9/23/10

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Diantara Hikmah Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri Ilmu kedokteran modern mengungkapkan bahwa minum dalam keadaan berdiri menyebabka..."

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Diantara Hikmah Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri Ilmu kedokteran modern mengungkapkan bahwa minum dalam keadaan berdiri menyebabka..."

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Diantara Kebaikan Dari Berwudhu Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda : مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ ..."

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Keajaiban Buah Zaitun dan Minyaknya Untuk pertama kalinya dalam sejarah, enam belas ahli dari ahli-ahli kedokteran ternama berkumpul di ko..."

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Hikmah Dilarangnya Berjabat Tangan Dengan Wanita Ilmu anatomi tubuh manusia menyebutkan bahwa apabila tubuh laki-laki bersentuhan dengan ..."

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah

Kembali ke Al Quran & Assunnah di atas Manhaj Salaf: Hikmah: "Mengapa Air Telinga Pahit Rasanya? Mengapa Air Mata Asin Rasanya? Mengapa Air Liur Tawar Rasanya? Sudah merupakan ketentuan Allah Subhaa..."

9/12/10

5 FAEDAH PUASA SYAWAL

-> Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.

Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.

Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:

1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.



Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib

Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]

Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]

Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, ”Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.

Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah

Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!

Ibnu Rajab mengatakan, ”Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ’Aisyah radhiyallahu ’anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,

أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا

”Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: ”Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]

Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja[14]

Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.

Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ’ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.

Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها

“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.

Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.

’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]

Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

”Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]

Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, ”Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. ... Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh www.rumaysho.com



[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori

[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.

[3] QS. Al An’am ayat 160.

[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.

[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.

[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]

[7] -idem-

[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]

[9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.

[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141

[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.

[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.

[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.

[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400

[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783

[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.

[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah

[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.

FATWA SEPUTAR PUASA SYAWAL

Fatwa-fatwa seputar puasa 6 hari di bulan syawwal dan puasa sunnah lainnya

By

admin – 13/09/2010Posted in: Fatwa

Fatwa-fatwa lajnah daaimah tentang Puasa Syawwal dan Puasa Sunnah lainnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (Diriwayatkan oleh Jama’ah ahli hadits selain Bukhari dan Nasa’i)

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawwal. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan lainnya. Namun Imam Malik mengatakan makruh, menurut Ibnu Abdil Bar Imam Malik berpendapat begitu karena belum sampai hadits ini kepadanya.

Imam Nawawiy dalam Syarh Muslim berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata, “Afdhalnya melakukan puasa enam hari secara berturut-turut setelah Idul Fithri (yakni dimulai pada tanggal 2 Syawwal)”. Kata mereka juga, “Kalaupun tidak berturut-turut atau ditunda tidak di awal-awal bulan Syawwal, tetapi di akhirnya maka ia tetap mendapatkan keutamaan “mengiringi”, karena masih bisa dikatakan “mengiringi dengan enam hari di bulan Syawwal.”

Para ulama mengatakan, “Dianggap seperti berpuasa setahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan, bulan Ramadhan dihitung sepuluh bulan, sedangkan enam hari di bulan Syawwal dihitung dua bulan.”

Ini adalah karunia dari Allah dan kemurahan-Nya, dengan umur kita yang sedikit, namun jika mengerjakan amalan ini, kita dianggap berpuasa selama setahun. Sungguh sangat beruntung orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berpuasa sebelum habis waktunya.

Saudaraku, sesungguhnya Allah Ta’ala apabila menerima amal seorang hamba, maka Dia akan memberikan taufiq (membantunya) untuk mengerjakan amal shalih lainnya.

Beberapa masalah yang berkaitan dengan puasa Syawwal

- Para fuqaha (ahli fiqh) berselisih tentang hukum melakukan puasa sunnah sedangkan puasa Ramadhan belum diqadha’nya’ hingga timbul 3 pendapat:

1. Tidak apa-apa melakukan puasa sunnah meskipun belum mengqadha’ puasa Ramadhan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.
2. Tidak mengapa tetapi makruh, karena sama saja ia menunda yang wajib. Ini pendapat madzhab Maalikiyyah dan Syaafi’iyyah.
3. Haram melakukan puasa sunnah bila puasa Ramadhan belum diqadha’ dan tidak sah puasanya, ia harus mengerjakan puasa wajib lebih dahulu barulah berpuasa sunnah. Ini madzhab Hanabilah.

Oleh karena itu, sebaiknya jika kita hendak berpuasa sunnah, hendaknya kita kerjakan dahulu puasa yang wajib yang belum diqadha’, setelah itu baru mengerjakan puasa sunnah.

- Di antara ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa wanita yang nifas, jika ia tidak berpuasa Ramadhan hampir sebulan penuh, maka ia kerjakan puasa Ramadhan dahulu, baru kemudian mengerjakan puasa Syawwal, meskipun sebagian puasa Syawwal ia kerjakan di bulan Dzulqa’dah, karena habis terisi dengan qadha’ puasa Ramadhan yang dikerjakannya.

- Masing-masing ibadah termasuk puasa wajib disertai niat, untuk puasa wajib, niat harus sudah ada sebelum terbit fajar, namun untuk puasa sunnah, niatnya boleh di siang hari. Dan niat ini tempatnya di hati, bukan di lisan.

Fatwa Lajnah daa’imah yang berkaitan dengan puasa Syawwal dan puasa sunat lainnya

Ketua : Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz

Wakil : Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afiifiy

Anggota : Syaikh Abdulllah bin Ghudayyan

Anggota : Syaikh Abdullah bin Qu’uud

Fatwa no. 2264

Pertanyaan: “Apakah orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal, namun ia belum menyempurnakan puasa Ramadhannya, misalnya ia tidak berpuasa Ramadhan selama sepuluh hari karena uzur syar’i, apakah ia mendapatkan pahala seperti orang yang menyempurnakan puasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawwal yang pahalanya seperti orang yang berpuasa setahun penuh, berikanlah penjelasan, semoga Allah membalas anda?”

Jawab, “Urusan pahala yang dikerjakan hamba itu kembalinya kepada Allah, ini adalah hak khusus bagi Allah ‘Azza wa Jalla, dan seorang hamba apabila berusaha mencari pahala dan bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbaiki amalnya.” (Al Kahfi: 30)

Namun seharusnya bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, hendaknya mendahulukan (qadha’ puasa Ramadhan), kemudian puasa enam hari di bulan Syawwal, karena hal tersebut tidak termasuk (dikatakan) mengiringi Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, kecuali bila ia menyempurnakan puasa (Ramadhan)nya.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam

Fatwa no. 10195

Pertanyaan: “Apa hukum orang yang puasa sunat, kemudian di tengah-tengah puasanya ia berbuka, apakah dia wajib melakukan sesuatu?”

Jawab, “Bagi orang yang berpuasa sunat boleh berbuka di tengah-tengah puasanya, karena orang yang berpuasa sunat diberikan pilihan (antara berpuasa atau tidak) sebelum memulai puasa, sehingga setelah memulai puasa, ia pun tetap diberikan pilihan.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam

Fatwa no. 2232

Pertanyaan, “Orang yang memiliki hutang puasa, namun ia malah mengerjakan puasa sunat sebelum mengqadha’ puasa wajibnya itu, lalu setelahnya barulah ia mengqadha’, apakah (qadha’nya) itu sah?”

Jawab, “Orang yang berpuasa sunat sebelum mengqadha’ puasa wajibnya, baru setelah itu ia mengqadha’, maka qadha’nya sah. Tetapi seharusnya, dia mengqadha’ dahulu, baru setelah itu melakukan puasa sunat, karena yang wajib itu lebih penting.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam

Fatwa no. 6497

Pertanyaan: “Bolehkah berpuasa sunat dengan dua niat; niat mengqadha’ (puasa wajib) dan niat mengerjakan puasa sunat, dan apa hukum berpuasa bagi musafir dan orang yang sakit, khususnya yang dianggap secara mutlak sebagai safar dikatakan safar, juga (bagaimana) jika si musafir sanggup berpuasa, dan juga jika si sakit sanggup berpuasa, apakah dalam kondisi ini puasanya diterima atau tidak?”

Jawab, “Tidak boleh berpuasa sunat dengan dua niat; niat mengqadha’ dan niat puasa sunat. Yang utama bagi musafir yang melakukan safar yang membolehkan mengqashar adalah berbuka, tetapi kalaupun puasa, maka sah. Demikian juga lebih utama bagi orang yang terasa berat dan bisa menambah parah sakitnya untuk berbuka, demi menghindarkan kepayahan dan bahaya. Musafir serta orang yang sakit wajib mengqadha’ puasa Ramadhan yang ia berbuka itu di hari-hari yang lain, tetapi kalau pun ia memaksakan diri untuk puasa, maka puasanya sah.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa no. 12128

Pertanyaan: “Hari-hari apa saja yang lebih baik untuk berpuasa sunat, dan bulan apa saja yang paling utama untuk mengeluarkan zakat?”

Jawab: “Hari yang paling utama untuk berpuasa sunat adalah hari Senin dan Kamis, Ayyamul Biedh yaitu tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan (Hijriah), sepuluh hari bulan Dzulhijjah, khususnya hari ‘Arafah, tanggal sepuluh bulan Muharram dengan berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya dan puasa enam hari di bulan Syawwal.

Adapun untuk zakat, maka ia dikeluarkan bila sudah sempurna satu tahun ketika sudah sampai nishabnya di bulan apa saja.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa no. 13700

Pertanyaan: “Bolehkah berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) hanya sehari saja?”

Jawab: “Boleh berpuasa ‘Asyura sehari saja, akan tetapi yang lebih utama adalah berpuasa juga sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, ini adalah Sunnah yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda Beliau:

لَئِنْ بَقِيْتُ إِلىَ قَابِلٍ لَأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ

“Sungguh, jika saya masih hidup tahun depan, niscaya saya akan berpuasa pada tanggal sembilan.”

Ibnu Abbas mengatakan, “Yakni dengan sepuluhnya.”

Fatwa no. 2014

Pertanyaan: “Saya berpuasa tiga hari setiap bulan, di salah satu bulan saya sakit, sehingga tidak bisa berpuasa, apakah saya mesti qadha’ atau membayar kaffarat?”

Jawab: “Puasa sunat tidak diqadha’ meskipun meninggalkannya atas keinginan sendiri, hanya saja bagi seseorang selayaknya menjaga amal shalih yang biasa dikerjakannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلىَ اللهِ مَاداَوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang senantiasa dikerjakan meskipun sedikit.”

Oleh karena itu anda tidak mesti mengqadha’, juga tidak perlu membayar kaffarat, dan perlu diketahui bahwa amal shalih yang ditinggalkan seorang hamba karena sakit atau tidak sanggup ataupun karena sedang safar dsb, akan dicatat pahalanya, berdasarkan hadits,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً

“Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya pahala seperti yang biasa dikerjakannya ketika tidak safar dan sehat.” (HR. Bukhari dalam shahihnya)

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa no. 13589

Pertanyaan: “Saya seorang wanita yang ingin berpuasa tiga hari pada setiap bulan, akan tetapi saya tidak bisa berpuasa tanggal 13, 14 dan 15, karena saya wanita yang terkadang datang bulan dan nifas, bolehkah saya berpuasa hari apa saja tanpa harus tanggal 13, 14 dan 15? Dan apabila saya kerjakan di hari apa saja setiap bulan, apakah bisa dianggap puasa setahun atau tidak? -semoga Allah membalas anda-”

Jawab: “Yang paling utama bagi yang hendak berpuasa tiga hari di setiap bulan adalah pada Ayyaamul biidh (tanggal 13, 14 dan 15), namun kalaupun pada hari yang lain, maka tidak apa-apa, kami berharap hal tersebut dianggap puasa setahun, karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh, juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Abu Hurairah dan Abud Dardaa’ untuk berpuasa tiga hari di setiap bulan, tidak menentukan harus Ayyaamul biidh, demikian juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma:

صُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ

“Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan, itu adalah puasa setahun.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa no.11507

Pertanyaan: “Ada orang yang memiliki kebiasaan tahunan, ia berpuasa tiga hari bulan Sya’ban yaitu pada Ayyaamul biidh, pada malam ke lima belas Sya’ban ia menyembelih seekor sembelihan sebagai sedekah, saya minta penjelasan tentang hukumnya agar lebih lengkap dalam menasehatinya atau lebih kuat?”

Jawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memang mendorong berpuasa tiga hari Ayyaamul biedh setiap bulan sebagai amal sunat, namun tidak menentukan bulan ini saja, bulan yang lain tidak, selain Ramadhan sebagaimana sudah kita ketahui. Oleh karena itu pengkhususan anda hanya berpuasa di bulan Sya’ban saja menyalahi keumuman Sunnah yang menunjukkan tidak khusus (bulan tertentu). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendorong ummatnya untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan melakukan kurban sunat tanpa menentukan hari atau bulan, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (terj. Al An’aam: 162)

Oleh karena itu, kebiasaan anda melakukan taqarrub dengan melakukan penyembelihan pada malam ke-15 adalah bid’ah, mengkhususkan sesuatu tanpa dalil, dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.”, dan bersabda, “Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami ini, yang tidak termasuk di dalamnya, maka hal itu tertolak.”

Wa billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraaji’: Subulus Salaam, Nailul Awthaar, Masaa’il muhimmah tata’allaq bishiyaamiss sitti min Syawwal (Al Muslim bin Al Muslim), Mausuu’ah fataawaal lajnatid daa’imah wal imaamain (by. Islam.spirit).

sumber: arabic.web.id