2/24/11
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATKAN ANAK YANG MELAKUKAN KEKELIRUAN
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATKAN ANAK YANG MELAKUKAN KEKELIRUAN
Oleh
Dr Fadhl Ilahi
Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi. Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.
Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri mereka.
Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas, begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm. 47-60).
Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.
Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki Allah …”. [1]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu ‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta adanya bimbingan menuju kebenaran.
Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh kemaksiatan.
Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya, jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.
Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya. Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat, aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat, Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau shalat sebelas rakaat.”[2]
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :
1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya, meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa kantuk yang menyerangnya.
2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang beriman.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu`min" [At Taubat:128]
3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu ‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.
Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar ma`ruf nahi munkar tersebut.
PENGINGKARAN TRHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang menegurnya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput. Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]
Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh; yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”. [6]
Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah (Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]
2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]
Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah (penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan (judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di Belakangnya. [10]
Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini) tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu ‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.
Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan lain-lain. Semoga bermanfaat.
[Diangkat dari Al Ihtisab ‘Alal Athfal, Dr. Fadhl Ilahi. Telah diindonesikan dengan judul Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), oleh Muhammad Ashim, Lc., Penerbit Darus Sunnah, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1425H/Maret 2005M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak … no. hadits 859 (2/344) dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim (1/528), Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, no. hadits 186 (763) dengan redaksi “maka Beliau memutarku ke belakang”.
[2]. Shahih Muslim (1/528), Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, no. hadits 185 (763)
[3]. Ibid, no. hadits 182 (763).
[4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah, no. hadits 76. (Fathul Bari, 1/171).
[5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum, no. hadits 493. (Fathul Bari, 1/571).
[6]. Fathul Bari, 1/171.
[7]. Shahih Al Bukhari, 1/171. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
[8]. Ibid, no. hadits 1857 (4/71).
[9]. Dinukil dari Fathul Bari, 1/572. Lihat juga 1/571.
[10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat, no. hadits 493 (1/571).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment