5/5/12

Adab Memberikan Hadiah

ADAB MEMBERIKAN HADIAH تأليف: ماجد بن سعود آل عوشن ترجمة: مظفر شهيد محصون • Hadiah, Pemberian, Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa ganti. • Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam bersabda: أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ “Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan pula memukul orang Islam” (Shahihul Adab: 117) .. Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam bersabds مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبَلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ إِلَيْهِ “Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”. (HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187) Dan di antara kemuliaan akhlaq Nabi Muahmmad Sallallahu ’alaihi wassalam bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi maka beliau mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi diberikan semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka menikmati hadiah tersebut bersama beliau. ( Shahihut Targib no: 3303.) • Apabila dihadiahkan kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi buah panenan pertama (untuk awal musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a: • اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مَدِيْنَتِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ "Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan bersama keberkahan.”, Kemudian beliau memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.( HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315). • Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam menjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam atau umatnya, maka Nabi tetap memberikannya sampai orang tersebut rela. • Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”.( Shahihul Jami’ no: 3331) • Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam selalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya”. (Shahihul Jami’ no: 4999). • Memberikan hadiah kepada orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.( Al-Silsilatus Shahihah no:416). • Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam: مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ “Barangsiapa yang berbuat kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرً (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah cukup memadai dalam memuji”. (Shahihul Jami’ no: 6368 ) • Memberikan hadiah kepada tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits ’Aisyah radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya paling dekat denganmu”. Jawab beliau.( Shahihul Adab: 79.) • Memberikan hadiah menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa khandak. • Di antara hadiah yang mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula membebankan, sebab Nabi tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda: مَـنْ عَـرَضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ “Barangsiapa yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum baunya”.( Shahihul Jami’ no:2392). • Apabila hadiah tersebut berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya. • Apabila hadiah tersebut berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada padamu maka janganlah kau menerimanya. • Seseorang dianjurkan untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan hadiah kepada Nabi muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam berupa keju, samin dan daging biawak, maka Nabi memakan samin dan keju serta meninggalkan daging biawak.( Shahihun Nasa’I no: 4029). • Apabila seseorang ingin memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik, bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka menunggu hari giliran setelah Aisyah. • Jika seseorang menolak suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut. • Apabila orang yang akan diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya. • Memberikan hadiah kepada kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya. • Orang tua boleh memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang diwajibkan. • Di antara hadiah yang terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam?. Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab: Bacalah: اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ ...حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ “Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan Yang Maha Terpuji dan Mulia”. • Hadiah seorang peminang dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar. • Tidak memberikan hadiah dengan tujuan mendapat balasan. • Adapun hadiah untuk memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan makruh dilakukan, seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika orang tersebut memberikan balasan yang setimpal. • Hadiah karena telah memberikan syafa’at (pertolongan dan bantuan Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah instansi atau lembaga. Pen.) tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam: مَنْ شَفَّعَ ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا “Barangsiapa yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka satu pintu dari pintu-pintu riba”.( Al-Silasilatus Shahihah: 3465). Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu. • Seorang hakim tidak diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wassalam hadiah adalah hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan. • Bagi pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan. • Hadiah dari orang-orang musyrik, imam Bukhari rahimahullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits yang membolehkannya. Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah dalam syarahnya mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahsan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku telah memberikan bagi Nabi seekor onta, maka beliau bertanya: Apakah engkau telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan: Aku dilarang menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,( Shahih Abu Dawud no: 2630) …kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip perkataan sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berlaku bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan bisa dijinakkan hatinya untuk Islam. sumber : www.islamhouse.com

3/14/12

USUL BID'AH BAB 6 ( DALIL-DALIL BID'AH ADALAH SESAT )


BAB KE ENAM
DALIL-DALIL AL QUR'AN & HADIST SERTA ATSYAR YANG MENJELASKAN BETAPA SESAT & TERCELANYA BID'AH DALAM AGAMA.
Larangan dari melakukan bid'ah adalah larangan dari pembuat syari'at karana larangan tersebut disertai dengan berbagai-bagai ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya. Diantara yang paling tegas ialah larangan akan berlaku kesesatan dan pelanggaran batas hukum (hudud) yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam syari'at yang akhirnya membawa kepada kefasikan dan mengkufuri agama serta ayat-ayat Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh allah & RasulNya sallallahu 'alaihi wa sallam diantaranya
A. DALIL DARI AL QUR'AN:
Dalil dari al qur'an:
{ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ }
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ( QS Al-Imran : 31) dalam ayat ini di perintahkan bagi kita untuk mengikuti ( itiba') Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.
وقوله -جل وعلا-: { وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ }
“Dan ikutilah Dia ( muhammad ) supaya kamu mendapat petunjuk".( QS Al-A'raf : 158 )
وقوله سبحانه: { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” ( QS al ahzab:21 )
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ }
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. QS Al-An'am (6) : 153
Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky(1), menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
B. DALIL DARI AS SUNNAH
اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا ، فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِى تَمَسَّكُوابِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup (selepas ini) di antara kamu sekalian selepasku akan melihat perselisihan yang banyak, maka kembalilah (berpeganglah) kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin selepas peninggalanku, berpegang teguhlah dengannya, maka gigitlah dengan gigi geraham, kemudian berhati-hatilah dengan hal yang baru (dicipta dalam agama) sesungguhnya setiap ciptaan yang baru itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat". (Hadis Riwayat Ahmad (1653). At-Tirmizi (2600). Musnad Abu Daud (3991). As-Sunnan Ibn Majah (42))
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap yang diada-adakan itu bid'ah, setiap yang bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu adalah ke dalam neraka". (Hadis Riwayat Muslim)
فِى خُطْبَةِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَمَّا بَـعْدُ: فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْـثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدَْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ ، وَشَرَّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Dalam khutbah Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baginda bersabda: Kemudian dari itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan sekeji-keji perkara (perbuatan) ialah mengada-adakan yang baru dan setiap bid'ah (yang baru itu) adalah sesat dan setiap yang sesat ke neraka". (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah)

__________________________________________
(1) Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya


Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat). Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya استثناءistitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.
عَنْ حُذَيْـفَةَ قَالَ: لاَيـقْـبَـلُ اللهُ لِصَاحِبِ الْبِدْعَةِ صَلاَةً وَلاَصَوْمًا وَلاَ صَدَقَـةً وَلاَ حَاجًا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَصَـرَفًا وَلاَعَدْلاً ، يَخْـرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَا يَخْرُجُ الشَّـعْرَةَ مِنَ الْعَجِيْنِ. رواه ابن ماجه
"Dari Huzaifah radhiallahu 'anhu baginda berkata: Allah tidak akan menerima dari pembuat bid'ah puasa, sembahyang, haji, umrah, jihad, kebaikan dan keadilan (yang dikerjakannya). Dia akan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya rambut dari tepung". (Hadis Riwayat Ibn Majah. Lihat: فتح البارى jld. 17. hlm. 10. Hadis ini lemah dan sebahagian ulama hadis mendapati hadis ini adalah hadis mungkar)
اَبَى اللهُ اَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِب بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah hingga ditinggalkan bid'ah tersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah (49) Muqaddimah)
مَا اَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً اِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ فَتَمَسَّكُ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu-satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah) satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik dari melakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad (16356))
مَنْ اَحْدَثَ فِىاَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mencipta (mengada-adakan) yang baru dalam urusan (agama) Kami ini, maka itu tertolak". (Hadis Riwayat Ahmad (24840). Bukhari (2499) as-Soleh. Muslim (3242) al-Aqdhiah. Abu Daud (3990) as-Sunnan. Ibn Majah (14) Muqaddimah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi: "Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul Bari)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : "Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melakukan (mengerjakan) satu amal yang bukan dari perintah Kami, maka (amalan itu) tertolak". (Maksud tertolak ialah bermakna “bid'ah” بالبدعة المسمى هو "Ia dinamakan bid'ah". Lihat: علم اصول البدع hlm. 29. Ali Hasan)
Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama". (Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak". Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَىْ غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan yang bukan dari perintah kami, maka ia tertolak". (Hadis Riwayat Ibn Majah)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ متفق عليه
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Maka barangsiapa yang menyimpang dari Sunnahku, maka bukanlah dia dari golonganku". Muttafaq 'Alaih.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَّرَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فَقَدْ اَعَانَ عَلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ. حديث مرفوع
"Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: siapa yang memuliakan aktivis/pelaku bid'ah, maka dia telah menolong untuk menghancurkan Islam" (Hadis Riwayat Ahmad. Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 14. Menurut Syeikh Ali Hasan: Hadis ini adalah hadist hasan isnadnya. Lihat: المنتقى النفس hlm. 37. Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اهل السنة (1/139)) Hadis Marfu'. (Ibn Asakir dalam تاريخ دمشق: ترجمة "العباس بن يوسف الشكلى. Hlm. 286)
اِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَثَمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى
"Sesungguhnya pada setiap amal terdapat kegiatan, dan pada amal ada fitrahnya. Barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan bid'ah maka dia telah sesat dan barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan sunnah maka dia telah mendapat petunjuk". (Hadis Riwayat Ahmad (22376), Musnad. Hadis sahih. Lihat: الاتمام (23521). Lihat: اتباع السنن (8))
Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.

C. DARI ATSAR PARA SALAFUS SHALEH
Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara berjama'ah yang muncul pada zamannya:
عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Dari ‘Amr bin Salamah(1) katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum sholat subuh. Apabila dia keluar, kami berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman (2) telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak setuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan hal itu baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu kaum, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu sholat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu (kerikil ). Apabila lelaki itu berkata :
_______________________________
(1)Beliau adalah seorang tabi`in, anak murid ‘Abd Allah bin Masud. Meninggal dunia pada 85H.
(2)Gelar untuk `Abd Allah bin Mas`ud.


Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kamu katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak berkata apa-apa kepada mereka karana menanti pendapatdan perintahmu”.
Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka menghitung dosa mereka dan engkau jaminkan bahwa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. hingga dia tiba kepada salah satu dari kaum tersebut. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang sedang kamu lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih banyak (hidup) , baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.(1) Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya(2) , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa banyak orang yang bertujuan baik, tetapi tidak mendapatkannya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka(3) Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”(4)
Lihatlah bagaimana ‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh membantah perbuatan ibadah kumpulan ini walaupun mereka pada asalnya memiliki niat dan pandangan yang baik. Pada dzahirnya tiada yang buruk pada perbuatan mereka. Namun oleh kerana ia merupakan ibadah yang tidak ada contoh daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka ia ditolak. Bahkan ‘Abd Allah bin Mas‘ud memberi amaran betapa perbuatan bid‘ah yang kecil akan mengheret seseorang kepada bid‘ah yang lebih besar. ‘Abd Allah bin Mas‘ud menggambarkan mereka akan menyertai Khawarij yang sesat.
___________________________________________________________
(1)Maksudnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam baru sahaja wafat, tetapi mereka telah melakukan bid`ah.
(2) Maksudnya Allah.
(3)Ini salah satu sifat Khawarij yang disebut dalam hadith-hadith.
(4) Riwayat al-Darimi di dalam Musnadnya dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.

Justeru itu ‘Abd Allah bin Mas‘ud juga pernah menyebutkan:(1)
اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة.
Sederhana dalam sesuatu sunnah lebih baik daripada bersungguh sungguh dalam sesuatu bid‘ah .
إن البدعة الصغيرة بريد إلى البدعة الكبيرة.
Sesungguhnya bid‘ah yang kecil adalah pembawa kepada bid‘ah yang besar.
Seorang lelaki telah datang kepada al-Imam Malik rahimahullah (179H)(2) dan berkata:(3)
“Wahai Abu ‘Abd Allah (gelar al-Imam Malik) dari mana aku patut berihram?” Jawab al-Imam Malik: “Dari Zu Hulaifah (ذو حليفة) di mana tempat yang Rasulullah berihram.” Kata lelaki itu: “Aku ingin berihram dari Masjid Nabi (medinah).” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu.” Kata lelaki itu lagi: “Aku ingin berihram dari kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu, aku takut fitnah akanmenimpa dirimu.” Tanya lelaki itu: “Apa fitnahnya? Ia hanya jarak yang aku tambah.” Jawab al-Imam Malik:
وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصّر عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإني سمعت الله يقول: فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Apakah lagi fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahwa engkau telah mendahului satu kelebihan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menguranginya. Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman: (maksudnya) “Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]
Perhatikan bahwa sekalipun lelaki tersebut ingin berihram dari tempat yang begitu baik yaitu Masjid Nabi atau kubur baginda shallallahu 'alaihi wasallam, al-Imam Malik rahimahullah membantahnya disebabkan ia adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau menyatakan ini adalah fitnah karena seakan-akan lelaki itu menganggap dia dapat melakukan ibadah yang lebih baik daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
_________________________________________
(1)Lihat: Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, jld. 5, m.s. 11.
(2) Beliau ialah imam Mazhab Maliki, pembesar Atba’ al-Tabi‘in. Guru al-Imam al-Syafi'i. Tokoh fekah dan hadith yang tiada bandingnya. Karya beliau yang agung ialah kitab al-Muwattha’. Berkata al-Imam al-Sayuti: “Beliau guru para imam, Imam Dar al-Hijrah (Madinah), mengambil hadith darinya al-Syafi‘i dan banyak lagi. Berkata al-Syafi’i: ‘Apabila datangnya athar, maka Malik adalah bintang’.” (al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 96)
(3) al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 102
Imam Abu Syamah al-Muqaddisi berkata:
وَقَدْ حَذَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَصْحَابهُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ اَهْلَ زَمَانِهِمْ الْبِدَعِ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُوْرِ ، وَاَمَرُوْهُمْ بِالاتِّبَاعِ الَّذِيْ فِيْهِ النَّجَاةُ مِنْ كُلِّ مَحْذُوْرٍ
"Nabi Sallallahu 'alaihi wa-sallam telah memberi peringatan kepada sekalian para sahabatnya, dan orang-orang selepas zaman mereka dari melakukan bid'ah dan ciptaan-ciptaan yang baru (dalam agama). Mereka sekalian diperintahkan agar ittiba' karena dengannya akan mendapat kejayaan (dan terselamat) dari setiap yang telah diperingatkan (oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam)". (Lihat: الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 11)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلاِسْتَقَامَةِ اِتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ
"Dari Ibn Abbas beliau berkata: Hendaklah kamu takut (takwa) kepada Allah dan sentiasa istiqamah (sentiasa dalam ketaatan), hendaklah kamu mengikut (al-Quran dan as Sunnah) dan janganlah berbuat bid'ah".
قَالَ عُمَربْن الْخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَاِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةٌ
"Setiap bid'ah itu sesat, walaupun (semua) manusia telah berpendapat & melihat bid'ah (yang mereka lakukan itu) hasanah (baik)". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (162). Ibn Battah (205). Baihaqi dalam المدخل الى السنن (191) dan Ibn Nasr dalam السنة (70) sanadnya sahih)
قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلاِقْتِصَادُ فِى السُّنَّةِ اَحْسَنُ مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فِى الْبِدْعَةِ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam mengerjakan bid'ah". (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة (114-115). As-Sunnah, hlm. 27-28 Ibn Nasr. Al-Ibanah (1/230) Ibn Battah)
Di riwayat yang lain pula:
وَاِنَّ اِقْتِصَادًا فِى سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِجْتِهَادٍ فِى خِلاَفِ سَبِيْلِ سُنَّةٍ فَانْظُرُوْا اَنْ يَكُوْنَ عَمَلُكُمْ اِنْ كَانَ اِجْتِهَادًا اَوْ اِقْتِصَادًا اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ عَلَى مِنْهَاجِ اْلاَنْبِيَاءِ وَسُـنَّتِهِمْ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengikuti jalan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam melakukan perkara yang bertentangan dengan jalan sunnah. Lihatlah apa yang akan kamu lakukan, jika ia termasuk yang bersungguh-sungguh atau yang biasa hendaklah mengikut panduan manhaj para nabi dan sunnah mereka sallallahu 'alaihi wa sallam". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (11). Ibn Mubarak dalam Az-Zuhud. Jld. 2. hlm. 12. dan Abu Na'im dalam Al-Hilyah. Jld. 1. Hlm. 252)
Al-Hafiz Fudhail bin 'Iyad rahimahullah menyatakan:
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فِى سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فِى بِدْعَةٍ
"Amal yang sedikit (tetapi) dalam perkara sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak (tetapi dalam perkara yang) bid'ah." (Lihat: الابانة عن شريعة الدينية Jld. 1. hlm. 395. (249))
Imam Malik rahimallahu ‘anhu seorang imam Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh amat tegas terhadap bid'ah. Beliau menganggap aktivis bid'ah sebagai orang yang mengkhianati kesempurnaan risalah (al-Quran dan al-Hadist) yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam kepada ummahnya. Beliau pernah mengeluarkan ucapannya yang tegas terhadap pembuat bid'ah:
مَنِ ابْتَدَعَ فِى اْلاِسْلاَمِ بِدْعَةٌ وَيَرَاهَا حَسَنَةٌ فَقَدْ زَعَمَ اَنَّ مُحَمَّدٌ قَدْ خَانَ الرِّسَالَةَِلاَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: "اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَاكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيْنًا" فَمَالَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Siapa yang melakukan bid'ah di dalam Islam kemudian disangkanya baik, maka dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati al-Risalah karena telah jelas Allah berfirman: (Hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu dan Aku cukupkan nikmat kamu dan Aku hanya meridai Islam sebagai agamamu). Apa yang tidak dapat dianggap sebagai agama pada masa itu (masa Nabi), maka pada masa ini ia juga tidak boleh dianggap sebagai agama." (Hadist Riwayat Malik)
قَالَ فَـيْصَلُ بْـنُ عِـيَاضٍ رَحِمَ هُ اللهُ: مَنْ اَحَبَّ صَاحِبَ بِـدْعَةٍ اَحْـبَـطَ اللهُ عَمَلَهُ وَاخْرَجَ نُـوْرَ اْلاِسْلاَمِ مِنْ قَلْبِهِ
"Berkata Faisal bin 'Eyadz: Siapa yang menyukai pembuat bid'ah, Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan akan dicabut cahaya Islam dari hatinya". (Lihat: تلبيس ابليس Ibn Qaiyim, hlm 84. Dan lihat: شرح السنة hlm. 138. Dikeluarkan juga oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول الاعتقاد اهل السنة. Jld. 1. Hlm. 139)
وَقَالَ: مَنْ جَلَسَ اِلَى صَاحِبِ بِدْعَةٍ اَحْبَطَ الله عَمَلَهُ وَاَخْرَجَ نُوْرَ اْلاِيْمَان - اَوْ قَالَ الاِسْلاَمِ - مِنْ قَلْبِهِ
"Beliau juga pernah berkata: siapa yang duduk di majlis orang bid'ah Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan mengeluarkan nur (cahaya) iman - atau ia berkata - keluar nur Islam dari hatinya." (Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اعتقاد اهل السنة (1/132). Dan Ali bin al-J'ad. dalam "Musnad" (1885))
اَنَّ صَاحِبَ الْبِدْعَةِ يَزْدَادُ مِنَ اللهِ بُعْدًا كُلَّمَا بَالَغَ فِى الطَّاعَةِ والْعِبَادَةِ
"Pembuat bid'ah akan bertambah-tambah jauh dari Allah sekalipun bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan kuat ibadahnya". (Lihat: Fathul al-Qadir, jld. 1, hlm. 10)
اِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بَدْعَتَهُ
"Sesungguhnya Allah menghijab (tidak menerima) taubat setiap pembuat bid'ah hingga ia meninggalkan bid'ahnya". (Hadis Riwayat at-Thabrani dengan sanad yang sahih. Dan dihasankan oleh al-Munziri. Lihat: مدارج السالكين (1/84) Ibn Qaiyim)
Imam Ibn Rajab rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh menyebut keburukan ahlul bid'ah (مبتدع) dalam usaha menyadarkan ummah agar menjauhi mereka? Beliau menjawab:
"Adapun Ahli Bid'ah itu sesat begitu juga orang-orang yang beserta dengannya yang seakan-akan ulama. Maka boleh menjelaskan kejahilan, kecacatan atau kejahatan mereka dalam rangka memperingatkan ummah agar tidak mengikuti mereka". (Lihat: شرح السنة , al-Barbahari, hlm. 138. Tahqiq Abu Yasir ar-Rodadi)
Penjelasan Imam Ibn Rejab di atas menunjukkan bahwa menyebut dan membongkar perbuatan bid'ah yang diseru dan dilakukan oleh para penyeru bid'ah tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Malah wajib dijelaskan kepada khalayak umum jika tujuan dan niat seseorang yang bertindak sedemikian demi untuk menjauhkan atau menyelamatkan ummah agar tidak terlibat dan tidak terpengaruh dengan perbuatan dan hasutan ahli bid'ah.
semua nash-nash di atas mengharamkan umat Islam dari melakukan perbuatan bid'ah. Selain amalan yang berbentuk bid'ah itu ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala karena ia menyesatkan, ternyata bid'ah ini juga amat ditakuti oleh orang-orang beriman yang berilmu. Ini disebabkan setiap amalan bid'ah terutama yang melibatkan akidah, pasti akan menyebabkan pembuatnya menjadi sesat dan di akhirat kelak akan menjadi golongan yang merugi karana akan dilemparkan ke neraka. Malah seseorang itu akan dikekalkan di dalam neraka jika semasa hidupnya ia terlibat dalam perbuatan bid'ah di segi akidah yang menyebabkan kesyirikan.
Setiap orang yang beriman sepatutnya memperhatikan dengan akal jernih terhadap ancaman dari hadist-hadist di atas sehingga dapat memberi kesan menakutkan yang mendalam di hati sanubari atau perasaan mereka.
Para sahabat dan jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as Soleh terlalu berjaga-jaga dari terlibat dengan segala perbuatan yang berbentuk atau berunsur bid'ah. Ketegasan mereka dalam perkara ini telah diuraikan melalui kata-kata mereka tersebut.
Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah
192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al Asy’ari.” Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini. Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya siapa laki-laki tadi?”Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu) Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)
Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.
Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi.

USUL BID'AH BAB 5 ( IBADAH ADALAH TAUQIFIYYAH)


BAB KELIMA
IBADAH ADALAH TAUQIFIYYAH
A. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.
Tauqifiyyah maksudnya adalah
لا يثبت و لا يعمل إلا بدليل من القرآن و السنة
(Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) (Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334 berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, mengatakan : “Bahwa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran). “(Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258)
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
الأصل في العبادة الممنع والمحرم أم الأصل في العبادة الإتباع
yang artinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah yang memalingkannya. Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan terjaga dari kontaminan-kontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan. Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi(1)
B. Pembagian Amalan & contoh diantara bid'ah :
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .

• Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah sebagimana disebutkan diatas yang ada dalam pelaksanaannya :
"الاصل في العبادات الحظرالا بنص
Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin
(hukum asal dalam semua ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهزا وباطنا
artinya : “Suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.
____________________________________
(1) Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73).




Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (QS Al-Mulk (67) : 2 ) Beliau menerangkan bahwa أَحْسَنُ عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah أخلصه وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)(1)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ubudiyah hal. 127 menjelaskan tentang dua pondasi dasar ( syarat mutlaq pent) dalam ibadah, yakni :
1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar(2) maupun syirik akbar(3). pent. )
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah ( dan ini makna Mutaba’ah li Rasulillah pent.)
Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, (dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i pent.) “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
________________________________________________
(1).sebagiaman Berkata Al fudail bin 'iyadh menafsiri ayat ini أَحْسَنُ عَمَلًا maknanya: اخلصه و أصوابه yang paling ikhlash dan yang paling benar kemudian beliau ditanya: apa makna yang paling iklash dan yang paling benar : beliau menjawab :
ان العمل اذا كان خالصا و لم يكن صوابا لم يقبل و اذا كان صوابا و لم يكم خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا صوابا و الخالص ان يكون لله و الصواب ان يكون على السنة
Sesungguhnya suatu amalan jika ikhlas namun tidak benar maka amalan tersebut tidak diterima oleh Allah, begitu juga suatu amalan itu benar namun tidak ikhlash maka juga tidak akan diterima hingga amalan tersebut ikhlash dan benar, sedangkan suatu amalan itu disebut ikhlash jika hanya untuk Allah semata, dan di kategorikan benar jika sesui dengan tuntunan sunnah Rasulullah –salallahu 'alaihi wasalam- . (lihat madarijus salikin مدارج السالكين (2/91-92)
(2).Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain.
(3).Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Berapa ulama membagi ibadah menjadi dua jenis , yakni :
1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci.
Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.
Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, افشوا السلام بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.

Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.bahkan dalam sebuah hadist dikatakan
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - رأى رجلا واقفا في الشمس فسأل عنه فقيل: هذا أبو إسرائيل. نذر أن يقوم في الشمس، ولا يقعد ولا يستظل، وأن يصوم. فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - " مروه أن يقعد ويستظل، وأن يتم صومه " فأمره بالوفاء بنذر العبادة المشروعة، وهو الصوم، ونهاه عن الوفاء بنذر العبادة غير المشروعة، وهي الوقوف وعدم الاستظلال، ولم يأمره بالكفارة.
bahwasanya Rasulullah salallahu 'alaihi wasalm melihat seorang laki-laki berdiam diri dengan berdiri dibawah terik matahari, maka Rasulullah bertanya tentangnya, maka dikatakan kepada belaiu: dia itu adalah Abu Israil, dia bernadhar akan untuk berdiam diri dibawah terik matahari, tidak duduk dan tidak berteduh dan sambil berpuasa, maka Rasulullah berkata: perintahkan kepadanya untuk duduk dan berteduh (membatalkan nadharnya) dan boleh melanjutkan puasanya, dan Rasulullah melarang dari melaksanakan nadhar ibadah yang tidak ada perintah dari syariat, yaitu berdiri dan tidak berteduh, dan rasulullah tidak memrintahkan untuk mengantinya dengan kafarah. (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di kuburan wali atau yang lainnya. & - Pelaksanaan haji di luar bulan haji.
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.
2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
Beribadah di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang, Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar. Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } (الشورى آية : 21)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci .
4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah

• Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
الا صل في المعاملات الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun". Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.
Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (1) menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
______________________________________
(1). Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
إن البدعة أحب إلى ألشيطان من للمعصية
“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”(1). Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتكم
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”(2)



_________________________________________________________________________
(1). Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.
(2). Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20.

USUL BID'AH BAB 4( Latar Belakang Munculnya Bid'ah)


BAB KE EMPAT
LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA BID'AH(1)

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata :
خط رسول الله _ صلى الله عليه و سلم - خطا بيده ثم قال : هذا سبيل الله مستقيما ثم خط خطوطا عن يمينه ذالك الخط و عن شماله ثم قال : و هذه سبل ليس منها سبيل الا و عليه شيطان يدعو اليه ثم قرا : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut" kemudian beliau membaca ayat : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),( HR imam ahmad, nasai , ad dharimi & ibnu abi hatim & hakim belaiu menshahehkannya) .
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir.

_____________________________________________
(1)Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65,

Perinciannya sebagai berikut.

1. Bodoh Terhadap Hukum-hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :
فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].

Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :
عن عروة، ، عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال:سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا، فسئلوا، فأفتوا بغير علم، فضلوا وأضلوا).
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".( HR bukhari bab 34 ,: bagimana di cabutnya ilmu agama)
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
2. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qashshash : 50].

Dan Allah Ta'ala berfirman.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.

3. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta'ala berfirman.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menjawab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170]
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
4. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"الله أكبر إنها السنن، قلتم والذي نفسي بيده كما قالت بنو أسرائيل لموسى اجعل لنا إلها كما لهم ءالهة، قال إنكم قوم تجهلون لتركبن سنن من كان قبلهم" رواه الترمذي وصححه
"Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]Lalu beliau bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".(HR. Turmudzi, dan dinyatakan shoheh olehnya)
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.

USUL BID'AH BAB 3 ( Pembagian Bid'ah )



BAB KE TIGA :
PEMBAGIAN BID'AH


A.Macam-macam Bid'ah
Bid'ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam :
Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
Bid'ah fil ibadah :Bid'ah dalam ibadah seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
A. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
B. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
C. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
D. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.(1).
Pembagian bid'ah dari segi pengambilan dalil ada dua :
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan diatas . Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua(2), yakni :
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi(3), Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan(4), Demonstrasi(5), dan lain-lain.



______________________________________
(1)Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo.
(2)‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148
(3)Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’ baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya.
(4). Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.
(5).Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain sebagainya.


2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i(1), membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at(2), dan lain-lain.
Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya (memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan beberapa kerusakan sebagai berikut:
1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkannya.
4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
_________________________________________
(1). Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam. Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi, memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi.
(2). Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah

2/10/12

KAIDAH MEMAHAMI BID'AH ( 2)


BAB KEDUA
ADAKAH BID'AH HASANAH
Sebagian orang yang mengatakan adanya bid'ah hasanah mereka berdalil dengan ucapaan umar " نعمة بدعة هذة " ini adalah sebaik-baiknya bid'ah " tatkala beliau mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih secara berjama'ah dan sabda rasulullah SAW , tentang sunnah hasanah ( sunnah yang baik ) & sunnah sayi'ah ( sunnah yang buruk ) , untuk memgetahu benar tidaknya pendalilan tersebut mari kita kupas dua hadist tersebut diatas.
Pembahasan ini ana bagi menjadi tiga sub judul : pembahasan pertama : salah faham tentang ucapan umar RA , pembahasan kedua : kenapa pada masa khalifah abu bakar hal itu tidak dilakukan. pembahasan ketiga : salah paham terhadap hadist sunnah hasanah & sunnah sayyi'ah
Pembahasan pertama Salah Faham Terhadap Ucapan ‘Umar bin Khattab
Sebagian orang mencoba berdalil dalam membolehkan bid‘ah dengan menyatakan bahwa Saiyyidina ‘Umar radhiallahu 'anh ikut andil dalam membuat bid‘ah. Mereka berkata, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada Sholat Tarawih berjamaah lalu ‘Umar melakukannya dan menyatakannya sebagai: “Sebaik-baik bid‘ah”
نعمت البدعة هذه
Yang mereka maksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dan al-Imam Malik dalam al-Muwattha’:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ. قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنِ الَّتِي يَقُومُونَ. يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.
Dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, dia berkata: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Di dapati orang ramai sholat terpisah, . Ada yang sholat sendirian, ada pula yang sholat dan sekumpulan (datang) mengikutinya. ‘Umar berkata: “Jika aku kumpulkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dikumpulkanlah mereka dengan (diimami oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai mengerjakan sholat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab). Berkata ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perkara ini, sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam) (lihat Shahih al-Bukhari – hadith no: 2010 (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan) dan al-Muwattha’ (الموطأ) al-Imam Malik – hadith no: 231 (Kitab seruan kepada sholat, Bab apa yang berkenaan solat pada malam Ramadhan)) .
Berdasarkan riwayat di atas, ada yang salah paham dan menganggap ‘Umar bin al-Khattab adalah orang yang pertama memulai dan mengadakan Sholat Tarawih secara berjamaah. Maka sebagian orang tersebut berpendapat bahwa hal itu adalah satu perbuatan bid‘ah yang dianggap baik oleh ‘Umar. & bahkan boleh membuat bid‘ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat yang baik. Sebenarnya pemahaman seperti ini muncul karena kurang membaca hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah dan ini jelas terdapat dalam kitab-kitab hadits, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadist yang dimaksud diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu 'anha:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda sholat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikuti sholat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal itu . Maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi (pada malam kedua). Baginda sholat dan mereka ikut sholat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal tersebut . Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar sholat dan mereka ikut sholat bersama. maka ketika malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahlinya ( makmum ) . (Baginda tidak keluar) hingga waktu sholat subuh tiba . Selesai sholat subuh, beliau menghadap orang banyak ( makmum ) , bersyahadah seraya bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada tadi malam ) tetapi aku takut jika difardukan / diwajibkan (Solat Tarawih) ke pada kalian lalu kalian tidak mampu(1) Hal ini berlaku terus menerus hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat ( lihat : Shahih Muslim – hadits no: 761 (Kitab sholat musafir dan menqasarkannya, Bab anjuran menegakkan sholat pada malam Ramadhan)
Dalam sebagian riwayat al-Bukhari dan Muslim disebut: “…yang demikian berlaku pada bulan Ramadhan.” (وذلك في رمضان) (lihat: Shahih al-Bukhari – hadith no: 2011 (Kitab Sholat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan)
Hadits ini dengan jelas ( sejelas sinar mentari di siang bolong ) menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang pertama memulai dan mengerjakan Sholat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walau beliau tidak melakukannya secara terus menerus , bukan karena perbuatan ini yang salah tetapi karena beliau bimbang & takut kalau hal tersebut menjadi satu ibadah yang diwajibakan ( di anggap wajib ) . maka tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat, kebimbangan ini tidak ada lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan kembali Sholat Tarawih secara berjamaah. dari sini diketahui bahwa sesunguhnya ‘Umar al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulai & mengamalkan sholat terawih secara berjamaah.
al-Imam al-Syatibi rahimahullah menegaskan: Renungkanlah hadits ini. dan hadist ini menunjukkan kedudukan Sholat Tarawih adalah sunnat. Sesungguhnya sholat baginda ( SAW ) pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu disebabkan karena bimbang dan takut nantinya hal itu di wajibkan. dan hal Ini tidak menunjukkan dilarang secara mutlak karena zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (penetapan syari'at ) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajiban jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri' (2) dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka hal itu kembali kepada asalnya. (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147.)



____________________________________
(1) Allah tidak mungkin menfardukan sesuatu yang manusia tidak mampu. Namun maksud Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah baginda bimbang umat Islam akan gagal dan tidak mampu melakukannya lalu mereka berdosa. Dan inilah salah satu bentuk kasih sayangnya Rasululllah kepada umatnya, lalu beliau meningalkannya karean takut hal itu nanti diwajibkan oleh Allah.
(2) ‘Illah al-Tasyri’ (علة التشريع) dimaksud adalah puncak yang menyebabkan diletakkan sesuatu perundangan atau hukum. Dalam hal ini, puncaknya beliau ( SAW ) meningalkan sholat tersebut dengan berjamaah secara terus menerus ialah bimbang dan takut hal itu menjadi suatu kewajiban. Baginda tidak ingin membebankan umat dengan suatu kewajiban baru, ditakutkan jika mereka tidak akan kuat melakukannya dan di tingalkan dan akhirnya berdosa.
Pembahasan Kedua :
Timbul persoalan berikutnya, mengapakah Abu Bakar radhiallahu 'anh tidak mengumpulkan orang banyak untuk melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah? Untuk mengetahui jawabannya, kita merujuk sekali lagi kepada penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:
Adapun (sebab) Abu Bakar tidak mengerjakan hal tersebut adalah kerana salah satu dari beberapa hal berikut, diantaranya :
(pertama) dia berpendapat sholat orang banyak pada akhir (malam) lebih afdal pahalanya dari pada dikumpulkannya mereka dengan satu imam pada awal malam. Ini disebutkan oleh imam al-Turtusyi (الطرطشي)
(kedua) disebabkan singkatnya waktu pemerintahannya(1) untuk melihat perkara-perkara seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtadiin dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147-148 ).
Timbul persoalan kedua, kenapakah ‘Umar al-Khattab radhiallahu 'anh mengungkapkan dengan perkataan " hal tersebut sebagai satu bid‘ah? Sekali lagi, penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah menjadi rujukan:
Dia menamakannya bid‘ah hanya pada dzahirnya saja karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula hal tersebut tidak dikerjakan pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. maka hal ini sebenarnya : bukanlah bid‘ah pada makna (syar'i ). siapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu adanya pembelaaan dalam meletakkan nama. Justru itu tidak boleh baginya berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 148).
Jelaslah ucapan ‘Umar bukanlah merujuk kepada bid‘ah yang dilarang oleh syar'iat tetapi merujuk kepada bid‘ah yang dimaksudkan dari segi bahasa atau keadaan. Ini karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah lalu berhenti disebabkan faktor penghalang yang dinyatakan tadi. Apabila faktor penghalang telah hilang, maka ‘Umar menghidupkannya semula. Justeru itu beliau menamakannya bid‘ah. Perkataan bid‘ah yang digunakan oleh ‘Umar radhiallahu 'anh hanya merujuk pada segi bahasa, tidak pada segi syarak. Dari segi syarak, ia adalah Sunnah karena merupakan sesuatu yang pernah berlaku sebelumnya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.


________________________________________________
(1) Saiyyidina Abu Bakr radhiallahu 'anh hanya sempat memerintah dua tahun tiga bulan. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (البداية والنهاية), jld. 7,
Pembahasan ketiga : Salah Faham Terhadap Hadits Sunnah Hasanah
Terdapat sebuah hadits yang disering disalah fahami oleh orang-orang yang membolehkan amalan bid‘ah. Hadits yang dimaksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
Siapa saja yang mengadakan dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. Siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun (lihat Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab anjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…).
Hadits ini dijadikan dalil bahwa tidak mengapa melakukan bid‘ah asalkan ia baik. Ini adalah dalil yang salah yang dihasil dari pemahaman yang salah pula. pemahaman yang benar dapat diperoleh jika mau merujuk kepada asbab al-Wurud (أسباب الورود) hadits ini. Jika dalam pengajian tafsir ada bab yang dinamakan asbab al-Nuzul, maka dalam hadits ia dinamakan asbab al-Wurud atau asbab Wurud al-Hadith. Saya jelaskan asbab Wurud al-Hadith sebagai:
ما دعا الحديثَ إلى وجوده، أيام صدوره.
Apa yang membawa kepada ( sebab ) keluarnya hadits pada hari ( saat ) munculnya hadist tersebut
Maksudnya, faktor yang menyebabkan sebuah hadits itu terbit ( keluar ) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kata lain, faktor-faktor yang menyebabkan beliau mengucapkan sesuatu ucapan, melakukan sesuatu perbuatan atau mengakui sesuatu tindakan. Memahami sebab-sebab yang menyebabkan keluarnya sebuah hadits adalah sangat penting untuk menjaga kita dari meletakkan ( menjadikan dalil ) sebuah hadits tidak pada tempatnya. Ini karena kadang-kala sebab keluarnya sesuatu hadits sangat mempengaruhi maksud hadits. Kesalahan dalam memahami sebab keluarnya hadits akan membawa kepada kesalahan fahaman terhadap maksud hadits tersebut . sebagai misalnya adalah hadits yang di atas ada Sabab al-Wurudnya dan ini mari kita rujuk kepada hadits itu sendiri dalam bentuknya yang lengkap:
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. عَلَيْهِمُ الصُّوفُ. فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ. قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ. فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ رَجُلاً مِنَ لأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

Dari Jarir bin ‘Abd Allah katanya: Datang sekumpulan Arab Baduwi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka memakai pakaian bulu. Baginda melihat buruknya keadaan mereka. Mereka ditimpa kesusahan. Baginda menganjurkan orang orang untuk bersedekah. Namun mereka lambat melakukannya sehingga kelihatan kemarahan pada wajah baginda. (Kata Jarir) Kemudian seorang lelaki dari golongan Ansar datang dengan sebuah perak (dan mensedekahkannya). Kemudian datang seorang yang lain pula, kemudian orang ramai datang (bersedekah) berturut-turut. Sehingga terlihat kegembiraan pada wajah baginda.(Melihat yang sedemikian) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: siapa yang mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. dan siapa yang mengadakan ( memulaikan ) dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun ( Rujukan yang sama sebelumnya, Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab sanjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…)..
Dengan merujuk asbab al-Wurud dalam hadist di atas, kita dapat mengetahui bahwa “Sunnah Hasanah” yang dimaksudkan merujuk kepada sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bukannya satu perbuatan yang tidak memiliki asal usul di dalam syariat. Memulia ( mengadakannya ) untuk bersedekah tidaklah termasuk mengadakan amalan baru, bahkan sebaliknya bermaksud untuk memulai langkah atau tindakan bagi perkara yang sudah ada asal usulnya.
Al-Syeikh ‘Ali Mahfuz (1) telah menjelaskan tantang hadist diatas dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’ ' ' الإبداع في مضارّ الابتداعketika menjawab kekeliruan orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai hujah bagi membolehkan bid‘ah: Jawaban terhadap kekeliruan ini ialah, bukanlah maksud mengadakan sunnah itu membuat rekaan (baru). Namun maksudnya (ialah mengadakan ) amalan yang thabit (pasti) dari sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam … Sesungguhnya sebab yang karenanya muncul hadits ini ialah sedekah yang disyariatkan … (lalu disebut hadits di atas secara lengkap) … hadits ini menunjukkan bahwa yang dikatakan sunnah di sini seperti apa yang dilakukan sahabat tersebut yang membawa sebuah perak. Dengan sebab dan karenanya terbukalah pintu sedekah dengan cara yang lebih nyata sedangkan sedekah memang disyariatkan dengan kesepakatan ulama’. Maka jelas maksudnya (“siapa yang mengadakan Sunnah Hasanah…”) di sini ialah siapa yang
__________________________________
(1) al-Syeikh ‘Ali Mahfuz semasa hidupnya adalah anggota Pembesar ‘Ulama Universitas al-Azhar. Buku tulisan beliau ini bertujuan memerangi bid‘ah yang banyak berlaku dalam masyarakat. Buku ini mendapat pengakuan dari para ulama al-Azhar dan dijadikan rujukan dalam kurikulum pelajaran. Beliau meninggal dunia pada tahun 1942. Silahkan lihat pujian dan pengakuan para ulama untuk buku ini dalam edisi cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.


beramal. Ini kembali kepada hadits(1) : Siapa selepasku yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku yang telah mati, maka baginya pahala………………Seakan-akan sunnah itu sedang tidur maka sahabat radhiallahu 'anh berkenaan menggerakkannya dengan perbuatannya. Bukan maksudnya mengadakan sunnah yang (sebelumnya) tidak pernah ada. ( ‘Ali Mahfuz, al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’, m.s. 128-129. (nukilan berpisah)
Dalam Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin (نزهة المتقين شرح رياض الصالحين) karya Dr. Mustafa al-Bugha(2) . dan rakan-rakannya, dijelaskan: Hadits ini dianggap sebagai asal dalam menentukan bid'ah Hasanah dan Saiyyiah. Bersegeranya sahabat, berlomba-lomba dalam bersedekah adalah sunnah Hasanah –seperti yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dari sini difahami bahwa apa yang dikatakan sunnah Hasanah itu adalah sesuatu yang pada asalnya disyarakkan seperti sedekah. (Dr. Mustafa al-Bugha, Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin , jld. 1, m.s. 160)
Berkata al-Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (1421H) : Jika kita mengetahui sebab (keluarnya) hadits ini dan meletakkan maknanya dengan betul, maka jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “mengadakan sunnah” di sini ialah melakukan ( memulaikan) amal. Bukan melakukan (memulaikan) tasyri’ (syariat baru). Ini karena tasyri’ hanya boleh dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadits “siapa yang mengadakan (memulaikan)” ialah melakukan (memulaikan) amal dengannya dan orang ramai mencontohnya… atau boleh dimaksudkan juga siapa yang melakukan (memulaikan) jalan yang baik yang menyampaikan kepada ibadah lalu orang ramai mencontohinya. Ini seperti menulis buku, meletakkan bab-bab ilmu, membina sekolah dan sebagainya dimana ia adalah jalan kepada perkara yang dituntut syari'at . Apabila seorang insan mengadakan (memulaikan) jalan yang membawa kepada perkara yang dituntut oleh syari'at dan jalan itu pula tidak terdiri dari apa-apa yang dilarang, maka dia termasuk dalam hadits ini. Jika makna hadits adalah seperti yang disalah fahami, yaitu seorang insan boleh membuat apa saja syariat yang dia mau, berarti agama Islam belum sempurna pada (akhir) hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Muhammad bin Salih al-‘Utsaimin, Alfaz wa Mafahim (ألفاظ ومفاهيم), m.s. 53.)

_________________________________
(1) Hadits yang dimaksudkan ialah:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ.
Siapa selepasku yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku yang telah mati, maka baginya pahala seperti orang yang beramal dengannya dengan tidak dikurangkan pahala mereka sedikitpun. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan Ibn Majah. al-Tirmizi menghasankannya. Akan tetapi yang benar hadist ini tertolak karana kedua-duanya meriwayatkannya dari jalan Katsir bin ‘Abd Allah, beliau matruk yaitu dianggap pendusta atau pereka hadits. Justru itu penilaian yang dibuat oleh al-Imam al-Tirmizi dipertikaikan. Berkata al-Munziri rahimahullah (656H): “Bagi hadits ini ada syawahid (lafaz-lafaz hadith lain yang menyokongnya).” (al-Munziri, al-Tarhib wa al-Targhib, jld. 1, m.s. 47).
(2)Beliau ialah seorang tokoh yang masyhur, bermazhab al-Syafi’i)

Kesimpulan Pembahasan:
Sebagai kesimpulan pembahasan masalah ini , sekali lagi ditegaskan bahwa maksud hadits “…mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik (Sunnah Hasanah)…” ialah mengadakan perkara yang sudah ada asal usul di dalam syari'at seperti sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka dari pembahasan dua hadist di atas kit aketahui bahwasanya tidka ada bid'ah hasanah dalam agam islam .

KAIDAH MEMAHAMI BID'AH ( 1)




BAB PERTAMA
MEMAHAMI PENGERTIAN BID’AH

A. PENGERTIAN BID'AH MENURUT BAHASA
Definisi bid'ah menurut takrif etimologi diambil dari asal perkataan al-bida' (اَلْبِدَع) yang bermakna / artinya : "Mencipta (atau mengada-adakan sesuatu pekerjaan, amalan, benda atau perkara) yang sama sekali tiada contoh atau misal sebelumnya". (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 36)
Asal Kalimat/Perkataan:
(بَدَعَ - يَبْدَعُ - بِدْعًا)
Atau
(بَدَعَ - بِدَاعَةً - بَدُوْعًا)
Atau
(اَبْدَعَ - اِبْتَدَعَ - تَبَدَّعَ)
Kalimat atau perkataan di atas arti / maknanya: "Mencipta, mereka-reka, mengada-adakan, memulaikan atau sesuatu yang baru (pertama-tama diadakan)".
Berkata Ibn Manzur (ابن منظور) rahimahullah:
بدع الشيءَ يَبدَعُه بَدعا، وابتدعهُ: أنشأه وبدأه.
Telah membuat sesuatu bid‘ah (past tense), sedang membuatnya (present tense) dan bad‘an (masdar/ kata terbitan) berarti mengadakan dan memulaikan ( lihat Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jld. 8, m.s. 6.).
Al-bid'ah (البدعة) juga nama yang diberikan ke atas perbuatan yang sengaja diada-adakan dan jamaknya bida' (بدع) (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 57) atau apa yang dicipta dalam agama dan selainnya (Lihat: العين Jld. 2. Hlm. 55.) dan siapa yang mengada-adakan sesuatu dia dianggap telah melakukan bid'ah. Dalam "Takrifat" pula ia ditetapkan sebagai setiap amal yang bertentangan dengan sunnah yang berupa sesuatu urusan yang diada-adakan. (Lihat: التعريفات hlm. 43)
Berkata Imam ath-Thurthusi rahimahullah:
اَصْلُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ اْلاِخْتِرَاعِ ، وَهُوَ الشَّيْءُ يُحْدَثُ مِنْ غَيْرِ اَصْلٍ سَبَقَ ، وَلاَ مِثَالٍ احْتُذِيَ وَلاَ اُلِفَ مِثْلَهُ
"Kata bid'ah berasal dari kata al-ikhtira' (اَلاِخْتِرَاع) yaitu sesuatu yang baru dibuat tanpa ada contoh sebelumnya, tiada misal mendahuluinya dan tidak pernah ada contoh semisalnya (sebelumnya)". (Lihat: الحوادث والبدع hlm. 40 ath-Thurthusi (Tahqid oleh Ali Hasan). Diterbitkan oleh Dar Ibn al-Jauzi)
Berkata Muhammad bin Abi Bakr al-Razi rahimahullah:
بدع الشيء: اخترعه لا على مثال.
Membuat bid‘ah sesuatu bermaksud mengadakannya tanpa ada suatu contoh. (al-Razi, Mukhtar al-Sihah, m.s. 38.)
Dalam al-Mu’jam al-Wajiz disebutkan hampir sama seperti di atas yaitu mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.( al-Mu’jam al-Wajiz, m.s. 40.) Demikian kesemua mu’jam bahasa arab menyebut makna yang hampir sama.
Inilah bid‘ah dari segi bahasa yaitu membuat sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya.
Kalimah bid'ah terdapat di dalam al-Quran yang digunakan dengan penggunaan istilahnya yang paling tepat dan seiring mengikuti maksud serta pengertian yang dikehendaki oleh kalimah tersebut. Kenyataan ini dapat difahami melalui tiga potong ayat di bawah ini:
Ayat Pertama :
بَدِيْعُ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضِ
"(Dialah) Pencipta segala langit dan bumi". (al-Baqarah, 2:11)
Penggunaan kalimah bid'ah pada ayat di atas adalah yang paling tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian kalimah bid'ah menurut bahasa karena hakikatnya hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja Pencipta (melakukan bid'ah) hingga terciptanya langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di alam ghaib atau di alam nyata.
Segala ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang ada ini tidak pernah didahului oleh suatu contoh / misal atau pencipta sebelum-Nya, hanya Dialah Pencipta yang mengadakan dan memulai seluruh penciptaan yang terdapat di langit, di bumi, di alam dunia atau di alam akhirat yang sebelumnya tidak ada ('adam) kepada ada (maujud).
Para ahli ilmu yang pakar atau mengetahui kaedah penggunaan tata Bahasa Arab akan lebih mudah memahami maksud dan pengertian bid'ah yang terdapat pada ayat di atas, yang terdapat di dalam hadits-hadits yang begitu banyak jumlahnya dan yang banyak digunakan dalam tata bahasa dan penulisan Bahasa Arab. Penggunaan bid'ah pada ayat di atas amat tepat baik secara bahasa (termasuk gaya bahasa) atau takrif syar'ii. Ia ditafsirkan oleh para ahli ilmu sbb:

أبدعت الشيء لا عن مثال
"Aku telah ciptakan (mengadakan) sesuatu tanpa ada misal (sebelumnya)." (Lihat: جامع البيان عن تأويل آي القرآن Jld. 1 Hlm. 709. Ibn Jarir at-Tabari)
Di ayat yang kedua pula Allah berfirman:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
"Katakanlah (ya Muhammad!): Bukanlah aku seorang Rasul pembawa agama yang baru dari agama yang telah dibawa oleh para Rasul yang lalu". (al-Ahqaf, 46:9)
Menurut Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu : bid'ah yang dimaksudkan pada ayat di atas ialah "Yang Ter-awal / pertama." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180) Ia ditakdirkan juga sebagai ucapan yang bermakna: "Bukanlah aku ini pembuat bid'ah (sahibul bid'ah)." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180)
Yang paling jelas ayat di atas bermaksud dan bertujuan agar Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam memberi tahu kepada umatnya bahwa baginda bukanlah seorang Rasul yang bid'ah (yang baru) di dunia ini. Sudah ada Rasul-Rasul lain mendahului baginda sebelum baginda diutus menjadi Rasul. Inilah pengertian bid'ah sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat (syara’) dan dimaksudkan oleh bahasa yaitu "Bid'ah ialah : sesuatu yang baru yang diada-adakan dan tidak ada contoh atau misal sebelumnya".
Oleh karena baginda bukan merupakan seorang Rasul yang pertama dan baru kepada manusia maka baginda tidak dinamakan Rasul yang bid'ah menurut pengertian istilah bahasa dan syara’ karena sudah ada contoh dan beberapa orang rasul sebagai pendahulu sebelumnya.
Dan di ayat ketiga Allah berfirman:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا
"Dan mereka sengaja mengada-adakan rahbaniyah". (al-Hadid, 57:27)
Menurut penafsiran al-Hafiz Imam as-Syaukani rahimahullah tentang ayat di atas:
وَرَهْبَانِيَّةً مُبْتَدِعَةً مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ
"Kerahiban yang mereka sendiri ciptakan & ada-adakan". (Lihat: فتح القدير. Jld. 5. Hlm. 178)
Maka jika difahami pengertian bid'ah dari ketiga-tiga ayat al-Quran di atas maka dapat dipahami makna atau maksudnya adalah : "Sesuatu yang baru, yang tidak ada misal (contoh) sebelumnya, yang diada-adakan dan yang direka-reka".
Bid'ah menurut bahasa (لُغَةً) juga telah didefinisikan oleh kalangan ulama fiqih yang muktabar:
كُلُّ عَمَلٍ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
"Setiap amalan (perbuatan atau pekerjaan) yang tiada contoh sebelumnya". (Lihat: البدعة تحديدها وموقف الاسلام منها Hlm. 157. 'Izat Ali Atiah)
Bila dikatakan: (اِبْتَدَعَ فُلاَنٌ بِدْعَة) "Telah mencipta si Fulan satu cara/jalan" maknanya: cara/jalan ciptaan si Fulan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
Menurut As Syeikh Ali Hasan bid'ah ialah:
وَهَذَا اْلاِسْمُ (يَعْنِى: اِلْبِدْعَةُ) يَدْخُلُ فِيْمَا تَخْتَرعُهُ الْقُلُوْبُ وَفِيْمَا تَنْطِقُ بِهِ اْلاَلْسِنَةُ وَفِيْمَا تَفْعَلُهُ الْجَوَارِحُ
"Dan yang dapat dikategorikan dalam bid'ah, termasuklah sesuatu yang dilakukan oleh hati, yang diucapkan oleh lisan dan yang dilakukan oleh anggota badan ". (Lihat: علم اصول البدع hlm 23. Ali Hasan. Daar ar-Rayah. Cetakan kedua)
Takrif yang ringkas ini amat jelas, mudah dihayati dan difahami, oleh karena tidak perlu dikupas dengan uraian panjang lebar.
B. PENGERTIAN BID'AH MENURUT ISTILAH SYARI'AT
Kalangan jumhur ulama fiqih (fuqaha) dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah telah memberikan takrif/pengertian bid'ah dengan mengikuti landasan yang sesuai dengan hukum syara’ atau syariyah (شَرْعِيَّةٌ). Antara takrif / makna yang masyhur yang sering digunakan ialah:
اِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ اَصْل فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَىْ لاَدَلِيْلَ مِنَ الشَّرْعِ
"Menciptakan (mengada-adakan atau mereka-reka) sesuatu (amal) yang sama sekali tidak ada contohnya pada zaman Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ada dalilnya dari syara".
كُلُّ مَا عَارَضَ السُّنَّةَ مِنَ الاَقْوَالِ اَوِ الاَفْعَالِ اَوِ الْعَقَائِدِ وَلَوْ كَانَتْ عَنْ اِجْتِهَاد
"(Bid'ah): ialah setiap yang bertentangan dengan sunnah dari jenis perkataan (ucapan) perbuatan (amalan) atau akidah (pegangan/kepercayaan) sekalipun melalui usaha ijtihad." (Lihat: احكام الجنائز وبدعها. Hlm. 306. Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)
فَالبِدْعَةُ اِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَّرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةِ فِى التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ
"Maka bid'ah pada dasarnya ialah ungakapn Suatu jalan dalam agama yang direka & diciptakan yang menyerupai syari'at . dengan tujuan mengamalkannya untuk berlebih-lebihan dalam penyembahan (ibadah) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 27)
اَلْبِدْعَةُ طَرِيْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يَقْصُدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ. اَوْ قَالَ: يَقْصُدُ بِهَا التَّقَرُّب الِى اللهِ وَلَمْ يقمْ عَلىَ صِحَّتِهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ صَحِيْحٌ اَصْلاً اَوْوَصْفًا
"(Maknanya): Bid'ah ialah suatu jalan (ciptaan/rekaan) yang disandarkan oleh pembuatnya kepada agama sehingga menyerupai syariah.yang dikerjakan dengan maksud untuk menjadikannya tata-agama sehingga mencapai jalan (cara) yang menyerupai jalan syariah. Atau sebagaimana yang dikatakan: (Amalan) yang bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ditegakkan kesahihannya melalui dalil syarii yang sahih yang bersumber dari sumber yang sebenar dan tepat." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 37)
Ta’rif (definisi) yang baik bagi perkataan bid‘ah dari segi istilah ialah ta’rif yang dikemukakan oleh al-Imam Abu Ishaq al-Syatibi (الشاطبي) rahimahullah (790H)(1) dalam kitabnya yang masyhur berjudul al-I’tishom (الاعتصام) diatas. Kebanyakan para pengkaji & peneliti setuju dan sepakat bahwa al-Syatibi telah mengemukakan ta’rif jami’ dan mani’ ( جامع ومانع).(2) diantaranya Dr. Ibrahim bin ‘Amir al-Ruhaili dalam tesis Ph.Dnya ketika membandingkan beberapa ta’rif yang dibuat oleh beberapa tokoh diantaranya Ibn Taimiyyah(3) , al-Syatibi, Ibn Rajab dan al-Sayuti rahimahumullah, menyimpulkan bahwa ta’rif al-Syatibi adalah yang terpilih.(4)



_____________________________
(1) Beliau ialah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Gharnati (الغرناطي) Tokoh Andalus yang agung, bermazhab Malik. Seorang muhaddits, faqih (ahli fikah) dan usuli (ahli usul fikah). Mengarang beberapa buah kitab yang agung. Kitab beliau al-Muwafaqat (الموافقات) menjadi rujukan utama dalam ilmu usul al-Fiqh. Bahkan beliau dianggap paling cemerlang dalam mengemukakan pembahasan Maqasid al-Syara’. Demikian juga kitab al-I’tishom ini mendapat pengakuan yang besar dari kalangan para ulama & kaum muslimin.
(2) Sesuatu ta’rif yang baik hendaklah yang jami’ lagi mani’. Jami’ maksudnya ia menghimpunkan unsur-unsur utama dalam ta’rif, sementara mani’ maksudnya ia bisa menghalangi unsur-unsur yang tidak berkaitan masuk ke dalamnya.
(3) Berkata al-Imam al-Sayuti (w 911H): “Ibn Taimiyyah: seorang syaikh, imam, al-`allamah (sangat alim), hafizd (dalam hadits), seorang yang kritis, faqih, mujtahid, seorang penafsir al-Quran yang mahir, Syaikh al-Islam, lambang golongan orang-orang zuhud, sangat sedikit orang yang semisal dengannya di zaman ini, …salah seorang tokoh terbilang …memberi perhatian dalam bidang hadits, memetik dan menapisnya, pakar dalam ilmu rijal (para perawi), `illal hadits (kecacatan tersembunyi hadits) juga fiqh hadits, ilmu-ilmu Islam, ilmu kalam dan lain-lain. Dia termasuk lautan ilmu,termasuk cendikiawan yang terbilang, golongan zuhud dan tokoh-tokoh yang tiada tandingan.”(al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, m.s. 516).
(4) Dr. Ibrahim ‘Amir al-Ruhaili, Mauqif Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah min Ahl al-Ahwa wa al-Bida’, jld. 1, m.s. 90-92.

C. Penjelasan & uraian al-Imam al-Syatibi Terhadap Ta’rif Bid‘ah
al-Imam al-Syatibi rahimahullah setelah memberikan ta’rif ini, tidak membiarkan kita tertanya-tanya maksudnya, sebaliknya beliau sendiri telah menguraikan maksud ta’rif ini. Di sini dinyatakan beberapa point penting uraian al-Imam al-Syatibi:
Pertama:
Dikaitkan jalan (طريقة) dengan agama karena rekaan/ciptaan itu dilakukan dalam agama dan penciptanya/pembuatnya menyandarkan kepada agama. Sekiranya jalan rekaan/ciptaan hanya khusus dalam urusan dunia maka tidak dinamakan bid‘ah ( dalam agama pent.) , seperti membuat barang dan kota ( membangun dsb ), karena jalan rekaan/ciptaan dalam agama terbagi menjadi dua: apa- apa yang ada asalnya dalam syariat dan apa- apa yang tiada asalnya dalam syariat, maka yang dimaksudkan dengan ta’rif ini ialah bahagian rekaan/ciptaan yang tiada contoh terdahulu dari al-Syari’ (Pembuat syariat yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala)
Ini karena ciri khas bid‘ah ialah ia keluar dari apa yang digariskan oleh Allah & Rasul-Nya. Dengan ikatan ini maka terpisahlah (tidak dinamakan bid‘ah) segala yang jelas – sekalipun bagi orang biasa – rekaan/ciptaan yang mempunyai kaitan dengan agama seperti ilmu nahwu, sharaf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din dan segala ilmu yang berkhidmat untuk syariat. Segala ilmu ini sekalipun tiada pada zamannya nabi Muhammad salallahu alaihi waslam , tetapi asas-asasnya ada dalam syari'at. Justeru itu, tidak layak sama sekali dinamakan ilmu nahwu dan selainnya daripada ilmu lisan, ilmu usul atau apa yang menyerupainya yang terdiri daripada ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syariat sebagai bid‘ah. Siapa yang menamakannya bid‘ah, sama saja atas dasar majaz (bahasa kiasan) seperti ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh yang menamakan bid‘ah sholat orang banyak pada malam-malam Ramadhan, atau atas dasar kejahilan dalam membedakan sunnah dan bid‘ah, maka pendapatnya tidak boleh diambil dan dipegang.( lihat al-I’tishom, الاعتصام m.s.27-28).
Kedua:
Maksud (تضاهي الشرعية) ialah menyerupai jalan syari'at dalam agama sedangkan ia bukanlah syari'at pada hakikatnya. Bahkan ia menyelisihi syari'at dari beberapa sudut diantaranya:
Meletakkan batasan-batasan (1) seperti seseorang yang bernazar untuk berpuasa berdiri tanpa duduk, berpanas-panasan tanpa berteduh, membuat keputusan mengasingkan diri untuk beribadah, menghalalkan / mengharamkankan makanan dan pakaian dari jenis tertentu tanpa sebab.(2)
______________________________________
(1) Maksudnya batasan-batasan yang tidak diletakkan oleh syariat.
(2) Ini seperti jamaah tertentu pada zaman kini, dimana di kalangan mereka ada yang menganggap pakaian & baju negeri atau bangsa tertentu seperti kurta India, atau gaya serban guru tarikat mereka sebagai pakaian agama.
Beriltizam dengan cara (kaifiyyat كيفيات ) dan bentuk (haiat هيئات ) tertentu.(1) Ini seperti dzikir dalam bentuk jama'ah dengan satu suara, menjadikan perayaan hari lahir Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maulidan ) dan semisalnya.
Beriltizam dengan ibadah tertentu dalam waktu tertentu sedangkan tidak ada penentuan tersebut dalam syarak. Ini seperti beriltizam puasa pada hari Nisfu Sya’ban dan menegakkan sholat khusus pada malamnya (2). Kemudian bid‘ah-bid‘ah tersebut disamakan dengan perkara-perkara yang disyariatkan. Jika penyamaan itu adalah dengan perkara-perkara yang tidak disyariatkan maka ia bukan bid‘ah. Ia termasuk dalam perbuatan-perbuatan adat kebiasaan. (lihat al-Syatibi, al-I’tishom الاعتصام , m.s. 28).
Ketiga:
Maksud (يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله): “Tujuan mengamalkannya untuk berlebihan dalam mengabdikan diri kepada Allah” ialah menjalankan ibadah. Ini karena Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu. [al-Zariyat 51:56]
Seakan-akan pembuat bid‘ah melihat inilah tujuannya. Dia tidak tahu bahwa apa yang Allah tetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan-Nya sudah memadai & mencukupi.( lihat al-I’tishom,الاعتصام m.s. 29).
Selanjutnya al-Imam al-Syatibi menjelaskan: Telah jelas dengan ikatan ini (yang dijelaskan) bahwa bid‘ah tidak termasuk dalam adat. Apa saja jalan yang direka & di buat-buat di dalam agama yang menyerupai perkara yang disyariatkan tetapi tidak bertujuan beribadah dengannya, maka ia keluar dari nama ini (bid‘ah). (lihat al-I’tishom الاعتصام, m.s. 30).
Kesimpulan Ta’rif al-Imam al-Syatibi
Dari apa yang dijelaskan dan diuraikan oleh al-Imam al-Syatibi rahimahullah, dapat dibuat beberapa kesimpulan:
_____________________________
(1) Maksudnya yang tiada dalil syarak.
(2) terdapat sebuah hadits yang sahih mengenai kelebihan Nisfu Sya’ban, yaitu hadits:
طلع الله إلى خلقه في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن.
Allah melihat kepada hamba-hamba-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hamba-Nya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuhan (orang benci membenci). Hadist ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain. al-Albani mensahihkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 3, m.s. 135. Namun hadits ini tidak mengajarkan kita untuk melakukan apapun amalan pada malam berkenaan seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Justeru para ulama seperti al-Imam al-Syatibi membantahkan amalan-amalan khusus yang dilakukan pada malam tersebut.
Bid‘ah ialah jalan syari'at yang baru yang diada-adakan dan dianggap ibadah dengannya. Adapun membuat perkara baru dalam urusan dunia tidak boleh dinamakan bid‘ah.
Bid‘ah ialah sesuatu yang tidak ada asal dalam syariat. Adapun apa yang ada asalnya dalam syariat tidak dinamakan bid‘ah.
Ahli bid‘ah menganggap jalan, bentuk, cara bid‘ah mereka adalah satu cara ibadah yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah.
Bid‘ah semuanya buruk. Apa yang dinamakan Bid‘ah Hasanah yang membawakan & mencontohkan perkara-perkara duniawi bukanlah bid‘ah pada istilahnya.
Berkata Al-Jauhari rahimahullah:
اَلْبَدِيْعُ وَالْمُبْتَدِعُ اَيْضًا واَلْبِدْعَةٌ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ
"Al-Badi', al-Mubtadi' dan bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah agama disempurnakan (dinyatakan lengkap)". (Lihat: مختار الصحاح ar-Razi / صحاص اللغة Hlm. 44)
Berkata al-Fairus Abadi rahimahullah:
اَلْبِدْعَةُ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ . وَقِيْلَ: مَااسْتُحْدِثَ بَعْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلاَقْوَالِ وَاْلاَفْعَالِ
"Bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah (agama) disempurnakan. Dan disebut bid'ah apa saja yang direka-cipta setelah ( wafatnya) Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baik berbentuk ucapan atau amalan (perbuatan)". (Lihat: بصائر ذوى التمييز Jld. 2. Hlm. 132)
Takrif di atas telah disepakati oleh semua golongan ulama salaf dan khalaf. Ini terbukti dengan keseragaman takrif & penjelasan mereka termasuklah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi'e, Hambali, Hanafi, Maliki, Sufyian as-Thauri dan imam-imam fiqih yang lain. Apa yang dimaksudkan "Mendekatkan diri kepada Allah" sebagaimana yang terdapat dalam ta'rif di atas, tidak termasuk bid'ah yang berbentuk (urusan) keduniaan seperti kereta, pesawat, membukukan al-Quran dan sebagainya. (Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 6 Salim Hilali)
D. KOMPARASI MAKNA BID’AH SECARA LUGHAWI DAN SYAR’I
Ini bisa diketahui dari dua sisi, yaitu :
[1]. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]
[2]. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ‘ditolak dan batil’. (1)

E. PERKATAAN DAN PERBUATAN YANG SEMAKNA DENGAN BID'AH
Perbuatan seseorang Muslim boleh dihukum bid'ah apabila perbuatan atau amalan tersebut telah ditambah-tambahi , tambal sulam atau diubah dari bentuk atau cara asalnya yang telah ditetapkan oleh syara’. Kedudukan sesuatu amal boleh dinilai melalui makna atau maksud dari kalimah-kalimah yang tercatat di bawah ini:
1 - Bid'ah berarti mereka-reka atau sesuatu rekaan yang direka-reka (dicipta) (اِخْتِرَاعٌ) . (Lihat: القاموس المخيط. Hlm. 907. مقاييس اللغة (1/209). لسان العرب.)
2 - Bid'ah juga berarti baru (mendatangkan yang baru atau sesuatu yang diada-adakan) .(اِحْدَاثٌ اَوْ زِيَادَة) (Berdasarkan hadist: كل محدثة بدعة "Setiap yang baru (diada-adakan) itu bid'ah.")
3 - Bid'ah bererti mengubah (mengubah-ubah atau menukar ganti) .(تَبْدِيْلٌ) (Lihat: Surah al-Baqarah 2:59.
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah Allah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.)
4 - Bid'ah berarti menambah yang baru ( menukar-tambah) .(زِيَادَةٌ) (Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa-sallam telah mengharamkan penambahan dalam agama, baginda bersabda:اذا حدثتكم حديثا فلا تزيدُنَّ علي "Jika aku katakan kepada kamu suatu kata-kata maka janganlah sekali-kali kamu menukar-tambah atas kata-kataku")
5 - Bid'ah berarti menyembunyikan atau menghilangkan. .(كِتْمَانٌ)
________________________________________
(17) [Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Pustaka Azzam]

Setiap amal-ibadah yang masih terlibat dengan salah satu dari lima kalimat ( makna) di atas sedangkan tidak ada dalil (hujjah) atau izdin dari syara' (al-Quran, al-Hadist, athar yang shahih dan fatwa dari ulama muktabar pent.) yang mengharuskan dan memerintahkannya maka ibadah tersebut dinamakan ibadah yang bid'ah.
Seharusnya para ulama jaman ini ( khususnya di indonesia ) mencontoh & mensuri tauladani peranan para ulama Salaf as-Sholeh yang telah berusaha dengan segala daya upaya memerangi bid'ah dan semua aktivitasnya & pelakunya supaya tidak terus berkembang biak sebagaimana sekarang yang kita lihat apa yang diamalkan oleh masyarakat . Dalam usaha memberantaras amalan dan aktivitas serta pelaku bid'ah jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berjalan di atas manhaj Salaf as-Soleh telah menerangkan kekejian atau kesesatan bid'ah. Cara mereka menjelaskan pengertian bid'ah senantiasa mengikuti kaidah & istilah syarii. Mereka menegahkan istilah (pengertian) bid'ah dengan penampilan yang amat jelas dan mudah difahami. Walaupun mereka mempunyai gaya susunan bahasa dan ayat yang berlainan tetapi prinsip serta objektifnya adalah sama dan ke arah yang sama.
Al-Hafiz Ibnu Rejab al-Hambali rahimahullah menjelaskan:"Yang dimaksudkan bid'ah ialah setiap perkara yang diada-adakan di dalam agama sedangkan perkara yang diada-adakan itu tidak terdapat sumbernya dari syara’ yang membolehkan seseorang melakukannya. Jika sekiranya terdapat dalilnya (contohnya) dari syara' hal seperti ini bukanlah perbuatan bid'ah walaupun ada yang mengatakan bid'ah karena itu hanyalah bid'ah menurut istilah bahasa saja (yang bukan termasuk dalam istilah syara)". (Lihat: جامع العلوم والحكم ، ابن رجب الحنبلى Hlm. 160. India)
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah: "Bid'ah pada asalnya setiap yang dicipta yang tiada contoh sebelumnya. Menurut syara’ pula setiap yang bertentangan dengan sunnah dan tercela". (Lihat: فتح البارى Jld. 5 Hlm. 105)
Menurut Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah: "Bid'ah menurut bahasa ialah setiap yang dicipta. Di segi syara’ pula ialah: Setiap pembaharuan yang diada-adakan dan bertentangan dengan syara". (Lihat: التبين بشرح الاربعين ، ابن حجر الهيثمى Hlm. 221)
Menurut Azzarkasy rahimahullah: "Bid'ah menurut syara ialah perkara yang diada-adakan yang tercela". (Lihat: الابداع فى مضار الابتداع ، علي محفوظ. Hlm. 22)
Menurut Imam Syafie rahimahullah: "Bid'ah ialah setiap perkara yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Ijma atau Athar. Maka itu semua dinamakan bid'ah yang menyesatkan".
Apabila memahami pengertian bid'ah (بِدْعَةٌ) di segi bahasa dan juga syara melalui semua istilah bid'ah yang telah dikemukakan di atas, tentulah kita akan memahami bahwa bid'ah itu hanyalah merupakan perkara-perkara yang direka dan dicipta serta di buat semata-mata dan tidak ada contohnya dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, para Salaf as-Sholeh atau tidak terdapat dalilnya dari agama Islam (syara).
Oleh karena itu, bid'ah itu wajib ditolak oleh setiap orang yang benar-benar beriman dengan lengkap dan sempurnanya agama Islam di segenap aspeknya yang telah dijelaskan di dalam al-Quran dan al-Hadist.
Setiap mukmin wajib mengimani bahwa agama Islam ini telah sempurna dan lengkap. Tidak ada kekurangannya. Tidak ada cacat celanya. Terpelihara dari pengaruh negatif dan dari segala jenis pencemaran atau kerusakan. Tiada suatu pun tata cara ibadah sama ada yang wajib atau yang sunnah, yang jamaii ( secara berjama'ah) atau fardi yang pernah tertinggal dalam agama Islam yang berpandukan kepada al-Quran dan al-Hadist dan yang berautoritas sepenuhnya membentuk hukum-ahkam pada setiap zaman dan tempat. Ini semua telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Ma’idah, 5:3)
Dalam susunan kata (bahasa) ayat ini telah menggunakan kalimah (اَكْمَلْ) yaitu (اسم تفضيل) yang maknanya: "Cukup/amat sempurna, tiada lagi yang mengatasi kesempurnaannya atau yang telah disempurnakan secukup-cukupnya".
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : "Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam, karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya" (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)
Keshahihan iman seseorang ialah apabila ia mempercayai kesempurnaan firman Allah yang termuat di dalam kitab-Nya yang menjelaskan bahwa agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar telah sempurna (اكمل) sehingga tidak perlu dilakukan apa pun penambahan sama saja apakah di segi huruf, kalimah, ayat, perlaksanaan ibadah atau hukum & ahkamnya.
Seseorang yang beriman wajib membuktikan kepercayaannya dengan berpegang teguh kepada kalimah (سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا) "Kami mendengar dan mentaati" di dalam al-Quran. Jika ini diabaikan berarti dia tidak percaya kepada firman Allah: "Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu."
Malangnya, mengapakah kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala yang khusus ditujukan kepada manusia ini tidak dapat difahami atau diterima oleh sebagian manusia sehingga diperselisihkan dan akhirnya dikufuri? Tentunya perkara itu mustahil berlaku kepada manusia jika mereka menerima amanah yang berupa al-Quran dengan ikhlas dan dengan penuh kesadaran.
Segala perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala amat tepat. Terlalu mustahil Allah menurunkan kitab yang tidak bisa difahami oleh hamba-Nya. Orang yang tidak mau memahami kitab Allah ini hanyalah orang-orang yang fasik terhadap ayat-ayat tersebut. Tanda kefasikan mereka ialah apabila tidak mau menerima ayat-ayat Allah di dalam al-Quran dan al-Hadist untuk diimani tanpa ditakwil atau diperselisihkan/dipertentangkan. Hanya orang-orang fasik atau rusak akidahnya saja yang suka mentakwil al-Quran dan al-Hadist mengikuti rekaan & ciptaan otak dan hawa nafsu masing-masing sehingga menyimpang dari syari'at. Seolah-olah mereka merasakan ada kekurangan atau sesuatu yang terlupakan di dalam al-Quran, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan yang demikian sebagaimana firman-Nya:
مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami lupa (tertinggal) suatu apa pun di dalam al-Kitab (al-Quran)". (al-An’am, 6:38)
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَّ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
"Telah sempurna (lengkap) kalimah Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimah yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimah-kalimah-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-An’am, 6:115)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam wafat setelah baginda selesai menyampaikan dan mengajarkan segala perbuatan (ibadah) dan petunjuk yang telah diamalkan oleh baginda dan para sahabatnya sebagaimana penjelasan yang terkandung di dalam nash-nash dari syara. Semua yang telah disempurnakan oleh syara merupakan contoh kepada umat Islam di segenap perkara sama saja apakah cara untuk melakukan yang baik atau cara untuk meninggalkan yang buruk dan keji supaya umat Islam tidak terjerumus ke dalam perbuatan bid'ah. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu telah menjelaskan tentang kesempurnaan agama ini:
عَلَّمَنَا رَسُـوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ كُلَّ شَـيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَ ةَ
"Kami telah diajar oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam segala perkara hingga persoalan (bagaimana cara) membuang kotoran (kencing atau berak)." (Hadis Riwayat Bukhari)
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا اَمَرَكُمُ الله بِهِ اِلاَّ وَقَدْ اَمَرْتُكُمْ بِهِ ، وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ اِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
"Tidaklah aku tinggalkan sesuatu tentang apa yang telah Allah perintahkan kepada kamu kecuali telah aku perintahkan tentangnya. Tidaklah pula (aku tinggalkan) tentang sesuatu yang dilarang (oleh Allah) kecuali telah aku larang kamu dari (melakukan)nya. (Hadis shahih. Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 7. Salim Hilali)
اِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاء ، لَيْلهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ اِلاَّ هَلَكَ
"Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kamu di atas contoh yang terang (sehingga keadaan) malamnya seperti siang harinya. Tidak ada yang menyeleweng darinya selepasku kecuali dia akan binasa." (Hadis Riwayat Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim. Disahihkan oleh al-Albani dan mentakhrij kitab sunnah: لابن ابي عاصم Jld. 1. Hlm. 26-27)
Imam at-Thabrani menyebut riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radiallahu 'anhu beliau berkata:
تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِى الْهَوَاءِ اِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُ لَنَا مِنْهُ عِلْمًا . قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ اِلاَّ وَقَدْ بَيَّنَ لَكُمْ
"Setelah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam meninggalkan kami, tidak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan baginda menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Ia berkata: Maka Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam bersabda: Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke syurga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kamu". (Lihat: الرسالة hlm. 93. Imam as-Syafie. Tahqiq Ahmad Syakir. Sanad hadis ini sahih. Lihat: علم اصول البدع hlm. 19. Ali Hasan)
Seorang mukmin yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam yang mempunyai daya pemikiran yang tinggi, niat yang baik dan akal yang sempurna, bijak, rasional, waras dan logik tidak mungkin akan bertindak melakukan sesuatu apa pun terhadap perkara-perkara yang ternyata sudah diyakini sempurna, & lengkap, jauh sekali untuk menuka-tambah atau mengubah-suai (modifikasi).
Itulah kenyataan yang terdapat pada agama Islam. Ia adalah agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling mulia dan sempurna sejak di Lauhil Mahfuz hingga diturunkan ke bumi. Ia telah dilaksanakan dan dicontohkan keseluruhannya oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam berserta para sahabat baginda secara iktikadi (اعتقادى) keyakinan, fekli (فعلى) perbuatan / ptakteknya dan qauli (قولى). Perkataan.
Penyampaiannya pula tidak pernah tertinggal walaupun satu huruf atau satu kalimat, apalagi lagi satu ayat, satu surah atau keseluruhan al-Quran yang menjadi sumber hukum-hukum kepada sekalian manusia sejak ia diturunkan hingga ke Hari Kiamat. Hakikatnya, segala apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah salah dan mustahil salah atau tertinggal karena ia adalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia telah dijamin kesempurnaannya oleh Allah hingga ke Hari Kiamat. Kenyataan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang telah ditampilkan di atas.
Persangkaan dan kejahilan terhadap ilmu pengetahuan agama adalah puncak yang menyebabkan seseorang itu sanggup menambah atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran yang telah dijamin oleh Allah kesempurnaannya. Allah telah berulang kali menerangkan di dalam firman-Nya dan melalui hadist-hadist Nabi-Nya tentang kesempurnaan agama ini. Hakikat ini terangkum di dalam al-Quran, hadist-hadist dan atsar-atsar shahih yang menjadi pegangan serta rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan ummah, terutama yang berhubung dengan hukum-ahkam dalam mengatur urusan kehidupan mereka.
Lantaran benar-benar sempurnanya al-Kitab (al-Quran dan al-Hadist), Allah menjadikan kedua-dua kitab ini sebagai sumber rujukan yang terbaik untuk ummah di setiap segi atau perkara, dari yang sekecil-kecilnya hingga kepada perkara-perkara yang besar dan rumit. Allah telah menyeru sekalian manusia agar menganut agama Islam. Diwajibkan agar berpegang teguh kepada Kitab-Nya yang paling sempurna tanpa ditolak-tambah atau diubah & disesuaikan ( modifikasi ) di setiap aspeknya demi mentaati perintah dan contoh yang telah ditunjukkan & diajarkan oleh Rasul-Nya termasuk hukum-hukumnya yang telah ditetapkan.
Islam adalah agama yang sempurna, apabila ditolak-tambah atau diubah-suai menurut selera kemauan manusia maka ia tidak dapat dinamakan agama Islam lagi karena telah bertukar kepada agama rekaan otak manusia yang dangkal. Dengan adanya campur tangan manusia ia lebih sesuai diistilahkan sebagai agama bid'ah yang sesat lagi menyesatkan. Malahan ia juga lebih layak dinamakan agama jahiliah yang berpandukan hawa nafsu kesyaitanan manusia yang fasik. Kesempurnaan agama Islam lebih nyata apabila manusia diharamkan dari mencemarkan agama ini dengan penambahan melalui perbuatan bid'ah.