5/5/12

Adab Memberikan Hadiah

ADAB MEMBERIKAN HADIAH تأليف: ماجد بن سعود آل عوشن ترجمة: مظفر شهيد محصون • Hadiah, Pemberian, Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa ganti. • Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam bersabda: أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ “Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan pula memukul orang Islam” (Shahihul Adab: 117) .. Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam bersabds مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبَلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ إِلَيْهِ “Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”. (HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187) Dan di antara kemuliaan akhlaq Nabi Muahmmad Sallallahu ’alaihi wassalam bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi maka beliau mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi diberikan semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka menikmati hadiah tersebut bersama beliau. ( Shahihut Targib no: 3303.) • Apabila dihadiahkan kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi buah panenan pertama (untuk awal musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a: • اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مَدِيْنَتِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ "Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan bersama keberkahan.”, Kemudian beliau memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.( HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315). • Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam menjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam atau umatnya, maka Nabi tetap memberikannya sampai orang tersebut rela. • Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”.( Shahihul Jami’ no: 3331) • Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam selalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya”. (Shahihul Jami’ no: 4999). • Memberikan hadiah kepada orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.( Al-Silsilatus Shahihah no:416). • Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam: مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ “Barangsiapa yang berbuat kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرً (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah cukup memadai dalam memuji”. (Shahihul Jami’ no: 6368 ) • Memberikan hadiah kepada tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits ’Aisyah radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya paling dekat denganmu”. Jawab beliau.( Shahihul Adab: 79.) • Memberikan hadiah menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa khandak. • Di antara hadiah yang mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula membebankan, sebab Nabi tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda: مَـنْ عَـرَضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ “Barangsiapa yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum baunya”.( Shahihul Jami’ no:2392). • Apabila hadiah tersebut berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya. • Apabila hadiah tersebut berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada padamu maka janganlah kau menerimanya. • Seseorang dianjurkan untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan hadiah kepada Nabi muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam berupa keju, samin dan daging biawak, maka Nabi memakan samin dan keju serta meninggalkan daging biawak.( Shahihun Nasa’I no: 4029). • Apabila seseorang ingin memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik, bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka menunggu hari giliran setelah Aisyah. • Jika seseorang menolak suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut. • Apabila orang yang akan diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya. • Memberikan hadiah kepada kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya. • Orang tua boleh memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang diwajibkan. • Di antara hadiah yang terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam?. Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab: Bacalah: اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ ...حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ “Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan Yang Maha Terpuji dan Mulia”. • Hadiah seorang peminang dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar. • Tidak memberikan hadiah dengan tujuan mendapat balasan. • Adapun hadiah untuk memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan makruh dilakukan, seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika orang tersebut memberikan balasan yang setimpal. • Hadiah karena telah memberikan syafa’at (pertolongan dan bantuan Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah instansi atau lembaga. Pen.) tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam: مَنْ شَفَّعَ ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا “Barangsiapa yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka satu pintu dari pintu-pintu riba”.( Al-Silasilatus Shahihah: 3465). Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu. • Seorang hakim tidak diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam hadiah adalah hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan. • Bagi pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan. • Hadiah dari orang-orang musyrik, imam Bukhari rahimahullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits yang membolehkannya. Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah dalam syarahnya mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahsan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku telah memberikan bagi Nabi seekor onta, maka beliau bertanya: Apakah engkau telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan: Aku dilarang menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,( Shahih Abu Dawud no: 2630) …kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip perkataan sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berlaku bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan bisa dijinakkan hatinya untuk Islam. sumber : www.islamhouse.com