6/24/11

Semangat Salaf Dalam Menuntut Ilmu (Bag. 2)


Semangat Salaf Dalam Menuntut Ilmu (Bag. 2)

Oleh: Asy Syaikh Abdurrahman Al Adeni -hafizhahullah-

Dan sebagaimana diketahui pula bahwa agama Allah Ta’ala ini sampai kepada kita dengan begitu mudah dan gampang seakan-akan kita berhadapan dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan taufiq, pertolongan dan keutamaan Allah Ta’ala. Yaitu dengan Allah Ta’ala menyediakan bagi kita sebab-sebab dengan adanya perjuangan yang besar yang dilakukan oleh ulama salaf ini. Para pendahulu kita yang shalih dari kalangan shahabat dan tabi’in serta yang datang setelah mereka dari kalangan imam pembawa petunjuk dan penghilang kegelapan telah melakukan perjuangan dan pengorbanan.

Para shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam wa radhiyallahu ‘anhum- sangat besar semangatnya untuk meraih ilmu yang bermanfaat ini, dalam keadaan mereka itu sangat fakir dan tidak berkecukupan. Diantara mereka ada yang jika tersibukkan dia tetap berusaha mencari pengganti untuk hadir ke hadapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- bersama tetangganya seorang anshar. ‘Umar hadir di suatu hari lalu kembali dan menyampaikan kepada tentangganya apa yang dia dengar, dan sang anshary hadir di suatu hari lalu kembali dan menyampaikan kepada ‘Umar apa yang dia dengar berupa wahyu, hikmah dan sunnah. Dan ini adalah satu dari sekian banyak contoh (dari kalangan para shahabat).

(Diantaranya) apa yang terukir dari perawi umat islam dan penghafalnya shahabat yaitu Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-. Dia telah meriwayatkan bagi umat ini jumlah yang besar dan kumpulan yang banyak dari hadits-hadits Rasulillah – shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Yang mana jumlah yang besar dari hadits ini telah membuat murka musuh-musuh islam dari kalangan orang zindiq, atheis, zionis dan pengekor mereka. Maka mereka mencela kejujurannya dan mereka menciptakan keraguan terhadapa riwayat-riwayat ini sembari mengatakan “kenapa dia bersendiri dengan jumlah yang besar ini dari para shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain. Dan mereka tidak tahu bahwa perbendaharaan yang besar ini yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- untuk umat ini terjadi setelah adanya taufiq dari Allah Ta’ala sebagai buah dari kesungguhan, kegigihannya, pengorbanannya dan kesabarannya menahan lapar, kesabarannya menahan sakit yang dilakukan oleh Abu Hurairah. Kemudian dia –dengan keutamaan dari Allah Ta’ala- mampu meriwayatkan jumlah yang besar ini untuk umat ini. Dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata;
يَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ وَاللَّهُ الْمَوْعِدُ وَيَقُولُونَ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ مِثْلَ أَحَادِيثِهِ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَحْضُرُ حِينَ يَغِيبُونَ وَأَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا لَنْ يَبْسُطَ أَحَدٌ مِنْكُمْ ثَوْبَهُ حَتَّى أَقْضِيَ مَقَالَتِي هَذِهِ ثُمَّ يَجْمَعَهُ إِلَى صَدْرِهِ فَيَنْسَى مِنْ مَقَالَتِي شَيْئًا أَبَدًا فَبَسَطْتُ نَمِرَةً لَيْسَ عَلَيَّ ثَوْبٌ غَيْرُهَا حَتَّى قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَالَتَهُ ثُمَّ جَمَعْتُهَا إِلَى صَدْرِي فَوَالَّذِي بَعَثَهُ بِالْحَقِّ مَا نَسِيتُ مِنْ مَقَالَتِهِ تِلْكَ إِلَى يَوْمِي هَذَا وَاللَّهِ لَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُكُمْ شَيْئًا أَبَدًا

“Mereka berkata: “Sesungguhnya Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits, dan di sisi Allah ada janji.” Mereka berkata: “Kenapa muhajirun dan anshar tidak menyampaikan hadits seperti hadits-haditsnya.” Sesungguhnya para saudaraku yang muhajirin tersibukkan dengan kesepakatan dagang di pasar-pasar, dan saudaraku yang anshar tersibukkan dengan pekerjaan harta (pertanian, peternakan) mereka. Dan adalaah orang yang miskin, aku terus mendamingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tenang dengan kondisi perutku, maka aku hadir di saat orang-orang pada absen, aku menghafal di saat mereka terlupa. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada suatu hari: “Tidak seorangpun dari kalian yang menghamparkan pakaiannya sampai aku menyelesaikan ucapanku ini kemudian dia melipatnya ke dadanya terlupa akan ucapanku selamanya meski sedikit.” Maka aku menghamparkan pakaianku yang bergari dan tidak ada yang melekat padaku kecuali itu sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan sabdanya, kemudian aku melipatnya ke dadaku. Maka demi Dzat yang mengutus beliau dengan al-haq tidaklah aku lupa akan sabda beliau itu sampai hari ini. Demi Allah kalau bukan karena dua ayat dalam kitabullah tidaklah akau menyampaikan hadits kepada kalian meski sedikit selamanya.”
إِنّ الّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيّنَاتِ وَالْهُدَىَ مِن بَعْدِ مَا بَيّنّاهُ لِلنّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَـَئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاّعِنُونَ إِلاّ الّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التّوّابُ الرّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan dari keterangan dan petunjuk setelah Kami terangkan kepada manusia dalam Al-Kitab mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, dan mereka dilaknat oleh para pelaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menjelaskan, maka mereka itulah yang Aku terima taubat mereka dan adalah Aku Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 159-160)

Kesungguhan, kegigihan, semangat dan pengorbanan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, semangat menuntut ilmu itu –wahai saudaraku di jalan Allah Ta’ala-, akan mengantarkan kita kepada hasil yang besar yang kita harapkan.

Dalam Ash-Shahih diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar dari engkau hadits yang banyak namun aku melupakannya”. Beliau bersabda: “Hamparkan selendangmu!” Maka aku menghamparkannya. Lalu beliau menciduk dengan kedua tangan beliau kemudian bersabda: “Genggamlah!” Maka aku menggenggamnya maka tidaklah aku lupa sesuatu setelahnya.”

Semangat yang kita butuhkan mengisyaratkan pada penuntut ilmu agar kita memilki kemauan, semangat untuk meraih ilmu yang bermanfaat, selalu dan terus-menerus maka akan datang hasilnya.

Abu Hurairah tidak sebatas hanya memiliki keterusan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterusan bersama guru itu bisa jadi terjadi selama puluhan atau ratusan kali, namun jika bisa terkumpul antara keterusan bersama guru, kesabaran dan semangat seorang penuntut ilmu akan meraih kebaikan yang banyak bi idznillah.

Dan Abu Hurairah berkumpul padanya dua pekara keterusan dan bersabar bersama guru dan semangat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi akan semangatnya mencari ilmu. Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling bahagia dengan syafa’at engkau pada hari kiamat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku telah menyangka wahai Abu Hurairah, tiada seorangpun yang bertanya akan hadits ini sebelum engkau, karena apa yang aku lihat akan semaangatmu mendapatkan hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat orang yang berkata: “Tiada ilah yang benar kecuali Allah” secar ikhlas dari kalbunya atau dari dirinya.”

Demikian terjadi pada banyak shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wa radhiyallahu ‘anhum. Bersungguh-sungguh, semangat dan berkorban.

Berikut terjemah Al-Qur’an dan tinta dari tinta-tinta umat ini yaitu Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

“Ya Allah dalamkanlah pemahamannya dalam agama ini dan ajarkan padanya tafsir.”

Yaitu dengan Allah Ta’ala menambahkan kepadanya ilmu dan hikmah, dan dia tidaklah hanya bersandar kepada do’a nabawy ini lalu duduk di rumahnya. Bahkan dia semangat dan bersungguh-sungguh dan begadang (demi ilmu) sampai dia menjadi ulama besar islam, mendalam dalam fiqih, tafsir, aqidah, bahasa dan ilmu nasab, serta tentang hari-hari arab dan selan itu.

Dari mana Ibnu ‘Abbas mendapatkan ilmu yang luas ini? Terwujud padanya do’a nabawiyah, Allah mengabulkan do’a nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Ibnu ‘Abbas juga Allah menolongnya untuk mengejar ilmu dan semangat meraihnya, memanfaatkan waktu dan kesempatan sedang dia berada di zaman yang penuh menuntut ilmu yaitu zaman pembesar shahabat. Ada Abu Bakar orang terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Mu’adz dan mereka-mereka para ulama besar.

Dan hal itu tidak memalingkan Ibnu ‘Abbas dari menuntut ilmu sebagaimana terkadang terjadi pada sebagian kita. Ketike melihat adanya ulama besar dan bahwa Allah Ta’ala telah memberikan manfaat dengan mereka pada umat, negara dan masyarakat, lalu dia minder dan meremehkan dirinya -dan pantas baginya untuk meremehkan dirinya- namun peremehan dirinya ini bukn pada tempatnya. Dia meremehkan dirinya kemudian menyebabkan dirinya tidak berusaha meraih ilmu dan berkata: Alhamdulillah.

Wahai saudaraku, ulama boleh jadi sekarang hidup, namun bisa jadi besok meninggal, dan harus ada orang yang menggantikan mereka pada umat ini dalam ilmunya. Jika penghamba dunia semangat untuk mengadakan orang yang mengganti posisi mereka dalam semua bidang, dalam ketentaraan, penerbangan, kedokteran, dan teknologi sampai tingkatan sihir sekalipun diperhatikan, sebagaimana dalam hadits yang shahih dalam kisah anak dengan penyihir dan raja.

Lalu bagaimana dengan ilmu syari’at, jika tidak ada perhatian dari umat, maka ia akan hilang dan habis tidak akan tersisa lagi silsilah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abbas di dalam hadits yang masyhur di sisi kalian tidaklah bersandar dan menyerah, namun dia melihat dengan pandangan yang jauh ke depan. Ad-Darimy meriwayatkan, dan Ahmad dalam Al-Fadha’il, dan Ibnu Sa’d dan selain mereka dari hadits Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat aku berkata kepada seorang pemuda anshar: “Marilah wahai fulan, kita menuntut ilmu. Sesungguhnya para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup”. Dia menjawab: “Sungguh aneh engkau wahai Ibnu ‘Abbas, engkau lihat manusia butuh kepadamu sementara di antara mereka ada shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Maka aku tinggalkan dia dan aku mengejar menuntut ilmu, jika ada hadits yang sampai kepadaku dari seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia telah mendegarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku datangi dia dan aku duduk di depan pintu rumahnya lalu angin menrepa wajahku. Lalu shahabat tersebut berkata kepadaku: “Wahai anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang membuatmu datang kemari? Apa kebutuhanmu?” Aku katakan: “Suatu hadits sampai kepadaku yang engkau riwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka dia berkata: “Tidakkah engkau utus seseorang kepadaku?” Maka aku katakan: “Aku yang lebih pantas untuk mendatangimu.” Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: “Maka orang anshar tadi masih dlam kondisinya sehingga manusia berkumpul kepadaku, makaa dia berkata: “Pemuda ini lebih berakal dari pada aku.”

Kenapa demikian? Karena para pembesar dari shahabat (yang anshary tadi beralasan dengan keberadaan mereka), mereka itu meninggal.
{ إِنّكَ مَيّتٌ وَإِنّهُمْ مّيّتُونَ }

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mengalami kematian dan mereka juga akan mati.” (Az-Zumar: 30)

Kematian mesti datang kepada setiap jiwa, berapapun umur seseorang, mesti dia akan sampai pada kematian. Kesungguhan ini pada diri Ibnu ‘Abbas pada dirinya bersama para muridnya. Demikian pula yang kita contoh dari ulama dan masyayikh kita, mereka bersungguh-sungguh pada diri mereka dan mereka semangat untuk mendorong murid-murid mereka. Demikian pula Ahlus sunnah di setiap tempat berada dalam koridor nasehat ini untuk diri mereka, saudara mereka dan murid mereka.
(Bersambung ke bagian 3)

Sumber:

http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/06/10/semangat-salaf-ilmu-02/

Semangat Salaf Dalam Thalabul Ilmi (Bag I)


Semangat Salaf Dalam Thalabul Ilmi (Bag I)



Oleh: Asy Syaikh Abdurrahman Al Adeni – hafizhahullah-

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية: 102

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }سورة: النساء – الآية: 1.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا} سورة: الأحزاب- الآية: 70, 71.

أما بعد ، فان اصدق الحديث كتاب الله تعالى ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Wahai saudaraku di jalan Allah Ta’ala,

Pertama kita hendaknya memuji Allah ‘Azza wa Jalla yang telah memudahkan kita untuk berkunjung kepada saudara kami –hafizhahumullah- dari para masyayikh, penuntut ilmu dan ikhwah secara umum di ma’had yang penuh barakah ini. Dan kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan kita dan ikhwah semuanya termasuk orang saling mengunjungi saudaranya karena Allah Ta’ala, berhubungan karenaNya dan saling mencintai karenaNya Ta’ala. Maka ini merupaka nikmat yang sangat besar dan agung yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada umat islam dan kepada ahlus sunnah, bahwa tidaklah mereka saling berhubungan dan saling mencintai kecuali karena Allah Ta’ala. Dan Nabi Shallallahu ‘alihi wa salam bersabda sebagaimana diriwayatkan An-Nasa’i dan Abu Ya’la dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-;

إن من عباد الله عباداً يغبطهم الأنبياء والشهداء ، ليسوا بأنبياء ولا شهداء ، قالوا صفهم لنا يا رسول الله لعلنا نحبهم ، قال: هم قوم تحابوا من غير أرحام ولا انساب ، وجوههم من نور على منابر من نور لا يخافون يوم يخاف الناس ولا يحزنون يوم يحزن الناس ، ثم تلى النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قول الله عز وجل: { أَلآ إِنّ أَوْلِيَآءَ اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ الّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتّقُونَ }سورة: يونس – الآية :62 , 63

“Sesungguhnya dari hamba Allah ada hamba-hamba yang ingin keadaan mereka seperti para nabi dan syuhada’, dan mereka bukan para nabi dan syuhada’. Mereka berkata: “Sebutkan cirri-cirinya kepada kami wahai Rasulullah”. Beliau berkata: “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai bukan karena hubungan rahim bukan pula nasab, wajah-wajah mereka dari cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya, mereka tidak takut pada hari yang manusia merasa takut, mereka tidak sedih pada hari yang manusia merasa sedih”. Kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih, mereka adalah orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa.”

Kemudian kita juga berterima kasih kepada Fadhilah Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta’ala- semoga Allah Ta’ala memberikan barakah pada beliau, pada ilmunya, perjuangannya, keluarganya dan anak-anaknya. Dan kita memohon kepada Allah –tabaraka wa ta’ala- agar menjadikan kita dan sekalian ikhwah kita termasuk penolong al-haq dan penyeru kepada petunjuk. Dan kita berterima kasih kepada beliau akan kunjungan beliau saudara beliau dan anak didik beliau. Maka kita memohon kepada Allah Ta’ala agar membalas beliau dengan sebaik-baik balasan.

Wahai sekalian ikhwah fillah,

Pada kesempatan ini kami mengingatkan diri-diri kami dan segenap ikhwah dengan besarnya nikmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita, yang mana Allah telah menunjuki kita kepada agamaNya dan memberikat kita taufiq kepada sunnah Rasulillah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka ini merupakan seutama-utama nikmat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada kepada hamba-hambaNya yang muslim, yaitu menunjuki mereka agamaNya dan menjadikan mereka termasuk pengikut RasulNya Muhammad Shallalllahu ‘alaihi wa salam. Allah Ta’ala menutup nikmat ini dari sekian banyak orang dan dari jutaan manusia, mereka tidak mendapatkan taufiq untuk merengkuhnya dan tidak menunjuki mereka untuk meniti jalannya, kemudia Allah Ta’ala memilihmu dan mengutamakanmu sehingga engkau menjadi hambaNya yang shalih. Dan Allah Ta’ala mengingatkan kita dalam kitabNya Al-Karim dengan kebaikan dan keutamaan ini, Allah Ta’ala berfirman;
{ وَاذْكُرُوَاْ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌ مّسْتَضْعَفُونَ فِي الأرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطّفَكُمُ النّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيّدَكُم بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مّنَ الطّيّبَاتِ لَعَلّكُمْ تَشْكُرُونَ}

“Dan ingatlah disaat kalian berjumlah sedikit lagi lemah di muka bumi, kalian takut akan disambar oleh manusia lalu Allah melindungi kalian dan mengkokohkan kalian dengan pertolonganNya dan Allah merizkikan kepada kalian perkara-perkara yang baik agar kalian bersyukur.” Al-Anfal: 26

Qatadah -rahimahullah- berkata: “Dahulu masyarakat Arab ini merupakan masyarakat yang paling hina, paling sulit kehidupannya, paling lapar perutnya, paling telanjang kulitnya dan paling jelaas kesesatannya, siapa yang hidup dari mereka hidup dalam kekerasan, siapa yang mati dari mereka dihempaskan dalam neraka sampai Allah mendatangkan islam, maka Allah Ta’ala mengokohkan mereka dengannya di semua negeri, meluaskan rizki bagi mereka dengannya, dan Allah Ta’ala menjadikan mereka penguasa di atas sekalian manusia”.

Kita harus memuji Allah Ta’ala atas semua itu, umat ini tidak memiliki nilai dan harga di tengah-tengah umat yang lain. Maka ketika Allah Ta’ala menginginkan untuk meninggikan kalimatnya dan mengangkat kepalanya Allah Ta’ala mengutus kepadanya rasul yang membawa petunjuk yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.
{لَقَدْ مَنّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مّنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُواْ عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكّيهِمْ وَيُعَلّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مّبِينٍ }

“Sungguh Allah telah menganugerahkan kepada kaum mukminin ketika Allah mengutus pada mereka seorang rasul dari diri mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Meskipun mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Ali-’Imran: 164

“Kesesatan yang nyata” berupa kesesatan kesyirikan, khurafat dan kebid’ahan. Maka Allah Ta’ala menyelamatkan mereka dengan nabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam. Allah Ta’ala menyatukan mereka dengannya setelah terjadi perpecahan memuliakan mereka dengannya setelah kehinaan, mengkayakan mereka setelah kemiskinan dan menunjuki mereka dengannya setelah tersungkur dalam kesesatan, kekufuran dan penyimpangan.

Maka ini adalah nikmat yang besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Tidaklah berlangsung kecuali beberapa saat dan sedikit tahun tiba-tiba dibukakan bagi umat ini negeri-negeri di bagian timur dan barat. Jadilah ia sebaik-baik umat dan umat terkuat dan termulia yang sebelumnya mereka hanyalah penggembala onta, sapid an domba. Tidaklah ia kecuali saat yang sebentar jadilah mereka seperti yang kalian dengar. Apa sebabnya?

Sebabnya adalah agama ini (islam), agama yang agung ini, agama yang penuh keutamaan dan kebaikan. Agama yang di saat salaf shalih berpegang teguh dengannya Allah Ta’ala memuliakan mereka dan mengangkat derajat dan kemuliannya. Demikian pula umat yang sekarang jika mereka kembali kepada agama mereka dan berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah nabinya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam niscaya akan terwujud bagi mereka apa yang Rabb mereka janjikan dalam kitabNya dan lisan nabiNya. Allah Ta’ala mengabarkan dalam kitabNya bahwa masa depan adalah bagi agama ini dan kesudahan yang baik adalah bagi hambaNya yang bertakwa sebagaimana Allah Ta’ala firmankan;
{هُوَ الّذِيَ أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىَ وَدِينِ الْحَقّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدّينِ كُلّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ }

“Dialah yang mengutus rasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia menampakan agama ini atas sekalian agama, meskipun orang-orang musyrik itu tidak suka.” At-Taubah: 33

Demikian juga Allah Ta’ala berfirman;
{ وَعَدَ اللّهُ الّذِينَ آمَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكّنَنّ لَهُمْ دِينَهُمُ الّذِي ارْتَضَىَ لَهُمْ وَلَيُبَدّلَنّهُمْ مّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}

“Allah telah menjajikan bagi orang-orang yang beriman dari kalian dan beramal shalih bahwa Allah akan benar-benar menguasakan mereka di muka bumi sebagaimana Allah telah menguasakan umat sebelum mereka, dan Allah akan benar-benar mengkokohkan agama mereka yang Dia telah ridhai bagi mereka, dan Allah benar-benar akan menggantikan bagi mereka ketakukan menjadi rasa aman, (jika) mereka beribadah kepadaku dan tidak menyekutukan aku dengan sesuatupun. Dan siapa yang kufur setelah itu maka mereka itulah orang yang fasiq.” An-Nur: 55

Dan Allah Ta’ala berfirman;
{وَلَيَنصُرَنّ اللّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنّ اللّهَ لَقَوِيّ عَزِيزٌ }

“Dan Allah benar-benar akan menolong orang yang menolongNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” Al-Haj: 40

Dan Allah Ta’ala berfirman;
{يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تَنصُرُواْ اللّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبّتْ أَقْدَامَكُمْ}

“Wahai oang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah maka Allah akan menolong kalian dan mengkokohkan kaki-kai kalian.” Muhammad: 7

Demikian pula janji yang ada dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda;
إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا

“Sesungguhnya Allah mengumpulkan bagiku bumi ini maka aku bias melihat bagian timur dan baratnya, dan sesungguhnya umatku akan sampai kekuasaannya pada apa yang dikumpulkan bagiku darinya.”

Kalau begitu, agama ini akan sampai kepada setiap tempat, memasuki setiap rumah sebagaimana dalam hadits Tamim Ad-Dary yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam;
لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلا وَبَرٍ إِلا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الإِسْلَامَ وَذُلا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ

“Benar-benar perkara ini akan sampai pada apa yang malam dan siang sampai padanya. Dan Allah tidak akan meninggalkan rumah perkotaan dan tidak pula pedesaan kecuali Allah memasukkan padanya agama ini dengan membawa kemuliaan bagi orang mulia dan membawa kehinaan bagi orang yang hina. Kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghinakan kekufuran.”

Allah Ta’ala tidaklah meninggalkan sebuah rumahpun, sama saja dari tanah liat, atau dari batu, atau dari kayu, atau dari bulu onta kecuali Allah Ta’ala memasukkan padanya agama ini. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa janji ini tidak akan terwujud kecuali jika umat ini kembali kepada agamanya, pemimpinnya, rakyatnya, masyarakatnya, keluarganya dan individunya. Allah Ta’ala tidaklah menghadiahkan pertolongan ini kecuali pada orang yang berhak menerimanya. Dan orang yang berhak atsanya adalah orang yang istiqamah di atas agamaNya dan syari’atNya, dan mereka berpegang teguh dengan kitabNya dan sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam seluruh perkara kehidupannya. Dalam perkara keyakinan, ibadah, mu’amalah, adab, akhlak, cara hidup, jalan hidup, dakawah dan juga dalam perkara pendidikan. Mereka itulah orang yang dicalonkan dan pantas mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala.

Dan ini sebagaimana juga diketahui, tidak mungkin terwujud kecuali jika ditemukan pada umat ini ukuran yang cukup dari kalangan ulama yang rabbany, ulama yang dalam ilmunya pemilik pandangan yang lurus, pemilik sifat wara’, zuhud dan pengalaman, yang mampu membedakan antara kemaslahatan dan kerusakan, membedakan antara manfaat dan madharat. Jika ada orang seperti mereka itu yang membimbing umat berdasarkan al-kitab dan as-sunnah dan mengembalikan umat kepada agama yang agung ini dan bias membawa umat untuk berpegang teguh dengan sunnah nabi pilihan Shallallahu ‘alaihi wa salam, maka diharapkan setelah itu akan terwujud pada mereka pertolongan Allah Ta’ala yang Allah ta’ala janjikan bagi mereka dalam kitabNya dan lisan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Dan ini sebagaimana diketahui juga menuntut dari umat ini adanya perhatian dan semangat, penyempatan dan pengorbanan dalam meraih ilmu yang bermanfaat ini, juga dalam menyebarkan ilmu yang bermanfaat ini ke tengah-tengah masyarakat kaum muslimin. Memenuhi kesempatan manusia dan pikira mereka. Yang mana dengannyaa umat akan membedakan mana petunjuk dan mana kesesatan, membedakan antara kesyirikan dan tauhid, antara sunnah dan bid’ah, antara manfaat dan madharat, antara penyimpangan dan petunjuk. Maka harus ada kadar ulama yang seperti ini, dan ini tidaklah akan terwujud kecuali dengan adanya perjuangan, pengorbanan dan penerimaan secara menyeluruh dari generasi umat ini akan ilmu yang bermanfaat ini yang mana ia adalah warisan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
(bersambung ke bagian 2 -insya ALLAH-)

Sumber:

http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/05/20/semangat-salaf-menuntut-ilmu/

5/31/11

SUDAH SALAFYKAH AKHLAKMU??!!


SUDAH SALAFYKAH AKHLAKMU??!!

Saudaraku, mungkin engkau balik bertanya kepadaku, kenapa hal itu engkau tanyakan?! Tidakkah engkau melihatku memelihara jenggot dan memendekkan ujung celanaku di atas mata kaki? Tidakkah engkau tahu bahwa aku rajin mengaji, duduk di majelis ilmu mendengarkan Kitabullah dan Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama yang disyarahkan oleh ustadz-ustadz salafy?

Sabar saudaraku, tenanglah aku tidak meragukan semua yang engkau katakan. Engkau tidak pernah absen menghadiri majelis ilmu, penampilanmu juga menunjukkan bahwa engkau berusaha untuk meneladani generasi salafus sholeh.

Tapi, tahukah engkau saudaraku .. (Ahlus Sunnah sejati adalah orang yang menjalankan islam dengan sempurna baik akidah maupun akhlak. Tidak tepat, jika ada yang mengira bahwasa seorang sunny atau salafy adalah orang meyakini I’tiqod Ahlus Sunnah tanpa memperhatikan aspek perilaku dan adab-adab islamiyah, serta tidak menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin.)[1].

Maafkan aku jika kata-kataku ini menyakitkan hatimu, tetapi hatiku tak tahan lagi untuk tidak mengatakannya, karena aku mencintaimu karena Allah, aku inginkan yang terbaik untukmu semoga Allah Ta’ala memperlihatkan kepada kita kebenaran itu sebagai suatu kebenaran dan membimbing kita untuk mengikutinya. Dan semoga Ia memperlihatkan kepada kita kebatilan itu sebagai suatu kebatilan serta menganugerahkan kepada kita taufik untuk menjauhinya.

Berapa banyak orang yang dibutakan dari kebenaran, dan tidak sedikit pula yang melihat kebenaran tetapi enggan mengikutinya. Berapa banyak pula orang yang mengira kebatilan adalah kebenaran dan tidak sedikit pula orang yang mengetahui kebatilan tapi masih saja mengikutinya.

Ya Allah .. berilah kami petunjuk dan luruskanlah kami …

Saudaraku,

Sikapmu yang kurang menghargai orang yang lebih tua darimu dan angkuh terhadap orang yang lebih muda darimu, dari mana engkau pelajari?!

Lupakah engkau hadits yang pernah kita pelajari bersama,

ليس منا من لم يرحم صغيرنا و يوقر كبيرنا

Artinya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak mengasihi yang lebih kecil dan tidak menghormati yang lebih besar”. (HR. At-Tirmidzi dari sahabat Anas rodhiyallahu ‘anhu dan dishohihkan oleh Al Albany di Shohih Al Jami’ no. 5445)

aku teringat hari itu, walaupun setiap mengingatnya hati ini merasa sedih dan resah. Ketika engkau dan beberapa orang lainnya menghadiri undangan. Turut hadir ketika itu orang-orang awwam yang di antaranya usia lebih tua dari kita. Ketika engkau masuk ke majelis lalu mengucapkan salam dan menjabat tangan semua yang duduk kecuali bapak itu, engkau menyalami orang yang duduk di samping dan belakang bapak itu, lalu engkau duduk se-enaknya di depan bapak itu tanpa sedikit senyuman apalagi menjabat tangannya!!

Owh ..jelas benar guratan sedih dan perasaan aneh yang menyemburat dari wajah bapak tersebut. Sampai aku pun malu duduk di situ, kalau bisa ingin rasanya aku untuk tidak hadir di situ dan saat itu..

Saudaraku, katakanlah kepadaku agar aku tidak berburuksangka kepadamu,

- Apa yang memberatkan bibirmu untuk memberikannya sedikit senyuman walaupun hambar?! Padahal engkau tahu Nabi kita shollollahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

“Senyumanmu dihadapan saudaramu adalah sedekah bagimu”. (HR. At-Tirmidzi, Bukhari di Adabul Mufrod dan Ibnu Hibban, Ash-Shohihah oleh Al-Albany no. 572)

- Apa yang membuat lidahmu kelu untuk menyapa walau hanya dengan tiga aksara “Pak”.

- Apa yang membuat tanganmu lumpuh untuk menjabat tangannya?! Seperti engkau menjabat tangan yang lainnya?! Tidakkah engkau pernah membaca atau mendengar bahwa salafunas sholeh menjabat tangan anak-anak ketika bertemu, lantas bagaimana kalau dia lebih tua darimu?

عن سلمة بن وردان قال: رأيت أنس بن مالك يصافح الناس، فسألني: من أنت؟ فقلت: مولى لبني ليث، فمسح على رأسي ثلاثاً، وقال: “بارك الله فيك”

Dari Salamah bin Wardaan ia menuturkan, “Aku melihat Anas bin Malik menjabat tangan manusia, maka ia bertanya kepadaku, ‘Engkau siapa?’. Aku menjawab, ‘Maulaa Bani Laits’. Lalu ia mengusap kepalaku tiga kali seraya berkata, ‘Semoga Allah memberkahimu”. (HR. Bukhari di Adabul Mufrod, Syaikh Al-Albany mengatakan, “Shohihul Isnad”)

Dari Al-Barro’ bin ‘Azib rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Termasuk kesempurnaan tahiyyah (salam) engkau menjabat tangan saudaramu”. (HR. Bukhari di Adabul Mufrod, Syaikh Al-Albany mengatakan, “Isnadnya shohih mauquf”).

Jawablah saudaraku! Bukankah dia juga seorang muslim? Apakah karena dia tidak berjenggot seperti dirimu dan celananya masih menutupi mata kaki??

Tidak saudaraku .. tidak! sejak kapan salam dan jabat tangan hanya khusus untuk orang-orang yang penampilan sama sepertimu atau orang-orang yang menghadiri majelis ilmu saja?!

Sikapmu inilah yang barangkali dapat menghambat dakwah salafiyah di terima oleh kaum muslimin. Membuat mereka merasa dijauhi dan dipandang sebelah mata.

Saudaraku .. ketika engkau mengaku seorang salafy tetapi dengan sikap dan akhlakmu yang jauh dari akhlak salafus sholeh engkau telah ikut menghalangi dan menghambat dakwah yang hak ini.

Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata di akhir kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah setelah menyebutkan pokok-pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Kemudian mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) disamping pokok-pokok ini, mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sesuai dengan apa yang diwajibkan syari’at. Mereka memandang tetap menegakan haji, jihad, sholat jum’at dan hari raya bersama para pemimpin yang baik maupun yang keji. Mereka menjaga (sholat) jama’ah, dan melaksanakan nasehat untuk umat. dan mereka meyakini makna perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama,

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا وشبك بين أصابعه

“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang kokok saling menguatkan satu dengan lainnya”. Lalu beliau menjalin di antara jari-jemarinya.(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa rodhiyallahu ‘anhu)

Dan sabdanya,

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh merasakan sakit, seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur”. (HR. Bukhari dan Muslim dari An Nu’man bin Basyir rodhiyallahu ‘anhu)

Mereka mengajak bersabar menghadapi ujian, bersyukur ketika lapang, dan ridho dengan pahitnya qodho’. Mereka mengajak kepada akhlak-akhlak yang mulia dan perbuatan-perbuatan baik, dan meyakini makna perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallama,

أكمل المؤمنين إيمانًا أحسنهم خلقًا

“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlak-akhlaknya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Mereka mendorong untuk menyambung hubungan dengan orang yang memutus hubungannya denganmu, memberi orang yang tidak mau memberimu, mema’afkan orang yang menzalimimu, memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtua, dan begitu juga mereka memerintahkan untuk menyambung silaturrahim, bertetangga dengan baik, melarang sifat angkuh, sombong, zalim dan merasa lebih tinggi dari makhluk dengan hak atau tidak dengan hak. Mereka memerintahkan kepada budi pekerti yang tinggi dan melarang dari akhlak yang tercela.

Dan seluruh apa yang mereka katakan dan kerjakan dari ini dan yang lainnya, sesungguhnya mereka dalam hal itu mengikuti Al Kitab dan As Sunnah. Jalan mereka adalah Dinul Islam yang Allah mengutus Muhamad shollallahu ‘alaihi wa sallama dengannya”. (Al Akidah Al Wasithiyyah, hal. 129-131).

Saudaraku, aku yakin engkau adalah seorang yang berjiwa besar dan bisa berlapang dada menerima nasehat, karena itu marilah kita perbaiki kekurangan-kekurangan kita dalam meneladani akhlak salaf sehingga sempurna pula ittiba’ kita kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

Semoga Allah Ta’ala membimbing kita untuk meniti jalan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama dan mengikuti jejak-jejak salafush sholeh baik dalam akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hubungan antara sesama, amin.
[1] An Nashiihah fiima Yajibu Muro’atuhu ‘indal Ikhtilaaf, oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily (13)

Ketika Nasihat Dianggap Celaan


Ketika Nasihat Dianggap Celaan

Oleh Ustadz Abu Muhammad Idral Harits (Ma’had Darussalaf Solo)

Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.

Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya pengertian nasehat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan, mencacati).

Pengertian Nasehat
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dengan menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah: “Nasehat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu, katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama (Islam) ini adalah nasehat (diulangi tiga kali oleh beliau).” Kami bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran Islam, Iman dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam (ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat), dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien (agama).1
Adapun nasehat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, menuntut adanya pelaksanaan secara sempurna semua kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan. Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian, tidaklah sempurna nasehat untuk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya, lurusnya keyakinan (‘aqidah) tentang Wahdaniyah (keesaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengikhlaskan niat dalam beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian, nasehat untuk Kitab-Nya artinya beriman kepada kitab tersebut, mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Adapun nasehat untuk Rasul-Nya, maksudnya ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap ketaatan dalam menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasehat untuk muslimin secara umum (bukan imam atau penguasa) artinya membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasehat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa mereka, menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka. (Al-Jami’ hal 101)
Dengan keinginan seperti ini, sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yang dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al Qur`an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan) Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an) sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang-orang yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.” (I’lamul Muwaqqi’in)
Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini (kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun walaupun demikian, yang ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang bertentangan (menyelisihi) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi, semua yang datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, Al-Qur’an yang mulia ini yang turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sama sekali tidak ada perselisihan di dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dalam risalahnya Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus dalam satu akad. Juga terhadap Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah yang menyatakan tidak ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lainnya yang memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepatnya perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan: “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik (penghuni) kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dalam kitabku bertentangan dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hal. 50, ed)
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita untuk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang sempat terucap maupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermadzhab dengan madzhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.
Yang lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan Al-Imam Sibawaih untuk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepadanya (Abu Hayyan): “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dalam 40 tempat yang tidak kamu pahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adalah suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniah (urusan agama) secara umum maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah atau dusta, sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya bertanya kepada (Al-Imam) Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah, tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits, atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”3 Maka Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”4
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka (apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin…”5
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ

Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR. Muslim)
Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itupun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.
Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang As-Sunnah atau aqidah, melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan adanya pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat, kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakekat Jarh wat Ta’dil).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang termasuk ajaran (agama) Islam.7
Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam, mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi) oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang yang menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

أَنَّ عاَئِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهاَ أَخْبَرَتْهُ قاَلَتْ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ. قُلْتُ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلاَمَ؟ قَالَ: أَيْ عاَئِشَةُ، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقاَءَ فُحْشِهِ

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putera) dalam kabilahnya.”
Ketika dia masuk, beliau melunakkan pembicaraannya terhadap orang tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah, anda mengatakan sebelumnya demikian (tentang dia), kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah9, terhadap orang yang dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang yang memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, ketika dia meminta nasehat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siapa dia sebaiknya menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصاَهُ عَنْ عاَتِقِهِ وَأَمَّا مُعاَوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ ماَلَ لَهُ انْكِحِي أُساَمَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya men­jarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau di sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus, sebagai nasehat buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan bahaya… 12
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yang datang kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran, pendustaan dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam Al Qur`an dan sama sekali tidak ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adalah agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang mereka runtuhkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umatnya dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa memperhatikan kebaikan yang ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آياَتٌ مُحْكَماَتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشاَبِهاَتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ ماَ تَشاَبَهَ مِنْهُ ابْتِغآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغآءَ تَأْوِيْلِهِ وَماَ يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّناَ وَماَ يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْباَبِ

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dari Al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah. Maka jauhilah mereka!” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para shahabatnya dengan orang-orang Khawarij:

يَخْرُجُ فِيْكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِياَمَكُمْ مَعَ صِياَمِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجاَوِزُ حَناَجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَماَ يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka, amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari sasaran13.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14, seburuk-buruk bangkai yang terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawabnya jelas, karena mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sefaham dengan mereka, dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena parahnya kebodohan dan kesesatan mereka…”
Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi. Mereka berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut, namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini dalam firman-Nya:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebagaimana firman-Nya:

كَانُوْا لاَ يَتَناَهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau pemikiran yang menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam masalah fiqih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.
Wallahu a’lam.

1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Kitab Al-Iman.
2 Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam, red.
3 Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
4 Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
5 Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
6 Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
7 Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
8 Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
9 Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
10 Syarh Shahih Muslim 16/144.
11 Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
12 Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
13 Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
14 Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
15 Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia dan isterinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh. Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.

CITRA ANAK SHALIH


CITRA ANAK SHALIH



Oleh Ustadz Zainal Abidin, Lc. hafizhahullahu ta’ala

Lembaga pendidikan hanya sebuah sarana dan sekolah hanya sekedar tempat singgah anak untuk menjalani persiapan menuju jenjang pendidikan berikutnya. Namun sangat disayangkan sebagian lembaga pendidikan ternyata lebih banyak mewarnai prilaku dan tabiat buruk anak. Oleh karena itu, sukses dunia-akhirat harus menjadi bahan pertimbangan yang utama dan orang tua harus pandai-pandai memilih lembaga pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam.

Banyak orang awam dan berkantong tebal salah dalam memilih lembaga pendidikan. Mereka bukan lagi mempertimbangkan kebersihan akidah dan keluhuran akhlak bagi anaknya, pertimbangan mereka hanya berorientasi pada keberhasilan di dunia sehingga mereka banyak yang salah dalam memilihkan tempat bagi pendidikan putra-putrinya dengan memilih sekolah favorit yang ternama dan bergengsi, walaupun harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal, dan bahkan menjadi trend dan dianggap bisa mengangkat prestise jika menyekolahkan anaknya di tempat orang-orang kaya. Akibat kesalahan orang tua dalam memilihkan sekolah untuk anaknya membuat pupus harapannya untuk menimang anak shalih.

Agar seorang muslim tidak gagal dalam mendidik anak-anaknya maka harus memperhatikan kesalahan-kesalahan berikut ini:

1. Salah Tujuan.

Seringkali orang tua menyekolahkan anak karena malu sama tetangga atau takut sama teman-teman kalau anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya atau kawatir anaknya nanti tidak mendapat lapangan kerja yang layak atau ingin anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, niat utama orang tua haruslah berangkat dalam rangka menjalankan perintah Alloh, memenuhi kewajiban hamba sebagai orang tua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya, dan agar anaknya menjadi hamba Alloh yang bertakwa dan shalih yang menjadi simpanan abadi di akherat kelak. Jadi, bukan hanya sekedar menyekolahkan anak biar pintar, atau lebih parah lagi untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah bergengsi agar berhasil meraih titel tinggi.

Saat ini sekolah yang berorientasi hanya untuk keberhasilan dunia masih menjadi prioritas banyak orang awam dan mereka tidak memperhatikan pendidikan yang ikhtilat atau bukan. Sehingga kemaksiatan mudah tercipta di sekolah tersebut, karena landasan agama dicampakkan, sementara dunia menjadi tujuan. Akibatnya, di sekolah-sekolah yang ikhtilat, banyak terjadi kasus zina melalui budaya pacaran, pergaulan bebas dan asmara buta sehingga kekejian merebak dan perzinahan merajalela.

2. Salah Sekolahan.

Bisa jadi orang tua sudah benar dalam niat, tapi karena minimnya ilmu agama, sehingga ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia memasukkan anaknya ke sekolah agama seperi madrasah atau pesantren tetapi ternyata pesantrenya penuh dengan bid’ah atau kurang mengontrol aqidah dan akhlak atau memasukkan ke sekolah Islam yang di situ bercampur baur antara pelajar laki-laki dengan perempuan atau kurang perhatian dalam sistim pengajaran sehingga bercampur antara pelajaran yang syar’i dan bid’ah, bahkan antara ajaran Islam dan ajaran kafir. Sehingga hal itu akan memberikan pemahaman dan efek buruk pada pemikiran sang anak. Ia pun secara sistematis akan tumbuh menjadi generasi dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang menyimpang dari syariat Islam.

3. Salah Keteladanan.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan diatas bahwa keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Ketika orang salah memberikan keteladanan maka anak terdidik diatas kebiasaan buruk dan prilaku yang negatif sehingga setiap orang tua tidak boleh meremehkan hal tersebut. Karena contoh yang diberikan oleh orang tua maupun guru sangat berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Saat kita bicara aqidah dan moral maka pendidik harus menjunjung tinggi nilai-nilai aqidah dan moralitas agama agar anak-anak tumbuh dewasa diatas aqidah dan moral yang sempurna. Maka, mencari seorang pendidik juga harus selektif. Pendidik seharusnya orang yang memiliki kelebihan ilmu dan amal di banding murid-muridnya.

4. Salah Metode Pendidikan

Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai dan hal itu akan mempengaruhi keberhasilan anak didik. Contohnya, untuk mendisiplinkan anak-anak diterapkan sanksi kekerasan fisik yang hanya membentuk watak keras bagi sang anak, atau memberi toleransi yang berlebihan sehingga membuat anak semakin manja. Tak jarang juga orang tua selalu memenuhi keinginan dan permintaan anak yang bersifat materi sehingga anak tumbuh menjadi anak yang cinta dunia sementara ada juga orang tua yang sangat mengabaikan permintaannya sehingga anank mempunyai kebiasaan mencuri. Atau anak hanya dicecar dengan hafalan namun kurang diajak untuk memahami suatu permasalahan.

5. Motivasi Yang Kurang Tepat.

Kesalahan orang tua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendoromg anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan atau memotifasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Alloh hanya untuk berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan maka tatkala dia tidak bisa ber prestasi dia akan menjadi orang yang frustasi dan malas belajar, sementara anak yang didorong agar tidak tersaingi oleh teman-temannya akan timbul sifat angkuh, sombong dan egois dan anak yang dimotifasi agar bangga dengan prestasi yang dicapainya menjadikan anak tidak pandai bersyukur kepada Alloh dan dia hanya bersemangat menuntut ilmu hanya untuk prestasi tatkala gagal dia akan kehilangan kendali.

6. Membatasi Kreativitas Anak.

Ada sebagian orang tua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreatifitas anak. Hal ini akan berdampak bakat anak terkekang, tidak berkembang kreatifitasnya, kurang percaya diri, tidak pandai bergaul dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orang tua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas anak untuk mengembangkan kreatifitasnya selagi kreatifitas tersebut tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, bermanfaat untuk diri maupun agamanya maka anak akan merasa mendapat dukungan sehingga ide cemerlang akan muncul dan anak akan menjadi orang yang bertanggung jawab dan bangga kepada orang tuanya sehingga orang tua akan mendapatkan hasil dari pendidikan anaknya.

7. Membatasi Pergaulan.

Terkadang maksud baik orang tua agar anaknya tidak terpengaruh oleh pergaulan teman-temannya bertindak melampui batas dalam memprotek pergaulan anaknya, bahkan jika orang tuanya ada tamu, anak-anaknya dilarang keluar menemuinya dan harus menjauh agar tidak mengganggu tamunya. Atau anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih sementara kepada teman-temannya yang shalih, paham sunnah dan rajin beribadah justru dilarang mendekatinya. Sikap orang tua seperti ini akan membuat anak menjadi malu dan tidak pandai bergaul, atau akan menjadikan anak meremehkan dan merendahkan orang lain dalam bergaul karena tidak selevel dengan dia sebagaimana yang diajarkan orang tuanya. Seharusnya orang tua bijaksana mengawasi pergaulan anak-anaknya jangan terlalu membatasi dan jangan terlalu membiarkan anak bergaul dengan siapa saja. Orang tua harus selalu mengingatkan dan memantau anak agar bergaul dengan orang-orang shalih, yang paham terhadap sunnah, rajin beribadah dan berakhlak mulia serta teman-teman yang bisa memotivasinya menjadi orang yang bermanfaat untuk diri, agama, orang tua dan orang disekitarnya. Dengan demikian anak akan tumbuh menjadi anak yang pandai bergaul dan selektif memilih teman dengan bimbingan orang tuanya.

8. Tidak Disiplin dan Kurang Tertib.

Ketidak disiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orang tua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Alloh, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan anak laki-laki diperintahkan shalat dimasjid, melatih diri untuk berpuasa serta mentaati perintah orang tua dalam kebaikan bukan dalam kemaksiatan.

Setiap orang tua atau pendidik hendaknya membuatkan jadwal rutin harian, yang berkaitan dengan ibadah, tugas harian maupun tugas sekolah dan orang tua harus senantiasa mengontrol dan mengawasinya jangan sampai ada yang terlewatkan sehingga lama kelamaan akan menjadi suatu rutinitas dan terbiasa hidup tertib dan disiplin.

9. Pendidikan Formal.

Sebagian orang tua sudah merasa cukup dengan pendidikan formal atau lembaga kursus atau bimbingan belajar anak-anaknya dalam mencari ilmu pengetahuan. Padahal kebanyakan lembaga tersebut tidaklah mengajar kecuali ilmu yang berkaitan dengan keduniaan saja, tanpa memeperdulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan aqidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Sehingga saat anak lulus dari lembaga formal tidak bisa menghadapi realita dan persaingan hidup. Kebutuhan ilmu sang anak tidak terbatas yang didapat di sekolah atau madrasah saja. Setiap anak harus membekali dirinya dengan berbagai macam pengetahuan yang berkaitan dengan realita kehidupan, perkembangan teknologi, informasi, komunikasi, situasi terkini, dunia binatang , ataupun dunia tumbuh-tumbuhan, namun orang tua harus tetap aktif dan selektif dalam memilihkan bacaan untuk anak-anaknya agar anak tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak dinginkan.

10.Kurang Mengenalkan Tanggung Jawab.

Orang tua harus menumbuhkan kesadaran dan perasaan tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban baik yang terkait dengan urusan agama dan dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apapun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kemampuan yang ada. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban daripada menuntut haknya baik hubungannya dengan Alloh azza wa jalla maupun kepada sesama manusia terutama kepada orang tua, sanak kerabat dan teman-temannya.

Orang tua harus mengenalkan kepada anak-anaknya tentang tanggung jawab kepada agama, diri dan lingkungannya. Bahkan anak harus dikenalkan tentang kewajiban zakat, infak dan sedekah, menyantuni anak yatim dan orang fakir-miskin agar tumbuh rasa tanggung jawab dan sensitivitas anak pada agama dan lingkungan baik lingkungan rumah dan sekolah, sehingga tidak bercokol sifat egois dan kering perasaan dalam dirinya.

11.Rasa Khawatir yang Berlebihan.

Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak suatu sifat yang wajar yang ada pada setiap orang tua, namun perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila sikap tersebut berlebihan sehingga berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi dan mencintai anak secara berlebihan karena takut terfitnah agamanya.

Ketakutan seperti itu hanya akan membuat hidup terbebani, tidak percaya dengan takdir, dan mengurangi ketawakalannya kepada Alloh sehingga yang ada hanya perasaan tidak tenang dan khawatir terhadap nasib anaknya. Hal ini yang kadang membuat orang tua tidak tega saat akan melepas anaknya untuk menempuh pendidikan boarding school di pesantren. Setiap orang tua harus menyadari bahwa suatu saat nanti anak akan berpisah dengannya baik dalam rangka untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya setelah menikah kelak.

Pendidikkan yang diberikan orang tua baik yang dilakukan sendiri atau dikirim ke pesantren akan bermanfaat baik untuk dirinya maupun anaknya maka orang tua hendakanya jangan khawatir secara berlebihan terhadap anak-anaknya.

12.Kurang Sabar dalam Menerima Hasil.

Bisa jadi orang tua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya atau boleh jadi orang tua telah memdidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang persuahannya setelah dia meninggal. Tapi ternyata anaknya justru mengecewakan dan tidak sesuai dengan harapannya, bukan karena kenakalan dan pembangkangan sang anak akan tetapi ternyata bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orang tuanya. Akhirnya timbul kekecewaan dan menuntut sang anak harus bisa meraih target yang diinginkan orang tuanya. Maka sering kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa, makanya belajar yang betul!”.

Padahal, kita semua sadar bahwa Alloh azza wa jalla mengaruniakan kecerdasan dan kemampuan yang berbeda kepada setiap hambanya. Seharusnya orang tua bersikap bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Dan kewajiban orang tua hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan dan membina anak-anaknya, sedangkan hasilnya, Alloh Mahaadil dan Mahatahu apa yang terbaik bagi hambaNya. Jadi kenapa orang tua harus kecewa dengan hasil yang tidak sesuai keinginannya, Insya Alloh bukan hasil tujuan akhir dari pendidikan, tetapi kesabaran dan istikomah dalam mendidik dan mengarahkan anak hingga menjadi orang yang mampu berkiprah dalam kehidupan.

13.Kecurigaan yang Berlebihan.

Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak, karena hal itu akan mempermudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain, amanah pendidikan akan mudah ditunaikan, anak akan mencintai orang tuanya secara tulus dan anak memandang penuh dengan hormat penuh kasih sayang kepada keduanya. Tetapi bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianati kepada orang tuanya akan membuat perasaan anak tercabik-cabik, menumbuhkan kekecewaan, kekesalan dan kemarahan anak kepada orang tua apalagi anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.

Oleh karena itu orang tua harus berhati-hati dalam menilai anak-anaknya jangan mudah curiga dan menuduh anak dengan sesuatu tanpa alasan dan bukti hanya karena kurang cinta atau cemburu. Orang tua juga tidak boleh meremehkan kemampuan dan kelebihan anak dengan menganggapnya masih terlalu kecil.

Sementara sang anakpun jangan mudah menvonis orang tuanya tidak sayang dan membencinya, seharusnya seorang anak harus sabar menghadapi sikap orang tuanya yang kurang berkenan dan sebaiknya mencari informasi yang sebenarnya kenapa orang tuanya bersikap demikian dan menghilangkan dendam kepada orang tua karena sikapnya tersebut. Karena jika dendam dibiarkan akan memutus hubungan silaturahmi. Maka, pupuklah sikap saling percaya, tumbuhkan empati, dan sikap terbuka dalam menghadapi setiap masalah.

14.Menjauhkan Anak Dari Orang Shalih.

Sikap orang tua atau pendidik yang demikian akan merusak aqidah dan moral anak, karena kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih pasti mereka akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Dekatnya anak dengan para ulama dan orang-orang shalih akan memotivasinya cinta kebaikan dan mengamalkan amal shalih serta mendapatkan lingkungan yang bagus. Maka siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik akan tertular kebaikannya dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk maka akan terkena getah keburukannya.

Wahai anak shalih yang mendambakan surga, jangan biarkan dirimu bergaul dengan orang buruk berhati serigala, orang munafik, orang fasik dan ahli bid’ah perusak agama. Ingat! Orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang yang baik dan orang yang buruk akan berkumpul dengan orang yang buruk. Dan pada hari kiamat kelak seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.

KEBIASAAN BURUK ANAK

Anak kadang mempunyai kebiasaan buruk yang harus segera diluruskan karena kebiasan buruk kalau dibiarkan akan menjadi tabiat atau karakter yang sulit dirubah maka orang tua atau pendidik harus waspada dan jeli mencermati tingkah laku dan kebiasan anak sehingga jika sikap yang janggal atau tidak wajar bisa segera ditangani dan diluruskan.

Adapun kebiasaan buruk yang biasa dilakukan anak dan harus segera diperbaiki antara lain:

Pertama: Suka bohong.

Kebiasaan yang sering dilakukan anak adalah suka berbohong, dan bohong dengan mudah mereka lakukan karena mereka belum bisa merasakan akibat buruknya dan belum mampu menimbang resikonya. Walaupun anak melakukan tindakan bohong belum terkena hukum syareat namun orang tua harus tetap waspada dan membimbing anaknya dengan lemah lembut agar kebiasaan bohong tidak menjadi kebiasan dan tabiatnya hingga besar nanti .

Ketika orang tua mendapati anaknya berbohong sebaiknya segera menjelaskan kepada anak tentang kejelekan dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan bohong serta mengajarkan dan membiasakan anak untuk selalu berbuat jujur dan menjelaskan keutamaan jujur bahwa Alloh mencintai orang-orang jujur.

Orang tua harus mengetahui juga bahwa anak berbohong karena ketidaksengajaan atau sekedar main-main dan kelakar saja.

Kedua: Suka Usil

Kebiasan usil sering dilakukan anak dan merupakan karakter kebanyakan anak, karena sifat penasaran anak sangat tinggi dan keinginan untuk mengetahui hal-hal baru cukup besar, maka orang tua harus mengarahkan kepada perkara positif dan tidak boleh teledor karena kebiasan suka usil kalau dibiarkan akan menjadi kebiasan negatif yang menganggu orang lain dan kadang suka merusak barang.

Ketiga: Suka Melawan

Bila anak suka melawan, orang tua harus mencari sebabnya dulu kenapa anak suka melawan, bisa jadi kebiasan tersebut karena anak terlalu dimanja atau sebaliknya anak kurang mendapat perhatian atau tidak mendapat perhatian sama sekali baik dari orang tua, guru maupun orang disekitarnya. Biasanya kebiasaan melawan diungkapkan dengan suka berteriak-teriak, kalau disuruh membantah, suka cari perhatian orang lain dan kadang merusak barang bila hal itu dibiarkan dan tidak diketahui penyebabnya anak akan tumbuh menjadi anak yang kasar, pendendam, dan tidak tahu diri .

Setelah orang tua tahu penyebab kenapa anak suka melawan maka orang tua bisa memulai mencari jalan keluar bila ternyata penyebabnya adalah karena kurang kasih sayang orang tua maka berikan kasih sayang namun jangan berlebih-lebihan, dan kalau penyebabnya karena terlalu dimanja orang tua maka orang tua harus mulai tegas bila anak melakukan kesalahan maka harus segera ditegur jangan ditunda-tunda dengan alasan kasihan, bila ternyata penyebabnya adalah karena kurangnya perhatian dari guru atau kakaknya atau orang disekitarnya maka orang tua harus bekerja sama dengan orang-orang yang terkait untuk melakukan pendekatan, dan kalau ternyata penyebabnya bukan karena semua itu maka orang tua harus mencermati mungkin karena pengaruh media sehingga membuat dia menjadi suka melawan, orang tua dalam hal ini harus benar-benar mengontrol aktifitas anak dan jangan lupa senantiasa berdoa kepada Alloh agar anak-anaknya dijaga dari berbagai mara bahaya yang bisa merusak jasmani maupun agamanya.

Keempat: Kurang Mengenali Bahaya

Kemampuan berfikir dan daya nalar anak masih terbatas sehingga dalam mengambil tindakan kadang kurang tepat maka orang tua harus sabar dan tidak emosiaonal serta harus dengan kepala dingin dan menyelesaikan masalah yang dihadapi anak dengan penuh hikmah sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadi yang matang, tidak emosional, daya nalarnya berkembang, kemampuan analisa tumbuh normal dan bakatnya tersalurkan serta anak semakin dewasa sehingga mampu mengenali tindakan yang membahayakan baik untuk dirinya maupun orang lain.

Merupakan kesalahan besar orang tua adalah jika anak melakukan kesalahan atau melakukan tindakan yang membahayakan dirinya maka orang tua langsung membentak dan meneriakinya bahkan menghardiknya, sehingga anak ketakutan bahkan anak bisa kaget dan spontan loncat dari atas tangga, pagar, atap atau tempat yang sedang dinaiki karena takut kena dan bisa berakibat fatal karena bisa jatuh. Maka orang tua harus hati-hati dan

Kelima: Egois dan Cinta Diri

Sikap egois dan kepemilikan merupakan fitrah semua manusia terutama anak dan orang tua tidak perlu menghalanginya dengan melakukan tindakan atau sanksi namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara anak memiliki sesuatu yang dimilikinya. Karena pada usia tertentu anak belum bisa membedakan antara kepemilikan yang sah dengan yang tidak. Anak kadang mendapatkan barang dengan cara merampas, mencuri, merebut milik temannya dan yang lainnya. Dan pada umumnya kebiasaan anak seperti itu terjadi disebabkan karena sikap orang tua yang terlalu pelit dan kurang memenuhi permintaan anaknya.

Keenam: Sikap Keras Kepala

Sikap keras kepala dan membandel sering menghiasi sikap dan tabiat anak karena setiap anak mempunyai kecondongan agar dirinya mendapat pengakuan dan menunjukkan keberadaannya di tengah lingkungan. Orang tua dalam menghadapi masalah tersebut tidak perlu resah dan gelisah selagi tidak menjadi watak dan tabiat yang akan menghancurkan diri anak itu sendiri dan orang tua juga harus peka karena biasanya sifat ini muncul karena perasaan iri dengan barang milik orang lain barang.

Ketujuh: Cepat Bosan dan Kurang Sabar

Cepat bosan dan kurang sabar memang sudah menjadi tabiat anak dan biasanya sifat ini tidak bertahan lama dan gampang berubah-ubah seperti bermain-main ketika sedang belajar, bertanya tidak sesuai dengan materi pelajaran dan main-main baju atau tali atau kabel atau tambang atau bicara dengan teman lainnya saat pelajaran sedang berlangsung, atau kadang bengong. Maka tindakan yang paling tepat adalah mengalihkan perhatian anak kalau anak sudah bosan dengan aktifitas tertentu dan memberi pengajaran disesuaikan dengan umur dan jenjang pendidikan.

CARA MENGATASI ANAK NAKAL

Pertama: Sikap Hati-hati dan Penuh Hikmah

Setiap anak pasti memiliki permasalah yang berbeda-beda dan orang tua wajib berhati-hati dan bijaksana dalam menghadapi setiap permasalahan yang terjadi terutama mengatasi kenakalan anak, agar tidak semakin rumit. Rasululloh teladan kita telah memberi contoh bagaimana beliau sangat bijaksana dalam mengatasi setiap gejolak rumah tangga sebagaimana yang telah dituturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa pernah Nabi berada dirumah salah seorang isterinya kemudian ada salah seorang Umahatul mukminin mengirim sepiring makanan untuk Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam maka istri yang ada di rumah tersebut memukul tangan pembantu dan piring yang ada ditangan pembantu tersebut jatuh dan pecah, maka nabi mengumpulkan piring yang pecah dan memisahkan makanan dari piring yang pecah tersebut lalu beliau bersabda: Ibumu lagi cemburu. kemudian Nabi menahan pembantu tersebut hingga istri yang memecahkan piring menggantinya dengan piring yang masih utuh dan beliau menahan piring yang pecah di rumah istri yang mecahkannya.[1]

Bagaimana Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dengan bijaksana dan penuh hikmah ketika menghadapi kecemburuan isterinya yang sedang membara, maka wajib bagi orang tua meneladani Rasululloh ketika menghadapi api fitnah yang menimpa rumah tangganya. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam mengajarkan dangan cara bijaksana dan penuh hikmah menyelesaikan problem yang menimpanya, karena jika tidak, kondisi makin panas, suasana makin keruh dan api fitnah semakin menyala dan hubungan keluarga menjadi rusak serta kemelut makin meruncing sementara Alloh azza wa jalla tidak menyukai kerusakan.

Kedua: Pandai Menyesuaikan Diri

Antara suami dan istri dalam menyikapi kenakalan anak harus bijaksana dan bisa memahami serta mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi anak sehingga anak sadar bahwa dirinya sedang bermasalah. Orang tua harus bisa menyesuaikan diri dan menyelami karakter anak agar bisa berinteraksi dengan baik kepada anak yang sedang bermasalah sehingga cepat mendapatkan jalan keluar.

Anak jangan biasa dipaksa untuk selalu menuruti keinginan dan kehendak orang tua akan tetapi orang tua harus pandai memahami dan menyelami dunia mereka. Bukan berarti orang tua harus mengalah dan membiarkan anak berani kepada orang tua namun kadang dalam menghadapi kenakalan anak, orang tua harus mengikuti dan menghayati perasaan dan emosi anak dalam rangka untuk melakukan pendekatan sehingga bisa menuntaskan masalah dengan baik.

Ketiga: Menjaga Lisan

Dalam mengatasi masalah kenakalan anak orang tua harus menghindari kata-kata kotor, ucapan jelek, hardikan dan cercaan, karena demikian itu akan menutup rapat-rapat pintu ketegangan dan permusuhan antara orang tua dengan anak. Karena kalau hal itu diketahui anak maka tidak menutup kemungkinan akan kecewa dan balas dendam kepada orang tua, sehingga orang tua akan menyesal. Rasululloh azza wa jalla bersabda: Bukankah manusia tersungkur mukanya didalam neraka Jahanam melainkan karena hasil buah lisannya.[2]

Oleh karena itu, menjaga lisan dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor saat marah ketika melihat anaknya nakal atau saat permasalahan rumah tangga terjadi merupakan suatu langkah tepat untuk mencari solusi dan jalan keluar.

Keempat: Jangan Membuka Rahasia di Luar Rumah

Jika suami istri mempunyai problem rumah tangga dengan kenakalan anak maka masing-masing anggota keluarga harus pandai menyimpan rahasia, jangan suka memeberkan aib keluarga kepada keluarga suami ataupun keluarga istri, karena mereka tidak mengetahui akar permasalahan secara utuh dan gambaran problem secara menyeluruh hal itu bisa menimbulkan masalah baru karena masing-masing keluarga akan membela keluarganya dan menyalahkan pihak-pihak lain maka masalahnya bukan berkurang malah bertambah melebar.

Oleh karena itu para suami istri harus pandai mengidentifikasikan masalah dan menyelesaikannya secara intern tanpa harus melibatkan orang lain, kalau ternyata masalah tidak bisa terselesaikan maka tidak mengapa menghadirkan pihak penengah yang adil baik dari pihak keluaarga istri maupun keluarga suami dengan memohon pertolongan kepada Alloh, mudah-mudahan segala masalah segera terselesaikan.

Kelima: Konsultasi Kepada Ahli Ilmu dan Pakar Ahli

Jika kedua pasangan menemukan jalan buntu dalam menyelesaikan masalah terutama dalam menghadapi kenakalan anak maka seharusnya kedua orang sepakat berkonsultasi kepada para ulama yang terpercaya ilmunya, insya Alloh para ulama tersebut akan membantu mencarikan jalan keluar. Biasanya orang yang sedang menghadapi masalah tidak bisa berfikir panjang dan tidak mempunyai pendapat serta emosinya tidak stabil maka mereka sangat membutuhkan orang yang bisa membantu mereka, Alloh azza wa jalla berfirman:

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Alloh memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An Nisa’ 35).

Dengan konsultasi kepada orang shalih dan pakar ahli maka orang tua yang sedang panik akan mendapatkan jawaban tuntas atau langkah-langkah awal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi kenakalan anak sehingga bisa membuatnya tenang sejenak . Tetapi perlu dicatat sehebat apapun orang yang memberi solusi namun pada akhirnya masalah tidak akan bisa selesai kalau yang bersangkutan tidak mau menerapkan solusi yang telah diberikan.

Keenam: Rela Menerima Putusan Takdir

Beriman kepada takdir secara benar sangat membantu menenangkan pikiran dan meredam gejolak hati yang sedang galau menghadapi musibah dan kemelut hidup, karena sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia pasti dibatasi oleh ketetapan takdir Alloh, dan segala sesuatu yang dikehendaki Alloh pasti terjadi tidak ada satu makhlukpun yang mampu menghalangi dan mengelak darinya. Maka rela menerima putusan takdir, membuat hati tenang, pikiran tentram dan menghadapi masalah hidup dengan penuh keteguhan dan keberanian, sehingga cobaan hidup yang sangat beragam seperti tidak mempunyai anak, anak sedang sakit, anak nakal, konflik rumah tangga, perselingkuhan, suami atau istri malas beribadah, atau ingin menyekolahkan anak tidak mempunyai biaya dan yang lain sebagainya mampu tertanggulangi dan semuanya tetap bisa dihadapi dengan penuh kesabaran. Maka orang seperti ini akan mendapatkan ketentraman hidup di dunia dan kebahagiaan diakherat dengan mendapatkan karunia surga dan keridhaannya.

Sumber : Buku “Untukmu Anak Shalih”, buah karya Ust. Zaenal Abidin, Lc -hafidzahullohu ta’ala-.

[1]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (5225), Imam Abu Daud dalam Sunannya (3567), Imam Nasa’i dalam Sunannya (3955) dan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (2334).[2] . Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2616) Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (3973) dan dishahihkan Syaikh al-Bani dalam Irwaul Ghalil (413).

Bagaimana Mengatasai Problema Anak Nakal ?

Bagaimana Mengatasai Problema Anak Nakal ?

Oleh Ustadz Zainal Abidin, Lc.

Sebagai orangtua kita pasti mendambakan anak-anak yang patuh dan tidak nakal dalam kehidupan sehari-harinya. Namun banyak juga kita menemukan anak-anak yang nakal dan menyebabkan masalah bagi orangtua bahkan masyarakat. Tulisan berikut ini berusaha untuk memberi solusi dalam mengatasi problema anak nakal.

Selamat Membaca.
Pertama: Sikap Hati-hati dan Penuh Hikmah

Setiap anak pasti memiliki permasalah yang berbeda-beda dan orang tua wajib berhati-hati dan bijaksana dalam menghadapi setiap permasalahan yang terjadi terutama mengatasi kenakalan anak, agar tidak semakin rumit. Rasululloh teladan kita telah memberi contoh bagaimana beliau sangat bijaksana dalam mengatasi setiap gejolak rumah tangga sebagaimana yang telah dituturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa pernah Nabi berada dirumah salah seorang isterinya kemudian ada salah seorang Umahatul mukminin mengirim sepiring makanan untuk Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam maka istri yang ada di rumah tersebut memukul tangan pembantu dan piring yang ada ditangan pembantu tersebut jatuh dan pecah, maka nabi mengumpulkan piring yang pecah dan memisahkan makanan dari piring yang pecah tersebut lalu beliau bersabda: Ibumu lagi cemburu. kemudian Nabi menahan pembantu tersebut hingga istri yang memecahkan piring menggantinya dengan piring yang masih utuh dan beliau menahan piring yang pecah di rumah istri yang mecahkannya.[1]

Bagaimana Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dengan bijaksana dan penuh hikmah ketika menghadapi kecemburuan isterinya yang sedang membara, maka wajib bagi orang tua meneladani Rasululloh ketika menghadapi api fitnah yang menimpa rumah tangganya. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam mengajarkan dangan cara bijaksana dan penuh hikmah menyelesaikan problem yang menimpanya, karena jika tidak, kondisi makin panas, suasana makin keruh dan api fitnah semakin menyala dan hubungan keluarga menjadi rusak serta kemelut makin meruncing sementara Alloh azza wa jalla tidak menyukai kerusakan.
Kedua: Pandai Menyesuaikan Diri

Antara suami dan istri dalam menyikapi kenakalan anak harus bijaksana dan bisa memahami serta mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi anak sehingga anak sadar bahwa dirinya sedang bermasalah. Orang tua harus bisa menyesuaikan diri dan menyelami karakter anak agar bisa berinteraksi dengan baik kepada anak yang sedang bermasalah sehingga cepat mendapatkan jalan keluar.

Anak jangan biasa dipaksa untuk selalu menuruti keinginan dan kehendak orang tua akan tetapi orang tua harus pandai memahami dan menyelami dunia mereka. Bukan berarti orang tua harus mengalah dan membiarkan anak berani kepada orang tua namun kadang dalam menghadapi kenakalan anak, orang tua harus mengikuti dan menghayati perasaan dan emosi anak dalam rangka untuk melakukan pendekatan sehingga bisa menuntaskan masalah dengan baik.
Ketiga: Menjaga Lisan

Dalam mengatasi masalah kenakalan anak orang tua harus menghindari kata-kata kotor, ucapan jelek, hardikan dan cercaan, karena demikian itu akan menutup rapat-rapat pintu ketegangan dan permusuhan antara orang tua dengan anak. Karena kalau hal itu diketahui anak maka tidak menutup kemungkinan akan kecewa dan balas dendam kepada orang tua, sehingga orang tua akan menyesal. Rasululloh azza wa jalla bersabda: Bukankah manusia tersungkur mukanya didalam neraka Jahanam melainkan karena hasil buah lisannya.[2]

Oleh karena itu, menjaga lisan dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor saat marah ketika melihat anaknya nakal atau saat permasalahan rumah tangga terjadi merupakan suatu langkah tepat untuk mencari solusi dan jalan keluar.
Keempat: Jangan Membuka Rahasia di Luar Rumah

Jika suami istri mempunyai problem rumah tangga dengan kenakalan anak maka masing-masing anggota keluarga harus pandai menyimpan rahasia, jangan suka memeberkan aib keluarga kepada keluarga suami ataupun keluarga istri, karena mereka tidak mengetahui akar permasalahan secara utuh dan gambaran problem secara menyeluruh hal itu bisa menimbulkan masalah baru karena masing-masing keluarga akan membela keluarganya dan menyalahkan pihak-pihak lain maka masalahnya bukan berkurang malah bertambah melebar.

Oleh karena itu para suami istri harus pandai mengidentifikasikan masalah dan menyelesaikannya secara intern tanpa harus melibatkan orang lain, kalau ternyata masalah tidak bisa terselesaikan maka tidak mengapa menghadirkan pihak penengah yang adil baik dari pihak keluaarga istri maupun keluarga suami dengan memohon pertolongan kepada Alloh, mudah-mudahan segala masalah segera terselesaikan.
Kelima: Konsultasi Kepada Ahli Ilmu dan Pakar Ahli

Jika kedua pasangan menemukan jalan buntu dalam menyelesaikan masalah terutama dalam menghadapi kenakalan anak maka seharusnya kedua orang sepakat berkonsultasi kepada para ulama yang terpercaya ilmunya, insya Alloh para ulama tersebut akan membantu mencarikan jalan keluar. Biasanya orang yang sedang menghadapi masalah tidak bisa berfikir panjang dan tidak mempunyai pendapat serta emosinya tidak stabil maka mereka sangat membutuhkan orang yang bisa membantu mereka, Alloh azza wa jalla berfirman:

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Alloh memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An Nisa’ 35).

Dengan konsultasi kepada orang shalih dan pakar ahli maka orang tua yang sedang panik akan mendapatkan jawaban tuntas atau langkah-langkah awal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi kenakalan anak sehingga bisa membuatnya tenang sejenak . Tetapi perlu dicatat sehebat apapun orang yang memberi solusi namun pada akhirnya masalah tidak akan bisa selesai kalau yang bersangkutan tidak mau menerapkan solusi yang telah diberikan.
Keenam: Rela Menerima Putusan Takdir

Beriman kepada takdir secara benar sangat membantu menenangkan pikiran dan meredam gejolak hati yang sedang galau menghadapi musibah dan kemelut hidup, karena sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia pasti dibatasi oleh ketetapan takdir Alloh, dan segala sesuatu yang dikehendaki Alloh pasti terjadi tidak ada satu makhlukpun yang mampu menghalangi dan mengelak darinya. Maka rela menerima putusan takdir, membuat hati tenang, pikiran tentram dan menghadapi masalah hidup dengan penuh keteguhan dan keberanian, sehingga cobaan hidup yang sangat beragam seperti tidak mempunyai anak, anak sedang sakit, anak nakal, konflik rumah tangga, perselingkuhan, suami atau istri malas beribadah, atau ingin menyekolahkan anak tidak mempunyai biaya dan yang lain sebagainya mampu tertanggulangi dan semuanya tetap bisa dihadapi dengan penuh kesabaran. Maka orang seperti ini akan mendapatkan ketentraman hidup di dunia dan kebahagiaan diakherat dengan mendapatkan karunia surga dan keridhaannya.

Sumber : Buku “Untuk Anak Sholih”, buah karya Ust. Zaenal Abidin, Lc -hafidzahullohu ta’ala-