2/24/11

LANGKAH MENANAMKAN KEHORMATAN PADA ANAK


LANGKAH MENANAMKAN KEHORMATAN PADA ANAK


Pendidikan yang buruk tanpa kontrol kontinyu di rumah, merupakan faktor dominan munculnya tindak keburukan dari anak-anak. Mereka hidup tanpa pengarahan atau pembinaan. Jalanan dan lingkungan lebih sering mempengaruhi otak dan pribadinya. Kondisi sosial yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan anak, mengharuskan para orang tua agar meningkatkan perhatian mereka terhadap anak, terutama dalam aspek agamanya. Karena, selain sebagai karunia dari Sang Pencipta Azza wa Jalla, anak juga sekaligus sebuah tanggung jawab yang tidak boleh disia-siakan.

Oleh karena itu, proses pendidikan yang baik lagi intensif sangat urgens untuk segera dimulai sejak dini, supaya tercipta insan-insan yang menjunjung tinggi iffah. Yaitu mentalitas untuk selalu menjauhi segala sesuatu yang haram dan tidak terpuji untuk dikerjakan. Dengan ini, berarti para orang tua telah menanam investasi buat kehidupan akhiratnya, lantaran anak-anaknya shalih dan shalihah. Sebuah investasi yang tidak terukur harganya buat orang tua. Hilangnya iffah dari hati anak-anak (remaja) menimbulkan berbagai dampak sosial yang berbahaya. Para remaja enggan menikah lantaran kebutuhan biologis dapat terpenuhi dengan jalan haram.

Hancurnya keluarga, banyaknya kasus aborsi ataupun pemerkosaan, merupakan sebagian kisah memilukan yang nampak di tengah masyarakat. Belum lagi menyebarnya berbagai jenis penyakit kelamin dan penyakit jiwa, seakan menjadi pelengkap rusaknya tatanan nilai sosial yang luhur.

Ada beberapa langkah preventif untuk merealisasikan terciptanya iffah (kehormatan) pada diri anak. Yaitu:

PERINTAH MENINGKATKAN KETAKWAAN DAN KEIMANAN.
Pengekang paling efektif dalam menghadapi maksiat ialah dengan meningkatkan kualitas keimanannya kepada Allah. Caranya, sebagaimana diungkapkan sebagian ulama, "Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, tetapi ingatlah keagungan Dzat yang engkau hadapi".

Ada ulama yang ditanya tentang resep praktis agar kita dapat menjaga pandangan dari obyek yang haram, maka ia menjawab: "Dengan keyakinanmu, bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada obyek yang haram".

Seorang hamba yang meyakini Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dariNya, baik di langit maupun di bumi, bahkan yang disembunyikan hati; maka sikap ini akan mengarahkan seseorang untuk memelihara lidah, anggota tubuh yang lain, serta apa yang terlintas di benaknya. Sehingga tidak ada tindak-tanduknya yang menyebabkan kemurkaan Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tiga orang yang terjebak dalam gua, karena sebongkah batu menutup mulut gua, sehingga tidak bisa keluar darinya. Mereka bertiga bertawasul (memohon kepada Allah dengan perantaraan) dengan amalan terbaiknya, dengan harapan Allah akan menyelamatkan mereka dari kungkungan kegelapan gua.

Orang yang ketiga mengatakan: "Ya, Allah. Aku mempunyai sepupu wanita yang merupakan gadis yang paling aku senangi. Aku pernah merayunya untuk berzina dengannya, tetapi ia menolak sampai akhirnya datanglah masa paceklik. Ia pun mendatangiku (untuk minta bantuan). Aku beri ia seratus dua puluh dinar dengan syarat memberiku jalan untuk berzina dengannya. Ia pun terpaksa menyetujuinya. Sampai akhirnya, aku berada dalam posisi akan menyentuhnya, ia berkata: "Tidak halal bagimu untuk membuka ‘segel’ kecuali dengan haknya", maka aku pun merasa tidak sampai hati untuk menyetubuhinya, dan aku langsung bergegas pergi. Padahal, ia gadis yang sangat aku idamkan. Dan aku tinggalkan uang emas yang aku berikan. Ya, Allah! Jika itu aku lakukan karena ingin mengharapkan wajahMu, maka bebaskan kami dari kondisi yang meliputi kami (ini). Maka batu itupun bergeser [1]

PERNIKAHAN DINI
Ini terhitung terapi manjur dalam menciptakan kehormatan pada anak. Orang tua bertanggung jawab menikahkan anak-anaknya. Di banyak ayat, Al Qur’an menganjurkan orang agar mengakhiri kesendiriannya dengan pernikahan sebagai media menjaga gejolak seksualnya, dan sekaligus mengokohkan tatanan sosial. Juga untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah di antara hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An Nur : 32].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan hal ini dengan menjadikannya sebagai Sunnah Beliau. Oleh karena itu, pernikahan dini menjadi pilihan tepat untuk menuntaskan problematika seksual dan sangat cocok dengan fitrah manusia.

Ketika dua insan, lelaki wanita mengikat tali kasih cinta lewat pernikahan, maka ada dua manfaat yang diraihnya. Yaitu ketentraman jiwa dan kenikmatan duniawi melalui jima’. Dua hal ini sangat berpotensi dalam pengendalian nafsu syahwat manusia.

MENJAGA PANDANGAN.
Makna menjaga pandangan, ialah menahannya dari pandangan yang diharamkan. Jika tanpa sengaja pandangan matanya mengarah kepada obyek haram, maka langsung dipalingkan darinya. Ini harus ditekankan orang tua kepada anak sejak dini. Sehingga nantinya mudah bagi sang anak untuk menjaga diri dari pandangan haram. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya". [An Nur : 30].

Ibnul Qayyim menjelaskan : “Allah Azza wa Jalla menitahkan NabiNya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih di kedepankan daripada tekanan untuk menjaga kemaluan. Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan. Kronologisnya, (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: "Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya. (Yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata dan langkah-langkahnya".[2]

Al Qurthubi memberi nasihat : "Mata adalah gerbang terbesar menuju hati, dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya. Karena itu, banyak terjadi kebinasaan (karenanya), dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah"[3].

Anas bin Malik berkata : "Jika seorang wanita melewatimu, maka pejamkan matamu sampai dia menjauh". [4].

BERPUASA BAGI YANG BELUM MAMPU MENIKAH.
Puasa dapat meningkatkan ketakwaan seseorang dan memudahkannya untuk mengekang hasrat seksualnya. Nabi menjadikannya sebagai solusi bagi yang belum mampu membina rumah tangga. Bukan dengan melampiaskan melalui sarana yang haram atau maksiat. Sebab perilaku seperti ini tidak akan bisa mengobatinya, tetapi menumbuhkan penyakit bagi hatinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (artina) : "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya menikah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa akan menjadi pengekang buat dirinya [5].

Perintah puasa buat para pemuda sangat efektif untuk memelihara diri mereka. Dia akan menahan diri dari berbagai makanan, minuman dan syahwatnya demi meraih ridha Allah. Puasa bagaikan wahana pembinaan menghadapi segala perkara yang berat dan meredam gejolak syahwat perut yang merupakan syahwat yang paling kuat. Juga bermanfaat untuk melahirkan pribadi yang berkepribadian kuat.

HENDAKNYA DIBERI PENEKANAN AGAR SELALU BERKAWAN DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Sahabat yang baik akan menjadi penolong setelah Allah dalam meniti jalan yang lurus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

"Seseorang akan mengikuti kebiasaan teman karibnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat orang yang dia ajak berkawan". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Lihat Shahihul Jami’ no. 3539].

Meremehkan bahaya teman yang buruk, akan menjadi bumerang di kemudian hari. Allah telah menceritakan penyesalan orang yang berkawan dengan orang yang tidak baik.

Qotadah berpesan: "Demi Allah. Sesungguhnya kami tidak melihat seorang lelaki yang mencari kawan, kecuali yang sama atau serupa. Maka berkawanlah dengan orang-orang yang shalih. Semoga kalian selalu bersama mereka atau menjadi seperti mereka".

MENANANMKAN RASA MALU PADA DIRI ANAK.
Al haya` (rasa malu) merupakan etika yang baik yang akan mengantarkannya menuju perbuatan yang baik dan menghalanginya dari tindakan buruk. Karena itu, Islam memuji rasa malu.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi yang bersabda: "Rasa malu dan iman selalu bersanding. Jika salah satunya lenyap, maka yang lain (juga) hilang".[6]

Abu Said Al Khudri berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

"Rasulullah sangat pemalu, melebihi seorang gadis perawan dalam pingitannya".[7]

Rasa malu adalah sumber kebaikan. Wajah yang dihiasi dengan rasa malu bak permata yang mahal. Kehormatan akan terjaga. Terutama bagi seorang gadis, akan menjaga kesucian dirinya, menjauhkannya dari wilayah rawan yang bisa memperkeruh kehormatannya. Akhirnya ia menjadi pribadi yang hidup hatinya dan suci jiwanya.

MENJAUHI OBYEK YANG MENIMBULKAN RANGSANGAN ATAU FITNAH.
Seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah. Demikian juga, tidak menjadi sumber fitnah untuk orang lain. Ada beberapa hal yang dilarang syari’at lantaran dapat menimbulkan gejolak nafsu dan merangsang berbuat maksiat.

1. Berjabat Tangan Antara Lelaki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram.
Lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, dilarang keras untuk berjabat tangan. Dengan tegas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

لِأنْ يَطْعَنَ فِي رَأْسِ أحَدَكِمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لَا تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [8]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm sebagai pribadi yang paling bertakwa dan mulia, Beliau tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Umaimah binti Raqiqah menceritakan, ketika sebagian wanita berbaiat kepada Nabi, kami berkata: "Ya, Rasulullah! Tidakkah engkau berjabat tangan dengan kami?" Beliau menjawab:

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

"Aku tidak bersalaman dengan wanita. Ucapanku pada seorang wanita (dalam baiat), seperti halnya ucapanku kepada seratus wanita".[9]

Siapapun, lelaki maupun wanita itu, jika ia bukan mahramnya, maka tidak boleh terjadi persentuhan antara kulit mereka berdua.

2. Menikmati Musik.
Musik termasuk pemicu yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat dan menyebarkannya. Suara merdu, apalagi diiringi dengan alunan musik, sangat melekat di hati.

Ibnu Taimiyah mengatakan: "Musik rayuan menuju zina. Ia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemungkaran. Seorang lelaki atau anak kecil atau seorang wanita yang sebelumnya kehormatannya terjaga, begitu menghadiri tontonan musik, maka jiwanya berubah lepas, dan kemungkaran mudah ia kerjakan. Ia langsung menjadi pelaku atau sebagai obyek dari maksiat tersebut, atau menjadi dua-duanya, sebagaimana yang dialami penenggak minuman keras". [10]

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata: "Tidak pelak lagi, lelaki yang punya ghirah (kecemburuan terhadap agama) akan menjauhkan keluarganya dari alunan musik, sebagaimana ia menjaga mereka dari perkara-perkara fitnah,” beliau menambahkan: “Demi Allah. Berapa banyak wanita terhormat yang akhirnya menjadi wanita jalang karena pengaruh musik…" [11]

3. Tutur Kata Yang Menggoda.
Tutur kata yang menggoda dan terlalu genit, terutama dari pihak perempuan termasuk faktor yang dapat melunturkan kehormatannya. Di sisi lain, ia mampu membuat lawan jenisnya terfitnah. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lainnya, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [12]

Dalam ayat ini, Allah melarang al khudhu’fil qaul (berbicara dengan menggoda) kepada lelaki. Sebab, seperti dijelaskan hikmahnya, agar tidak menimbulkan rangsangan kepada orang yang hatinya ada penyakit.

Fenomena yang terjadi, sebagian wanita terlalu ramah dalam berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Senyumnya selalu tersungging, seolah-olah sedang berbicara dengan suami atau ayah dan anaknya. Bahkan tidak itu saja. Ada yang mencoba mencandainya. Bisa jadi, tingkat keramahannya melebihi saat ia bersama suaminya. Tentu ini sebuah kesalahan dan kemungkaran yang bisa mengantarkannya kepada kemaksiatan lainnya.

4. Ikhtlath (Bercampurnya) Lelaki Perempuan.
Islam tidak memprbolehkan terjadinya ikhtilah antara kaum lelaki dengan perempuan dan sebaliknya. Semua ini untuk menjaga keluhuran akhlak, kehormatan dan norma-norma.

KHUSUS BAGI ANAK PEREMPUAN, HENDAKNYA MENUTUPI DIRI DENGAN PAKAIAN MUSLIMAH.
Salah satu indikasi kebaikan seorang wanita muslimah, ialah mengenakan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam yang suci. Hijab, itulah istilahnya. Dalam hal ini, seorang mukminah tidak mempunyai alternatif lain, kecuali harus tunduk patuh kepada Rabb-nya. Termasuk dalam hal ini, yaitu tunduk patuh dalam mengikuti petunjuk perintah tersebut. Sebab, manakala kaidah-kaidah umumnya diserahkan kepada masing-masing individu, maka tujuan agung dari peraturan tersebut akan menjadi kabur.

Fenomena sosial menjadi bukti nyata. Apabila prinsip berpakaian ‘bebas’, maka yang muncul jilbab gaul, desain baju yang sempit lagi transparan dan terkesan kurang bahan. Ditambah lagi, tampilan yang mengundang tatapan mata. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (artinya) : "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al Ahzab : 59].

Pakaian wanita harus menutupi sekujur tubuhnya, tidak boleh tranparan atau berdesain yang menyolok, tidak sempit atau mini. Demikian juga tidak menyerupai tradisi wanita kafir atau perempuan yang fasik.

Demikianlah diantara kunci untuk memelihara kehormatan anak-anak. Penjagaan kehormatan sangat penting. Karena ia merupakan cerminan iman dan kunci untuk menggapai kebahagian abadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

مَنْ ضَمِنَ لِيْ مَا بَينَ لِحْيَيهِ وَفَخِذَيهِ ضَمِنْتُ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa mampu menjamin pemeliharaan anggota yang ada diantara dua tulang rahangnya dan diantara dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga". [Lihat Shahihul Jami’ no. 1029].

Semoga pengakuan Ibnu Sirin di bawah ini bukan lagi khayalan pada generasi muda. Dia pernah menceritakan tentang dirinya: "Demi Allah. Aku tidak pernah menyetubuhi wanita sama sekali, kecuali Ummu’Abdillah saja –istrinya-. Pernah aku bermimpi melihat wanita, dan aku pun ingat bahwa ia tidak halal bagiku, maka aku palingkan pandanganku darinya".

Maraji:
- Al ‘Iffah Wasailuha, Mu’awwiqatuha, Tsamaratuha, karya Muhammad bin ‘Abdullah Al Habdan.
- Asy Syabab Wal ‘Afaf, karya ‘Adil bin Muhammad Al ‘Abdul ‘Ali.
- Asbabu Tahqiqil ‘Afaf, karya Khali bin ‘Abdur Rahman Asy Syayi’.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari, no. 2272 dan Muslim, no. 2743.
[2]. Ad Da`Wa Ad Dawa`, hlm. 232.
[3]. Tafsir Al Qurthubi (2/148).
[4]. Al Wara`, karya Ibnu Abid Dunya, hlm. 16.
[5]. HR Bukhari, no. 1905 dan Muslim, no. 1400.
[6]. HR Al Hakim (1/22) dan dishahihkan Syaikh Al Albani.
[7]. HR Muslim.
[8]. HR Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’, no. 5045.
[9]. HR Imam Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ibnu Katsir berkomentar: “Ini sanadnya jayyid”.
[10]. Majmu’ Al Fatawa (10/417-418).
[11]. Ighatsatu Al Lahafan (1/370-371).
[12]. QS Al Ahzab : 32.

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATKAN ANAK YANG MELAKUKAN KEKELIRUAN


NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATKAN ANAK YANG MELAKUKAN KEKELIRUAN


Oleh
Dr Fadhl Ilahi



Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi. Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.

Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri mereka.

Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas, begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm. 47-60).

Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.

Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki Allah …”. [1]

Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu ‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta adanya bimbingan menuju kebenaran.

Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh kemaksiatan.

Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya, jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.

Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya. Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat, aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat, Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau shalat sebelas rakaat.”[2]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]

Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :

1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya, meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa kantuk yang menyerangnya.

2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

"Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang beriman.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu`min" [At Taubat:128]

3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu ‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.

Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar ma`ruf nahi munkar tersebut.

PENGINGKARAN TRHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang menegurnya.

Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput. Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]

Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.

Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh; yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”. [6]

Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah (Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]

2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.

Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]

Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah (penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan (judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di Belakangnya. [10]

Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini) tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu ‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan lain-lain. Semoga bermanfaat.

[Diangkat dari Al Ihtisab ‘Alal Athfal, Dr. Fadhl Ilahi. Telah diindonesikan dengan judul Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), oleh Muhammad Ashim, Lc., Penerbit Darus Sunnah, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1425H/Maret 2005M]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak … no. hadits 859 (2/344) dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim (1/528), Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, no. hadits 186 (763) dengan redaksi “maka Beliau memutarku ke belakang”.
[2]. Shahih Muslim (1/528), Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, no. hadits 185 (763)
[3]. Ibid, no. hadits 182 (763).
[4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah, no. hadits 76. (Fathul Bari, 1/171).
[5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum, no. hadits 493. (Fathul Bari, 1/571).
[6]. Fathul Bari, 1/171.
[7]. Shahih Al Bukhari, 1/171. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
[8]. Ibid, no. hadits 1857 (4/71).
[9]. Dinukil dari Fathul Bari, 1/572. Lihat juga 1/571.
[10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat, no. hadits 493 (1/571).

MEMILIH KISAH YANG MENDIDIK


MEMILIHKAN KISAH YANG MENDIDIK

Oleh
Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nurhuda



Kisah, keterkaiatannya dengan pendidikan anak, memiliki peran yang sangat penting, lantaran kisah juga merupakan salah satu metode pengajaran. Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengajarkan berbagai kisah dari umat-umat terdahulu. Sehingga secara langsung bisa dipahami, bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap masalah ini, yaitu dengan menyebutkan kisah-kisah yang mendidik dan bermanfaat sebagai metode dalam menyampaikan pengajaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencontohkan kisah tentang Luqman Al-Hakim yang memberi wasiat kepada anaknya dengan wasiat yang sangat penting dan berharga.[1]

Demikian semestinya yang diterapkan dalam mendidik anak, ialah dengan mendasarkan kepada wahyu, yaitu Al-Kitab dan juga As-Sunnah. Karena dalam dua sumber tersebut terdapat kebaikan, kesempurnaan, dan tepat bagi manusia. Bukankah jika memperhatikan Al-Qur`an dan As-Sunnah, kita mendapatkan keterangan yang jelas kandungan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya?

"Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa".[Al-Baqarah/2:2].

"Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu . . ." [An-Nisa/4:164].

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". [Yusuf/12:111].

Inilah di antara metode yang digunakan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam masalah pengajaran, yaitu dengan menuturkan kisah-kisah teladan. Kita dapatkan bahwasanya memberi nasihat dengan menuturkan cerita-cerita yang menarik, akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa anak-anak, apalagi jika sang penuturnya juga mempunyai cara yang menarik dalam menyampaikannya, sehingga mampu mempesona dan memberikan pengaruh mendalam bagi yang mendengarnya. Karena ciri khas kisah-kisah teladan, ia mampu memberikan pengaruh bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Oleh karenanya, sepatutnya sebagai pendidik, juga memberikan perhatian ketika menerapkan metode ini.

Terlebih lagi, di tengah masyarakat sejak dahulu telah merebak berbagai kisah ataupun hikayat yang tidak diketahui asal-usulnya. Banyaknya cerita fiktif dan sarat dengan kedustaan yang dijadikan sebagai sandaran dalam memberikan pengajaran kepada manusia umumnya, dan khusus kepada anak-anak. Kisah-kisah fiktif ini telah mempengaruhi pola pikir anak-anak kita. Misalnya menjadikan para penjahat sebagai pahlawan, dan orang-orang yang buruk perangainya menjadi sang pemenang, ataupun orang-orang fasik menjadi idola. Ini merupakan kejahatan terhadap anak-anak kita, dan cepat atau lambat akan menumbuhkan dampak buruk bagi anak didik kita.

MEWASPADAI KISAH-KISAH BURUK
Melihat merebaknya kisah-kisah fiktif dan dusta tersebut, maka layaklah jika kita mewaspadai adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kisah-kisah atau hikayat-hikayat tersebut dipenuhi dengan kemungkaran dan kemusyrikan, sehingga kita harus berhati-hati dan bersikap kritis. Misalnya sebagai berikut.

1). Cerita-Cerita Yang Menimbulkan Rasa Takut Dan Cemas.
Misalnya: cerita-cerita horor, hantu, makhluk yang menakutkan dan lain-lain.

Cerita-cerita seperti ini berpengaruh buruk pada diri anak-anak dan memunculkan sifat pengecut, tidak membentuk anak menjadi seorang yang pemberani. Anak akan terpengaruh dengan cerita yang ia dengar walaupun cerita tersebut telah berakhir. Pikiran anak akan selalu sibuk berkhayal adanya makhluk yang selalu mengikutinya, dan ia terus dihantui dengan rasa takut. Kekalutan ini akan mempengaruhi kepribadiannya, dan ia menjadi pribadi yang labil. Padahal kita semestinya membentuk pribadi anak menjadi pemberani dan berkepribadian kuat, bukan menjadi umat yang lemah dan penakut.

2). Cerita-Cerita Rakyat Yang Berisi Kedustaan, Khurafat, Mitos Dan Khayalan.
Sebagai misal : hikayat Malin Kundang, Sangkuriang, kisah kancil dan buaya, dan sebagainya.

Cerita-cerita klasik sejenis ini sangat banyak kita dapatkan di tengah masyarakat. Semuanya menceritakan hal-hal yang sulit diterima akal sehat dan dipenuhi kedustaan, bahkan mengarah kepada keyakinan syirik.

Ini juga akan membentuk pribadi anak sehingga senang untuk mempercayai hal-hal yang dusta, tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kondisi riil, bahkan mustahil akan terjadi. Misalnya kisah Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu, Sangkuriang yang hendak mengawini ibunya sendiri atau kancil yang licik, suka menipu. Sungguh tak mustahil, kisah-kisah seperti ini telah memberikan pengaruh buruk pada anak-anak kita.

3). Cerita-Cerita Yang Lebih Menunjukkan Kekuatan Badan Daripada Akal.
Misalnya: kisah Tarzan, Superman, Spiderman dan lainnya.

Semua kisah-kisah seperti ini menceritakan bahwa tidak ada jalan untuk menyelesaikan masalah, kecuali dengan kekuatan dan kekerasan. Maka kisah semacam ini pun akan membentuk jiwa anak-anak menjadi jiwa yang suka bermusuhan, mengutamakan kekuatan badannya dari pada akalnya. Di samping itu, kisah-kisah ini telah menanamkan khayali pada anak. Lantaran apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama tersebut sangat tidak mungkin mewujud dalam kenyataan.

4). Cerita-Cerita Yang Mengunggulkan Kekuatan Jahat Dan Mengagungkannya.
Contohnya: orang zhalim berhasil mengalahkan orang-orang yang baik, penjahat berhasil memperdayai polisi.

Kisah semacam ini dituturkan kepada anak-anak dengan alasan untuk menjelaskan tentang perilaku-perilaku jahat, akan tetapi alasan ini melupakan tabiat anak-anak yang suka meniru apa yang ia lihat atau ia dengar. Yang pada akhirnya, kita banyak mendengar kejadian-kejadian mengerikan yang dilakukan oleh anak-anak, karena mencontoh yang mereka lihat atau yang mereka dengar.

5). Kisah-kisah yang berisi hinaan, celaan atau merendahkan orang lain, juga gangguan kepada orang yang lebih tua dengan berbagai perbuatan usil, bahkan hinaan kepada orang yang mempunyai cacat pada tubuhnya, seperti buta, dengan membuatnya jatuh di lobang atau semisalnya, tanpa memikirkan pengaruh buruk pada anak yang melihatnya.

Contoh paling nyata cerita-cerita seperti ini, yaitu film kartun Tom and Jery. Film ini sangat terkenal di kalangan anak-anak, bahkan orang dewasa. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi pendidikan, film ini sangat merusak. Karena memberikan gambaran perilaku yang buruk pada anak-anak, ketidak sopan-santunan, usil dan nakal. Pada gilirannya, tak mustahil perilaku dalam film ini akan ditiru dan dipraktekkan kepada orang-orang di sekitarnya, dan sebagai sebab munculnya perasaan lebih unggul di bandingkan yang lainnya.

Demikian juga film ini mengisyaratkan adanya perbuatan yang bersifat merendahkan bangsa lainnya, seperti bangsa kulit hitam. Sehingga dapat menimbulkan perasaan dengki, dendam dan juga perselisihan yang berkepanjangan. Demikian gambaran kisah-kisah yang ditampilkan di hadapan anak-anak kita, yang maksud dan tujuannya untuk mendidik, akan tetapi justru sebaliknya, yaitu tidak mendidik, bahkan merusak dan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan kejiwaan anak-anak. [2]

HADIRKAN KISAH-KISAH TELADAN
Setelah mengetahui kandungan dan kemungkinan munculnya dampat negatif dari kisah-kisah fiktif tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan anak-anak agar menjauhi kisah-kisah fiktif dan penuh kedustaan tersebut. Kemudian mereka didekatkan dengan kisah-kisah teladan penuh hikmah. Misalnya kisah tentang para nabi Allah. Kisah-kisah teladan inilah yang semestinya mewarnai kehidupan anak-anak kita.

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka". [Al-An'am/6:90].

Seperti halnya kisah Nabi Yunus Alaihissalam ketika berada di dalam perut ikan paus, Nabi Sulaiman Alaihissalam dengan burung Hud-Hud, juga kisah Nabi Yusuf Alaihissalam dengan saudara-saudaranya. Demikian pula kisah Nabi Musa Alaihissalam dengan Khidir, dan kisah-kisah lainnya.

Begitu juga anak harus didekatkan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sirah beliau ini, kita dapat memetik banyak pelajaran, sejak beliau masih di dalam kandungan, kemudian bapak beliau meninggal, sehingga beliau lahir dalam keadaan yatim, dan seterusnya. Banyak pula peristiwa-peristiwa besar yang beliau lewati, sehingga membawa perubahan besar bagi umat manusia. Begitu juga dengan kisah-kisah yang beliau tuturkan dalam hadits-hadist yang shahih. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab/33:21].

Demikian juga kita bisa menuturkan kepada anak-anak dengan kisah-kisah para sahabat Nabi, sebagaimana yang dipaparkan oleh seorang penyair:

Jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, (maka) contohlah mereka!
Karena sesungguhnya, meneladani orang-orang mulia, merupakan keutamaan.

Sebagai contoh, kisah yang disebutkan dalam sirah 'Umar bin 'Abdil-'Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.

Awal kisah, pada suatu malam Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: "Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah 'Umar melarangnya?"

Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: "Umar tidak akan mengetahui."

Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: "Kalaupun 'Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya."

Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati 'Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama 'Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: "Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut," maka menikahlah 'Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah 'Umar bin 'Abdil 'Azis.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut.
- Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
- Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
- Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
- Memilihkan suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya.

Penggalan kisah ini hanya sekedar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.

PELAJARAN DAN KEUTAMAAN KISAH-KISAH TELADAN
Kisah-kisah teladan mempunyai keistimewaan yang sangat berbeda dengan kisah-kisah fiktif maupun mitos, yaitu dari sisi kebenarannya, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalamnya juga terkandung tujuan-tujuan mulia.

1). Kisah mampu memberikan peran yang penting dalam menarik perhatian, mengembangkan pikiran dan akal anak. Karena dengan mendengarkannya, dapat mendatangkan kesenangan dan kegembiraan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbiasa membawakan kisah di hadapan para sahabat, baik yang muda maupun yang tua. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kisah yang dituturkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, agar bisa mengambil pelajaran darinya, baik oleh orang-orang sekarang maupun sesudahnya hingga hari Kiamat

2). Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan kepercayaan anak-anak terhadap sejarah tokoh yang menjadi tauladan mereka. Sehingga akan menambah semangat untuk maju, serta membangkitkan semangat ke-islaman mereka agar lebih mendalam dan menggelora.

3). Kisah-kisah para ulama yang mengamalkan ilmunya, demikian juga kisah-kisah orang-orang shalih merupakan sarana terbaik untuk menanamkan berbagai sifat utama pada diri anak-anak, serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan untuk meraih tujuan mulia dan luhur.

4). Kisah-kisah teladan juga akan membangkitkan anak-anak untuk mengambil teladan dari orang-orang yang mempunyai tekad kuat dan mau berkorban, sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.

5). Tujuan utama menuturkan kisah-kisah teladan tersebut, yaitu untuk mendidik dan membersihkan jiwa, bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang atau menikmati kisah-kisah itu saja.

Oleh karena itulah, cerita juga memiliki peran sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga banyak memaparkan kisah orang-orang terdahulu kepada para sahabatnya, untuk kemudian diambil pelajaran dan peringatan darinya. Kebiasaan beliau n dalam berkisah, beliau mendahului dengan uangkapan “telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian", kemudian beliau n menuturkan kisah tersebut, dan para sahabat mendengarkannya dengan seksama sampai selesai. Dalam hal ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerapkan metode Ilahi, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla.

"Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir". [Al-A’raaf/7:179].

Para sahabat pun mengambil pelajaran pada setiap kisah yang dituturkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendapatkan manfaat dari sisi pendidikan dan akhlak, sebagai bekal yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Demikianlah semestinya seorang anak dibiasakan hidup dalam nuansa kisah-kisah yang pernah dibawakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah Nabi dan juga kisah-kisah dalam Al-Qur`an, agar ia terbiasa hidup dalam nuasa iman dan suri teladan yang utama, sehingga keimanannya semakin hari semakin kokoh. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana wa Mâ Huwa Wajib Al-Aba-i Wal-Abna’, hlm. 2.
[2]. Lihat kitab At-Tarbiyyah bil-Qishashi, hlm. 5, dengan beberapa perubahan.
[3]. Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah li-Thifli, hlm. 339.

HINDARI TOLAK UKUR KEBENARAN ALA JAHILIYYAH


HINDARI TOLOK UKUR KEBENARAN ALA JAHILIYAH [1]

Oleh
Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan


Setiap kali mendengar kata-kata jahiliyah, maka tergambarlah di benak kita dengan berbagai kebiasaan buruk yang dilakukan manusia sebelum kedatangan Islam. Dan memang, semua yang dikaitkan dengan kata-kata jahiliyah, semuanya memiliki konotasi buruk dan kita dilarang mengikutinya.

Alhamdulillah, secara umum masa Jahiliyah itu sudah berakhir [2] seiring dengan diutusnya Muhammad n sebagai rasul dengan membawa Al Qur`an sebagai pedoman hidup. Namun, ini bukan berarti semua tradisi jahiliyah juga sudah terkikis habis. Tradisi atau tabiat jahiliyah masih ditemukan pada diri seseorang atau satu kelompok tertentu, atau bahkan pada satu wilayah negara. Sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar ada seseorang menghina kawannya dengan ucapan “Hai anak wanita hitam!” Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurnya dengan bersabda: “Apakah engkau menghinanya karena ibunya?” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

Sesungguhnya engkau manusia yang masih terjerat tabiat jahiliyah [HR Muslim].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ

Ada empat perkara jahiliyah yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya ; yaitu mencaci keturunan, membanggakan kedudukan, meratapi orang meninggal dunia, serta mengaitkan turunnya hujan dengan bintang-bintang.[3]

Juga ketika terjadi pertengkaran antara seorang Anshar dan Muhajirin, lalu masing-masing mencari pendukung. Seseorang yang dari Anshar memanggil orang Anshar “hai, orang Anshar!” dan dari Muhajirin memanggil orang Muhajirin, dia berkata “wahai kaum Muhajirin”. Menanggapi kejadian tersebut, Rasulullah bersabda,”Apakah kalian masih bangga dengan semboyan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian? Tinggalkanlah fanatisme itu, karena itu berbau busuk!”

Dari sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, para ulama berpendapat, masih adanya tradisi jahiliyah yang melekat di tengah masyarakat. Sehingga para ulama bangkit menjelaskannya, agar masyarakat menjauhinya dan tetap istiqamah menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena tradisi jahiliyah bertentangan dengan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diantara tradisi jahiliyah yang diperingatkan oleh para ulama agar dijauhi, yaitu tradisi jahiliyah dalam menilai sebuah kebenaran dan sumber nilai itu sendiri. Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok ukur. Yang sejalan dianggap benar dan yang bertentangan dinilai salah.

BERALASAN DENGAN KEBIASAAN MAYORITAS MANUSIA, TANPA MELIHAT DALILNYA
Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya [Al An’am : 116].

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al A’raf : 187].

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik. [Al A’raf : 102].

Dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.

Jadi, yang menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.
Ketika menceritakan umat-umat terdahulu, Allah l memberitahukan bahwa minoritas sering berada dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah :

وَمَآءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hud : 40].

Dalam sebuah hadits terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperlihatkan tentang pengikut para nabi terdahulu. Ada nabi yang diikuti oleh beberapa orang saja. Ada yang hanya disertai oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tanpa pengikut.

Jadi tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ

Islam itu muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul. [4]

Maksudnya ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :

وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. [Yusuf:103].

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya. [Al An’am:116].

BERARGUMENTASI DENGAN PENDAPAT LELUHUR (NENEK MOYANG) TANPA MENELITI SUMBER PENDAPAT ITU
Ketika para rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam Al Qur`an :

مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ

Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. [Al Mukminun:24]

Mereka menolak dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan:

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad:7].

Maksud dari agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu, tanpa melihat sumber pengambilannya.

Padahal, semestinya orang yang berakal memperhatikan ajaran para rasul, lalu membandingkannnya dengan ajaran nenek moyangnya, agar tampak jelas antara yang haq dan yang bathil. Menutup diri sembari mengatakan “kami hanya menerima pendapat nenek moyang kami saja dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengannya” ini, bukanlah tradisi orang-orang yang berakal, lebih-lebih bagi yang menginginkan kesalamatan.

Sekarang ini, bila penyembah kubur dilarang melakukannya, biasanya mereka mengatakan, “ini merupakan tradisi di negeri fulan”, “ini kebiasaan anggota jama’ah fulan”, atau “inilah kebiasaan orang-orang terdahulu”. Begitu juga orang-orang yang terbiasa merayakan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bila dilarang, mereka akan membantah “ini sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami, kalau memang perayaan ini bathil, tentu tidak akan mereka lakukan”.

Inilah di antara hujjah ala jahiliyah. Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia.

(Diangkat dari kitab Syarh Masail Jahiliyah, Karya Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syarah Masail Jahiliyah, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
[2]. Lihat Syarh Masail Jahiliyah, hlm. 14.
[3]. HR Bukhari dengan ringkas dan Muslim, dan lafazh dari Muslim no. 934.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim, no. 146.

MENDOAKAN ANAK CIRI PENDIDIK IDEAL


MENDO'AKAN ANAK CIRI PENDIDIK IDEAL


Oleh
Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby


Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka(jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. [Al Baqarah : 186]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السَّوءَ

Atau siapakah yang memperkenankan (Do’a) orang yang dalam kesulitan apa bila ia berdo’a kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan. [An Naml : 62]

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Berdoa itu adalah Ibadah. [1]

Wahai para pendidik, doa sangat memberi manfaat kepada anak dan menambah keteguhan dan kesolehan mereka serta orang akan selalu mendapat hidayah dan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Oleh sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita agar selalu berdoa untuk kebaikan anak, sebab doa akan menambah keberkahan dan kebaikan pada anak. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kepada kita mendoakan buruk atas anak sebagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمِ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أمِوَالِكُمْ, وَلاَ تُوَافِقُوْا مِنَ الله سَاعَةً إلاَّ يَسْألُ فِيْهَا عَطاَءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ.

Janganlah kalian berdoa buruk atas dirimu, jangan berdoa buruk atas anakmu, dan jangan berdoa buruk atas hartamu sebab bila kalian tepat pada saat yang dikabulkan Allah ketika kamu meminta suatu permintaan maka Allah akan mengabulkannya.

Seorang laki-laki datang kepada Abdullah Ibnu Mubarak yang mengeluhkan tentang kenakalan anaknya, maka Beliau bertanya kepadanya,” Apakah kamu pernah berdoa buruk atasnya? ia menjawab,”Ya”. Ibnu Mubarak berkata,” Kamulah yang merusaknya”.

Wahai para pendidik, daripada anda merusak anak maka lebih baik anda menjadi sebab baiknya anak dan datangnya keberkahan dalam hidup mereka lewat cara berdoa baik untuk mereka seperti yang dilakukan oleh pendidik utama, Muhammad dan para rasul serta para nabi.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah merangkulku ke dadanya lalu bersabda.

اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَفِي رِوَايَةٍ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ

Ya Allah ajarkanlah kepadanya Al hikmah” dalam riwayat lain “Ajarkanlah kepadanya Al Kitab.

Dengan karunia Allah Azza wa Jalla berkat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu menjadi pemuka ulama dan ahli tafsir Al-Qur’an.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berdoa untuk kebaikan anak-anak ketika dalam keadaan bepergian, sebab dia pada saat itu sangat dikabulkan. Beliau berdoa.

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبَ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةَ فِي اْلأَهْلِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلِبِ فِي الْمَالِ وَالأهْلِ وَالْوَلَدِ.

Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan, pengganti di keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan perjalanan, kegelisahan penungguan dan buruknya kembali pada harta, keluarga dan anak.

Kaum Ibu pernah datang kepada Rasulullah agar Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa untuk anak-anak mereka.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Ummu Sulaim berkata,” Wahai Rasulullah, Anas menjadi pembantumu maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَبَارَكَ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak dan berkahilah apa-apa yang engkau berikan kepadanya.

Dalam riwayat Bukhari bahwa Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menutupi badanku dengan setengah tudungnya dan setengah selendangnya. Maka ia berkata,” Wahai Rasulullah, anak ini bernama Unais aku membawanya kepadamu untuk menjadi pembantumu, maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak.

Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Demi Allah hartaku banyak dan sungguh anak dan cucuku sampai seratus orang sejak hari ini”.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Khildah berkata bahwa Abu Aliyah pernah mendengar Anas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepadaku untuk kebaikan maka aku punya kebun buah-buahan yang bisa panen setahun dua kali sementara dalam kebun juga ada pohon raihan untuk bahan minyak kasturi”.

Berdoa merupakan perihal yang menjadi ciri utama pendidik yang berhasil yang pasti bisa dipetik buah dan hasilnya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. [Ghafir : 60]

Dalam memenuhi panggilan Allah tersebut, para nabi dan rasul selalu berdoa untuk kebaikan anak cucu mereka.

Bukanlah kemiskinan yang menjdikan mereka cemas dan risau. Sebab tidak ada kerisauan dan kemalangan yang lebih besar daripada orang yang melepas keimanan demi mengejar dunia yang fana. Melepas iman apapun sebabnya merupakan sebab kecelakaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu para nabi selalu mewanti-wanti kepada keturunan mereka agar senantiasa menjaga benteng iman yang merupakan sebab keberhasilan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim untuk keturunannya.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. [Al Baqarah : 128]

Lalu firmanNya dalam surat lain, mengisahkan doa Nabi Ibrahim yang lain.

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Ya tuhanku,jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlahaku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. [Ibrahim : 35]

Juga firman Allah.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku. [Ibrahim : 40]

Begitu juga Zakaria berdoa sebagaimana firman Allah.

قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَآءِ

Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a. [Ali Imran : 38]

Allah Ta'ala juga berfirman mengisahkan sifat-sifat ‘Ibadurrahman adalah berdoa untuk kebaikan istri dan keturunannya.

Firman Allah,

قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَى وَالِدَيذَ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. [Al Ahqaf : 15]

Firman Allah

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami , anugerhakanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami) dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. [Al Furqan : 74]

Wahai para pendidik, berdoalah kepada Allah untuk anak-anakmu terus menerus dan tumbuhkan perasaan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali datang dari Allah karena seluruh taufik hanya datang dari Allah sementara manusia hanya sekedar usaha dan ikhtiar. Marilah kita berdoa dengan penuh khusyu’ dan perasaan tunduk semoga Allah menutup kekurangan, memberi belas kasih kepada yang lemah di antara kita, dan memelihara anak cucu kita. Hendaklah kita membiasakan pola makan, pola minum dan dalam berpakaian yang bersih dan halal. Begitu juga hendaklah berdoa dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan mengembalikan kedzaliman kepada pemiliknya serta memilih waktu yang mustajab terutama pada saat sujud berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأكْثِرُوْا مِنَ الدُّعَاءِ

Saat yang paling dekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sedang sujud maka perbanyaklah berdoa. [2]

Dari Abu Umamah berkata, ” Pernah Rasulullah ditanya: Kapan doa sangat dikabulkan? Beliau bersabda, ”Pada waktu pertengahan malam dan setiap selesai shalat wajib”.

Wahai saudaraku, jangan lupa perdoa terutama ketika dalam keadaan bepergian berdasarkan hadits dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ, دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالَدِ عَلَي وَلَدِهِ.

Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua atas anaknya.

Begitu juga berdoa pada siang hari dan malam hari dari bulan ramadhan serta berdoa pada saat haji dan umrah. Maka berdoalah kepada Allah pada saat itu sementara dalam keadaan sangat yakin bahwa doa anda dikabulkan sehingga Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,”Yang menjadi perhatianku bukan terkabulnya doa akan tetapi perhatian utamaku adalah ilham untuk bisa berdoa sebab orang kalau sudah bisa berdoa maka pengkabulan doa akan bisa diraih”.

Demikian semoga bermanfaat.

(Diangkat dari kitab bertajuk “Kaifa Turabbi Waladan Salihan” karya Al Akh Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby semoga Allah menjaganya) Ummu Rasyidah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Riwayat Abu Dawud
[2]. HR Muslim no.482

PENDIDIK ISDEAL

PENDIDIK IDEAL

Oleh
Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby


Wahai para pendidik, bila kita ingin berhasil dalam mendidik anak maka hendaknya pertama kita mendidik diri kita sendiri dengan komitmen terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan pendidikan dan sunnah nabi. Karena Beliau teladan terbaik dan utama bagi orang tua dan pendidik serta seluruh kaum muslimin.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesunggunya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi kamu yang mengharap(rahmat) Allah dan RasulNya dan (kedatangan) hari kiamat. [Al Ahzab : 21]

PEMAAF DAN MURAH HATI.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 134]

Allah berfirman.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [Al A’raaf : 199]

Allah berfirman.

فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ

Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. [Al Hijr : 85]

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda kepada Abdul Qais.

إنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا الله: الْحِلْمُ وَاْلأنَاة.

Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah, Al Hilm (pemaaf) dan Anah (murah hati). [1]

Pemaaf dan murah hati merupakan sifat paling mulia yang harus dimiliki oleh setiap pendidik teladan karena sifat merupakan kebaikan di atas kebaikan. Dan kedua sifat itu sangat dicintai Ar Rahman. Oleh sebab itu seorang pendidik harus menjadi pemaaf dan murah hati apapun yang dilakukan oleh seorang anak. Maka hendaklah menjadi seorang pemaaf dan jangan memberi sanksi kepada anak dalam keadaan marah. Pergaulilah anakmu dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Terimalah apa adanya tidak menuntut yang paling ideal. Luruskan tingkah lakunya, perbaikilah dan didiklah dengan etika dan adab yang baik.

Pemaaf merupakan sifat yang mulia yang diberikan Allah kepada para rasul dan para nabi sebagaimana dalam firman-Nya.

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ

Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. [Huud : 75]

Dan pemaaf merupakan sifat yang paling mulia karena Allah mensifati diri-Nya dalam firman-Nya.

وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمُُ

Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. [Al Baqarah :263]

LEMAH LEMBUT DAN MENJAUHI DARI SIFAT KASAR DALAM BERMUAMALAH
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

Sesungguhnya Allah Maha lemah lembut yang sangat cinta kelembutan dan memberi kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada sifat kasar.

Dari Aisyah bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذاَ أرَادَ الله بأِهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

Jika Allah menghendaki suatu keluarga kebaikan maka Allah memasukkan kepada mereka sikap lemah lembut. [2]

Dari Ummul Mukminin Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَلَيْكُمْ بِالرِّفْقِ إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَلَا يَنْزِعُ عَنْ شَيْءٍ إلاَّ شَانَهُ

Bersikaplah lemah lembut, sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak.[3]

Dari Jarir bin Abdullah berkata aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang tidak diberi sifat kelembutan maka ia tidak memiliki kebaikan sama sekali.[4]

Dari Abu Hurairah berkata bahwa kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Isya’ dan ketika Beliau sujud, Hasan dan Husain melompat ke atas punggungnya. Ketika Beliau bangkit dari sujud Beliau mengambil keduanya lalu diletakkan dengan pelan-pelan, dan bila Beliau sujud keduanya kembali naik ke punggungnya. Dan ketika Beliau shalat keduanya dipisah tempat sebagian di letakkan pada suatu tempat dan yang lain pada tempat yang lain, lalu aku datang kepada Beliau,” Wahai Rasulullah, boleh tidak aku membawa keduanya kepada ibunya?” Beliau bersabda,” Jangan”. Tapi ketika kilat bersinar maka Beliau bersabda,” Bawalah keduanya untuk menemui ibunya”. Maka keduanya berjalan di tengah terangnya sinar hingga masuk rumah.[5]

BERHATI PENYAYANG
Sifat penyanyang harus dimiliki oleh setiap pendidik yang menginginkan keberhasilan dalam mendidik anak

Imam Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Ummar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menyanyangi orang yang tidak sayang kepada anaknya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidak akan masuk surga kecuali orang penyanyang. Kami berkata: Wahai Rasulullah setiap kami menjadi orang penyanyang, Beliau bersabda: Seorang penyanyang bukanlah orang yang menyanyangi temannnya tapi menyanyangi semua umat manusia”. [6]

Dari Abu Umamah bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama dua orang anak lalu Beliau memberinya tiga butir kurma, maka wanita tersebut memberikan satu butir kurma kepada masing-masing anak, kemudian salah seorang di antara anaknya menangis lalu ia membelah satu kurma menjadi dua lalu masing-masing anak diberi separuh kurma, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَالِدَاتٌ حَامِلَاتٌ رَحِيْمَاتٌ بِأوْلاَدِهِنَّ لَوْ لاَ مَا يَصْنَعْنَ بأزْوَاجِهِنَّ دَخَلَ مُصَلَّياَتِهِنَّ الْجَنْةَ

Orang tua wanita yang hamil lagi penyanyang terhadap anak-anaknya, jika bukan karena kesalahan yang mereka perbuat terhadap suami mereka maka ia akan masuk surga bersama tempat shalatnya.[7]

Dari Ubadah bin Shamith bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يجل كَبِيْرَناَ وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyanyangi yang kecil dan tidak mengenal hak orang alim.[8]

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيْرِنَا

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak mengenal kedudukan orang yang besar. [9]

Dari Anas bin Malik bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوْقِرْ كَبِيْرَنَا

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak menghormati orang yang besar. [10]

Dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِأهْلِ الْجَنَّةِ؟ كُلُّ ضَعِيْفٍ متضعف لَوْ أقْسَمَ عَلَى الله لَأبَرَّهُ ألاَ أُخْبِرُكُمْ بأهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جوظ مُسْتَكْبِرٍ.

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang penghuni surga? Setiap orang yang lemah lagi dianggap hina, bila ia bersumpah atas nama Allah maka Allah akan mengabulkannya. Maukah kalian aku kabarkan tentang penghuni neraka? Setiap orang yang congkak, dungu lagi sombong.[11]

KETAKWAAN
Allah berfirman.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. [Ali Imran : 102]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [At Taghaabun : 16]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang iada disangka-sangka. [Ath Thalaaq : 2-3]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yaang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [An Nisa’: 9]

Takwa merupakan kekayaan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap para pendidik untuk diwariskan kepada anak cucunya, diajarkan dan ditanamkan kepada mereka serta menjadi perhatian paling utama dan serius bagi seluruh orang tua. Hendaklah orang tua atau pendidik, jangan hanya bisa membuka rekening di berbagai bank, mengumpulkan beberapa bidang tanah dan membangun apartemen untuk diwariskan kepada anak cucunya, akan tetapi yang lebih mulia dari itu semua adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk memelihara anak-anak kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [At Tahrim : 6]

Ada beberapa perkakataan ulama berkenaan dengan tafsir ayat di atas. Ali Radhiyallahu 'anhu berkata,” Didiklah dan ajarilah anak-anak kalian”.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, ” Taatilah perintah Allah dan hindarkanlah diri kalian dari perbuatan maksiat serta perintahlah anak-anakmu untuk berdzikir kalian akan selamat dari neraka”.

Mujahid rahimahullah berkata, ”Bertakwalah kamu kepada Allah dan berwasiatlah kepada anakmu dan keluargamu agar bertakwa kepada Allah”.

Qatadah berkata,” Hendaklah engkau memerintahkan mereka berbuat ketaatan dan melarang dari perbuatan maksiat serta menegakkan agama. Hendaklah kamu menyuruh dan membantu mereka berbuat ketaatan dan engkau jauhkan mereka dari perbuatan maksiat”.

Dhahhak dan Muqatil berkata,”Setiap muslim wajib mendidik keluarga, kerabat, dan para pembantu serta pekerjanya agar melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”.[12]

Rasulullah telah memerintahkan kepada kita agar melindungi putera-puteri kita dengan takwa kepada Allah dan silaturrahmi dengan kerabat dan famili.

Dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اِتَّقُوْا الله وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ.

Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adil kepada sesama anak-anak kalian.[13]

Dari Ibnu Asakir dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata.

اِتَّقُوْا الله وَصِلُوْا أَرْحاَمَكُمْ.

Bertakwalah kalian kepada Allah dan sambunglah silaturrahmi kepada kerabat kalian. [14]

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Berbuatlah baik kepada orang tua kalian maka anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian, serta bersikaplah pemaaf maka isteri-isteri kalian akan menjadi pemaaf”.[15]

Barangsiapa yang tidak sayang terhadap dirinya maka sebagai orang hendaklah sayang kepada anak-anaknya, dengan berbuat baik kepada orang tua agar putera-puterinya diberi taufik Allah Subhanahu wa Ta'ala berbuat baik kepadanya sehingga mereka terjauh dari durhaka kepada kedua orang dan terhindar dari murka Allah Subhanahu wa Ta'ala.

LEMAH LEMBUT DALAM BERMUAMALAH DENGAN ANAK
Allah berfirman.

لاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَامَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَلاَتَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيَن

Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. [Al Hijr : 88]

Allah berfirman.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarhlah dengan mereka itu. [Ali Imran : 159]

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يُحْرَمُ عَلَى النَّارِ أوْ بِمَنْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ تُحْرَمُ عَلَى قَرِيْبٍ هِيْنٍ لَيِّنٍ سَهْل.

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang haram masuk neraka atau neraka diharamkan baginya? Setiap orang dekat, mudah, lemah lembut dan membuat semua urusan gampang.[16]

Dari Ummul Mukminin, Aisyah berkata,” Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh untuk memilih dua urusan pasti selalu memilih yang paling ringan di antara keduanya selagi tidak ada unsur dosa namun bila mengandung unsur dosa maka Beliau orang yang paling jauh darinya. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam balas dendam untuk kepentingan diri sendiri kecuali bila aturan Allah dilecehkan maka Beliau membelanya karena Allah.[17]

Lemah lembut dan mempermudah masalah bukan berarti berlebihan dalam memanjakan anak sehingga hal itu akan menjadi faktor paling berbahaya dalam menghancurkan akhlak, jati diri dan kepribadian anak. Kebanyakan para pemuda yang rusak dan nakal yang tidak memiliki tujuan dan prinsip hidup, berasal dari sikap manja dan tidak serius dalam mendidik anak. Maka sikap manja yang berlebihan akan berakibat fatal pada masa depan anak dan menyengsarakan keluarga bahkan menyusahkan semua anggota masyarakat sehingga akan hidup dalam kehancuran, kesesatan dan dekadensi moral serta berada dalam kehidupan tanpa pegangan dan prinsip serta tujuan yang jelas.

Syaikh Muhammad Khidir Husain berkata,” Kebanyakan pengendali dan pengelola rumah tangga kurang faham terhadap pentingnya tarbiyah sehingga bersikap teledor dengan menuruti segala kemauan anak dan membiarkan anak menikmati kepuasan hidup sesuka hatinya. Bahkan orang tua terkadang menyanjung tindakan itu di hadapan orang lain. Orang tua berlebihan memberi komentar positif sementara tanpa berhitung akibat yang ditimbulkan. Sangat buruk usaha orang tua dalam membuat tipuan pada anak seandainya para orang tua mengetahui akibat buruknya. Tindakan itu hanya sebuah usaha perangkap bagi anak yang menjauhkan dari etika bagus dan merusak kebahagian anak dunia dan akhirat”.

Seorang pendidik hendaknya menyeimbangkan antara sikap lemah lembut dan sikap tegas. Setiap pendidik dalam muamalah dan interaksi dengan anak harus memadukan secara seimbang dan serasi antara sikap lemah lembut dan tegas dehingga setiap tindakan penuh dengan hikmah.

MENJAUH DARI SIKAP MARAH
Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang yang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا, قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

Jangan engkau marah, Beliau mengulangi berkali-kali, Beliau bersabda:,”janganlah kamu marah”.

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah marah maka bagimu surga.

Dari Muadz bin Anas Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْفَذَهُ دَعَاهُ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رُؤَسَاءِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيَّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

Barangsiapa yang menahan dendam atau marah sementara ia mampu untuk melampiaskan maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat hingga disuruh memilih bidadari yang ia sukai.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ الشَّدِيْدَ بِالصَّرَعَةِ, إنَّمَا الشَّدِيْدُ مَنْ يَمِلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang pandai bertengkar akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan diri ketika marah.

Diriwayatkan bahwa Zainal Abidin Ali bin Husain memiliki budak yang memecahkan kendi yang terbuat dari keramik. Lalu pecahan kendi mengenai kaki Zainal Abidin hingga luka, maka anak itu sontak berkata,”Allah berfirman,” Orang-orang yang menahan dendam dan amarah”. Zainal Abidin berkata,” Aku telah berusaha menahan dendam dan amarahku”. Lalu anak itu berkata,”Allah berfirman,” Dan memaafkan manusia”. Lalu Beliau menjawab,” Aku telah memaafkan”. Ia berkata,” Allah berfirman,” Dan sangat mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maka Zainal Abidin berkata,” Sekarang juga kamu menjadi orang yang merdeka karena Allah”.

Betapa indahnya sikap pemaaf dan menahan marah, betapa eloknya buah keduanya sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang hakim ketika memutuskan masalah dalam keadaan marah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَقْضِيَنَّ حَاكِمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

Janganlah seorang hakim memutuskan hukum di antara dua orang sementara dalam keadaan marah.

Pernah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberi sanksi kepada orang dengan pukulan, namun ketika hukuman hendak ditegakkan maka Beliau berkata,” Batalkan hukuman itu”, lalu Beliau ditanya sebabnya, maka Beliau menjawab,”Aku merasa sedang marah dan aku khawatir memutuskan hukuman dalam keadaan sedang marah”.

Abu Hasan berkata,” Begitulah seharusnya sikap pendidik agar mampu menghasilkan anak didik yang bagus dan handal maka tidak boleh seorang pendidik memberi sanksi kepada anak hanya karena ingin melampiaskan dendam dan amarah dalam dada. Dan bila hal itu terjadi berarti anda telah menjatuhkan hukuman kepada putera-puteri kaum muslimin untuk memuaskan hati belaka dan demikian itu jelas tidak adil”.

Ibnu Qayyim berkata,”Sumber kerusakan moral berasal dari empat hal; kebodohan, kedzaliman, syahwat dan kemarahan. Sebab marah akan menimbulkan sikap sombong, dengki, hasud, permusuhan dan kehinaan”.

BERSIKAP ADIL DAN TIDAK PILIH KASIH
Adil dalam mendidik anak merupakan pilar utama pendidikan dalam islam yang tidak boleh tidak. Karena langit dan bumi tegak hanya di atas keadilan. Hendaknya orang tua bersikap adil dan tidak mengutamakan satu dengan yang lainnya di antara putera-puterinya baik dalam masalah materi seperti pemberian, hadiah atau dalam masalah non materi seperti kasih sayang, perhatian dan kecintaan. Perasaan cinta secara adil antara anak akan menciptakan kehidupan saling tolong menolong serta perhatian kepada orang lain, sehingga anak akan tumbuh besar jauh dari sikap egoisme, ananiyah dan senang menyendiri serta merasa paling hebat di antara yang lain. Bahkan anak tubuh besar membaa kebiasaan gemar mengutamakan orang lain dan tidak suka menciptakan pertengkaran di antara teman-teman dan saudaranya hanya karena masalah sepele. Maka bersikap adil dan tidak pilih kasih merupakan akhlak mulia yang diperlukan dalam segala urusan.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berada di depan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu puteranya datang kepadanya, kemudian ia menciumnya dan mendudukkan di samping kanannya, kemudian datang puterinya lalu ia dudukkan di hadapannya maka Rasulullah Shallallahu 'alaihin wa sallam bersabda,”Kenapa engkau tidak menyamakan antara keduanya?

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa bapaknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama anaknya lalu ia berkata,” Saya memberi anakku ini suatu pemberian”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Apakah engkau memberikan kepada setiap anakmu seperti itu? Ia menjawab:,”Tidak”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Minta kembali pemberian itu dan bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil antara anakmu”.

Demi memenuhi panggilan di atas maka para pendidik harus bersikap adil di antara anak-anak dan tidak bersikap diskriminasi sesama anak baik dalam masalah sepele atau besar, karena sikap demikian akan mencipkan kebencian dalam dada dan menumbuhkan benih kedengkian dan kekecewaan serta menyebabkan sifat pengecut, takut, tidak percaya diri, putus asa dalam hidup dan suka menodai hak orang serta membangkang. Bahkan akan menimbulkan berbagai macam penyakit kejiwaan, perasaan rendah diri dan dekadendi moral dan keganjilan prilaku dalam hidup.

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu telah menyuruh kita semua agar bersikap adil dan mengharamkan sikap dzalim atas diri-Nya serta dijadikan hal itu haram di antara kita. Begitu juga Rasulullah mengajak kepada kita semua agar bersikap adil dan meninggalkan kedzaliman sebab kedzaliman akan mendatangkan kegelapan.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ.

Setiap persendian dari tubuh manusia ada sodaqohnya. Dalam setiap hari selagi matahari terbit engkau bernuat adil diantara dua orang hal itu merepakan sedekah.

Dari Ubadah bin Shamith Radhiyallahu 'anhu berkata,” Kami berbaiat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tetap setia dalam kesulitan dan kemudahan, dalam keadaan semangat dan kendor serta setia kepada pemimpin dalam keadaan dzalim kepada kita dan tidak mengambil kekuasaan orang lain dengan paksa serta hendaknya kami berbicara kebenaran apa adanya tidak takut terhadap celaan orang yang mencela”.

Dalam riwayat Nasa’i “Hendaknya kami bersikap adil di di mana saja kita berada.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَ الله عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَلَى يَمِيْنِ الرَّحْمَنْ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ أَهْلَهُمْ وَمَا وَلَّوْا.

Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah akan berada di atas mimbar dari cahaya yang berasal dari sisi kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan, orang-orang yang bersikap adil dalam memutuskan hukum dan kepada keluarganya.

Wahai pendidik, ketahuilah boleh jadi ada anak baik sementara tumbuh besar dari tengah-tengah kesesatan dan penyelewengan akhlak. Bahkan ada anak yang baik tumbuh dari keluarga yang tidak mengenal agama atau keluarga yang beragama sesat. Dan terkadang ada orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak ternyata mengalami kegagalan. Maka ketahuilah hidayah dan taufik hanya datang dari Allah sehingga tugas kita hanya berusaha dan ikhtiar dengan disertai sikap tawakkal kepada Allah karena Dialah yang menentukan semua hasil usaha.

Wahai saudaraku, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memberi contoh dan teladan baik bagi anak-anakmu karena tingkah laku merupakan cerminan hati maka hendaklah anak-anakmu selalu melihat kebaikan dari semua urusanmu sekecil apapun sebab mendidik para pendidik lebih utama karena itu sangat menentukan hasil usaha karena orang tidak mempunyai sesuatu tidak akan bisa memberi maka agar tidak tidak dicela oleh zaman, tempat dan kesulitan serta musuh maka hendaknya kita harus mendidik diri secara baik.

Seorang penyair berkata.

نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا * وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبُ سِوَاناَ
وَنَهْجُوْ ذَا الزَّمَانِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ * وَلَوْ نَطَقَ الزَّمَانُ لَنَا هَجَانَا

Kita sering mencela zaman dan keadaan padahal kesalahan ada pada kita sementara keadaan tidak mungkin menyimpan kesalahan kalau kita tidak melakukan kesalahan.

Kita mencaci maki keadaan tanpa suatu kesalahan padahal seandainnya keadaan bisa berbicara maka ia akan balik mencela kita.

Ketika umat Islam meninggalkan manhaj Islam dan sunnah Nabi maka mereka berada dalam kegelapan hidup, tidak sensitif terhadap kemungkaran, mengekor kepada budaya dan tradisi barat dan timur baik model pakaian dan model rambut maka di antara mereka ada yang memotong rambutnya mirip rambut anjing, armbut kucing dan berpakaian menyerupai perempuan serta kebiasaan menari, berjoget, menyanyi dan pamer keindahan tubuh dan aurat. Umat kita kehilangan jati diri dan kepribadian ditelan oleh sikap mengekor dan meniru orang-orang barat dan kafir sementara secara tak sadar kaum muslimin telah dijadikan musuh sebagai sasaran proyek penyesatan dan westernisasi karena prinsip pemikiran Yahudi adalah merusak generasi umat lain agar negara Yahudi raya berdiri tegak.

Wahai saudaraku, anjurkan kepada keluargamu agar tetap berpegang teguh dengan agama Allah dalam setiap keadaan dan ciptakan keluarga rabbani yang terdidik berdasarkan cahaya ilahi dan sunnah nabi Muhammad. Bermanhaj Islam, berdiri atas kalimat La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah, bermoto kami menyembah kepada Allah dan hanya meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian generasi bangsa akan baik dan agama Islam akan kokoh serta umat Islam akan jaya menjadi pengendali umat lain di atas muka bumi.

(Diangkat dari kitab bertajuk “Kaifa Turabbi Waladan Salihan” karya Al Akh Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby semoga Allah menjaganya) Ummu Rasyidah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Riwayat muslim 17,18 dan dikeluarkan Abu Dawud 5225,
[2]. Riwayat Ahmad 6/71, 104) da tarikh Bukhari 1/412, Sya’bul Iman Oleh Baihaqi (6560, 7766) dari Aisyah
[3]. HR. Muslim 2594
[4]. HR. Muslim 2592
[5]. Riwayat Ahmad 2/513dan Thabrani di dalam Al Kabair2659, hakim di dalam Mustadrak 3/183 sanad shahih, Dzahabi berkata Shahih lihat Majmu’ Zawaid 9/181.
[6]. Riwayat Abu Ya’la 4258, Ishaq 401, Dha’if jami’1927 dan Adhaifah 3194.
[7]. Riwayat Ibnu Majah 2013 dan Hakim di dalam Mustadrak 3/173 Hakim berkata Sanad shahih atas syaradari Syaikhani dan ia tidak mengeluarkan
[8]. Hasan Riwayat Imam Ahmad (5/323) Ath Thabrani 8/167,232) Shahih Jami’2/5444
[9]. Shahih. Riwayat Abu Dawud 4943, Tirmidzi 1921, dikeluarkan Ahmad bin Hanbal 2/75, Shahih Jami’ 2/5444
[10]. Shahih :Riwayat Tirmidzi Shahih Jami’ 2/5445 Ash Shahihah 2190
[11]. HR. Bukhari 4918, 2071,2257 dan Muslim 2190, 2803
[12]. Tafsir Ibnu Katsir 4/502
[13]. HR. Bukhari 5/155, 157 dan Muslim 1623
[14]. Hasan: Ibnu Asakir (57/317), Di dalam silsilah Hadits Shahih 769, shahih Jami’ shaghir 107
[15]. Riwayat Thabrani di dalam Al Ausath 1002 dan Hakim (4/170-171) dikeluarkan abu Na’im di dalam Akhbara Asbahani 2/48 di dalam Adh Dha’ifah 5/62-64.
[16]. Riwayat Tirmidzi 2488, dia berkata Hadits Hasan, di dalam Ash Shahihah 938, Shahih Jami’ Shaghir 1/2609, Nahwa 2490.
[17]. Muttafaqun’alaih:Bukhari 6/419, 420 dan Muslim 2327.