarkan anak-anak mereka berkubang dalam kedurhakaan sehingga mendapati balasan yang nista? Tidakkah mereka ingin anak-anak mereka seperti gambaran seorang Abu Hurairah yang memberikan salam kepada ibunya:
عَلَيْكِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ يَا أُمَّتَاه ! تَقُوْلُ : وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَقُوْلُ : رَحِمَكِ اللهُ كَمَا رَبَّيْتِنِي صَغِيْرًا. فَتَقُوْلُ : يَا بُنَيَّ! وَأَنْتَ، فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا وَرَضِيَ عَنْكَ كَمَا بَرَرْتَنِي كَبِيْرًا.
“Keselamatan atasmu, serta rahmah dan barakah Allah, wahai Ibunda!” Ibunya pun menjawab, “Dan keselamatan pula atasmu, serta rahmah dan barakah Allah.” Dia berkata lagi, “Semoga Allah mengasihimu, wahai Ibu, sebagaimana engkau telah mendidikku semasa kecilku.” Ibunya membalas, “Wahai anakku! Dan engkau juga, semoga Allah memberi balasan yang baik dan meridhaimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku pada masa tuaku.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani: hasanul isnad dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 11)
Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat disampaikan kepada anak-anak, yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya. Semogalah mereka memetik banyak faidah yang akan mendorong mereka untuk mempersembahkan kebaikan kepada ayah bundanya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

untukmu ayah dan ibu

Bagimu Ayah dan Ibu
Penulis: Al Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran

Sebuah kebahagiaan yang mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata manakala orang tua mendapati di hari tuanya perlakuan yang demikian istimewa dari anak-anaknya. Ketika ia mulai lemah dan mungkin sakit-sakitan, anak-anaknya dengan sabar dan penuh perhatian memberikan perawatan kepadanya. Ini semua tentu tidak didapat begitu saja, namun melalui pendidikan dan perjuangan yang panjang dari orang tua tersebut agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang shalih dan berbakti pada orang tuanya.

Sesosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari diri keduanya. Dia adalah darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia ini. Air susunya menjadi sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya. Kasih sayang ibu adalah ketenangan yang selalu dia rindukan. Kerelaan ibu untuk berjaga membuat nyenyak tidurnya. Kegelisahan ibu menyisakan kebahagiaan untuknya.
Timangan sang ayah dirasakan sebagai kekokohan. Perasan keringat ayah memberikan rasa kenyang dan hangat bagi dirinya. Doa-doa yang mereka panjatkan menjadi sebab segala kebaikan yang didapatinya. Tak terhingga dengan hitungan jemari untuk merunut kembali segala kebaikan yang mereka curahkan untuk buah hati mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hak bagi kedua orang tua untuk diberikan bakti, kelembutan, penjagaan dan kasih sayang, dan Allah kuatkan hak ini dengan mengiringkannya setelah hak-Nya Subhanahu wa Ta'ala, karena hak orang tua mengandung pemuliaan dan pengagungan. Bahkan di dalam Kitab-Nya yang mulia termaktub berbilang ayat yang memberikan wasiat dan mendorong untuk berbakti kepada orang tua, serta menjanjikan banyak kebaikan bagi seorang yang berbakti dan mengancam dengan balasan yang akan menimpa orang yang mendurhakai ayah bundanya. (Wa bil Walidaini Ihsana, hal. 11)
Di antara sekian banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)
Dalam kalam-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya, karena Dialah Al-Khaliq (Yang Menciptakan), Ar-Raziq (Yang Memberikan Rizki), Al-Mun’im (Yang Memberikan Nikmat), yang memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya setiap saat dan setiap keadaan. Oleh karena itu, Dialah yang berhak untuk diesakan dan tidak disekutukan dengan sesuatu pun dari kalangan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu:
(( أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى العِبَادِ ؟)) قَالَ : اللهُ وَرَسُوْلُهُُ أَعْلَمُ. قَالَ (( أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا )) ثُمَّ قَالَ (( أَتَدْرِي مَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ ؟ أَنْ لاَ يُعَذِّبَهُمْ ))
“Tahukah engkau, apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau (Rasulullah) berkata, “Yakni beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” Kemudian beliau berkata lagi, “Tahukah engkau, apa hak hamba atas Allah bila mereka melaksanakannya? Allah tidak akan mengadzab mereka.” (HR. Al Bukhari no 5967 dan Muslim no. 30)
Setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mewasiatkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, karena Allah jadikan keduanya sebagai sebab keluarnya seseorang dari ketiadaan menjadi ada. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/213)
Oleh karena itu, semestinya semenjak dini kedua orang tua mulai menanamkan hal ini kepada putra-putri mereka, mengiringi pengajaran tentang keimanan terhadap Rabb mereka. Inilah pula yang dilakukan oleh Luqman yang mengiringi wasiatnya kepada anaknya untuk beribadah kepada Allah semata dengan wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.

“Dan Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dengan melaksanakan peribadahan kepada-Nya serta menunaikan hak-hak-Nya, dan tidak menggunakan nikmat-nikmat yang dianugerahkan-Nya untuk bermaksiat pada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan untuk bersyukur kepada kedua orang tua dengan berbuat baik kepada keduanya. Hal ini dilakukan dengan berucap lemah lembut, melakukan perbuatan yang baik, dan merendahkan diri terhadap mereka. Juga dengan memuliakan dan menanggung kebutuhan hidupnya, serta tidak menyakiti mereka dengan cara apa pun, baik dengan ucapan atau pun perbuatan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Di dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut tentang pendidikan seorang ibu, kesulitan dan kesusahannya ketika harus berjaga siang dan malam. Penyebutan ini untuk mengingatkan anak tentang kebaikan seorang ibu yang telah diberikan kepadanya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

“Dan ucapkanlah doa: Wahai Rabbku, kasihilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mendidikku semenjak kecilku.” (Al-Isra: 24) (Tafsir Ibnu Katsir, 6/192)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pengajaran, bagaimana semestinya seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya yang musyrik:

“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan engkau ikuti keduanya, dan pergaulilah mereka berdua di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Janganlah seseorang menyangka bahwa hal ini (mentaati perintah orang tua dalam kejelekan) termasuk kebaikan terhadap orang tua, karena hak Allah lebih diutamakan daripada hak siapa pun juga, dan tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap Al-Khaliq.
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengatakan, “Apabila mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka durhakailah keduanya.” Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan, “Jangan engkau ikuti mereka dalam perbuatan syirik mereka.”
Adapun berbakti terhadap mereka, maka engkau harus terus melakukannya. Oleh karena itulah Allah berfirman (وَصاَحِبْهُماَ فِي الدُّنْياَ مَعْرُوْفاً), yaitu pergaulilah mereka di dunia ini dengan penuh kebaikan. Adapun mengikuti mereka sementara mereka berkubang dalam kekufuran atau kemaksiatan, maka hal itu janganlah engkau lakukan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Sementara itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini:
(( أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟)) قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ ثَلاَثًا (( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ )) وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ (( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ )) فَمَا زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ.
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu pun meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ancaman beliau:
(( رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ )) قِيْلَ : مَنْ؟ يَا رَسُوْلَ الله! قَالَ (( مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ ))
“Nista dan hinanya! Nista dan hinanya! Nista dan hinanya!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang mendapati salah seorang atau kedua orang tuanya dalam keadaan lanjut usia, namun dia tidak masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan dorongan untuk berbakti kepada orang tua serta menunjukkan besarnya pahala amalan itu. Di dalam ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut didapati makna bahwa berbakti kepada kedua orang tua pada saat mereka telah lanjut usia dan lemah, dengan mencurahkan khidmat (pelayanan), nafkah ataupun lainnya merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Barangsiapa yang meremehkannya, maka dia akan terluput dari masuk surga dan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim, 16/109)
Sebuah kisah tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya, yang amalan itu dapat melepaskannya dari belenggu musibah yang menimpa, disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
(( بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ المَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ ، فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً للهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ : اللّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِيَ صِبْيَةُ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ ، حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ. وَإِنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَ فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلٌبُ فَجِئْتُ بِالحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُؤُسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى أَطْلَعَ الفَجْرُ ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ ، فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ ... ))
Ada tiga orang yang sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba turun hujan menimpa mereka hingga mereka pun berteduh di dalam gua di sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalam gua, runtuhlah sebuah batu besar dari gunung di mulut gua hingga menutupi mereka. Maka ada di antara mereka yang berkata kepada temannya, “Lihatlah amalan shalih yang pernah kalian kerjakan karena Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amalan tersebut. Semoga dengan itu Allah akan memberikan jalan keluar kepada kalian.” Maka salah seorang di antara mereka berdoa, “ Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tua yang telah renta, dan aku pun memiliki istri dan anak-anak kecil. Aku biasa menggembala kambing-kambing untuk mereka. Apabila aku telah membawa pulang kambing-kambingku, aku biasa memerah susu dan aku awali dengan memberikan minum kepada kedua orang tuaku sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu ketika aku terlalu jauh menggembala sehingga belum juga pulang sampai sore hari, hingga kudapati mereka berdua telah tidur. Maka aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Kemudian aku datang membawa susu perahan itu dan berdiri di sisi kepala ayah ibuku. Aku tak ingin membangunkan mereka berdua dari tidurnya dan aku pun tak ingin memberi minum anak-anakku sebelum mereka berdua, sementara anak-anakku menangis kelaparan di sisi kedua kakiku. Terus menerus demikian keadaanku dengan mereka hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku lakukan semua itu untuk mengharap wajah-Mu, berikanlah jalan keluar dari batu itu hingga kami dapat melihat langit.” Maka Allah pun memberikan kepada mereka kelapangan hingga mereka dapat melihat langit kembali…” (HR. Al-Bukhari no. 2215 dan Muslim no. 2743)
Kisah ini menunjukkan gambaran keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutamaan melayani dan mendahulukan mereka berdua dari yang lainnya, baik anak-anak, istri dan selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 17/56)
Bila demikian keadaannya, adakah hati orang tua yang tidak tergerak untuk mendidik anak-anak mereka agar berbakti kepada ayah bundanya? Adakah orang tua yang akan membiarkan anak-anak mereka berkubang dalam kedurhakaan sehingga mendapati balasan yang nista? Tidakkah mereka ingin anak-anak mereka seperti gambaran seorang Abu Hurairah yang memberikan salam kepada ibunya:
عَلَيْكِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ يَا أُمَّتَاه ! تَقُوْلُ : وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَقُوْلُ : رَحِمَكِ اللهُ كَمَا رَبَّيْتِنِي صَغِيْرًا. فَتَقُوْلُ : يَا بُنَيَّ! وَأَنْتَ، فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا وَرَضِيَ عَنْكَ كَمَا بَرَرْتَنِي كَبِيْرًا.
“Keselamatan atasmu, serta rahmah dan barakah Allah, wahai Ibunda!” Ibunya pun menjawab, “Dan keselamatan pula atasmu, serta rahmah dan barakah Allah.” Dia berkata lagi, “Semoga Allah mengasihimu, wahai Ibu, sebagaimana engkau telah mendidikku semasa kecilku.” Ibunya membalas, “Wahai anakku! Dan engkau juga, semoga Allah memberi balasan yang baik dan meridhaimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku pada masa tuaku.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani: hasanul isnad dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 11)
Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat disampaikan kepada anak-anak, yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya. Semogalah mereka memetik banyak faidah yang akan mendorong mereka untuk mempersembahkan kebaikan kepada ayah bundanya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.