3/14/12

USUL BID'AH BAB 6 ( DALIL-DALIL BID'AH ADALAH SESAT )


BAB KE ENAM
DALIL-DALIL AL QUR'AN & HADIST SERTA ATSYAR YANG MENJELASKAN BETAPA SESAT & TERCELANYA BID'AH DALAM AGAMA.
Larangan dari melakukan bid'ah adalah larangan dari pembuat syari'at karana larangan tersebut disertai dengan berbagai-bagai ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya. Diantara yang paling tegas ialah larangan akan berlaku kesesatan dan pelanggaran batas hukum (hudud) yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam syari'at yang akhirnya membawa kepada kefasikan dan mengkufuri agama serta ayat-ayat Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh allah & RasulNya sallallahu 'alaihi wa sallam diantaranya
A. DALIL DARI AL QUR'AN:
Dalil dari al qur'an:
{ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ }
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ( QS Al-Imran : 31) dalam ayat ini di perintahkan bagi kita untuk mengikuti ( itiba') Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.
وقوله -جل وعلا-: { وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ }
“Dan ikutilah Dia ( muhammad ) supaya kamu mendapat petunjuk".( QS Al-A'raf : 158 )
وقوله سبحانه: { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” ( QS al ahzab:21 )
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ }
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. QS Al-An'am (6) : 153
Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky(1), menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
B. DALIL DARI AS SUNNAH
اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا ، فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِى تَمَسَّكُوابِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup (selepas ini) di antara kamu sekalian selepasku akan melihat perselisihan yang banyak, maka kembalilah (berpeganglah) kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin selepas peninggalanku, berpegang teguhlah dengannya, maka gigitlah dengan gigi geraham, kemudian berhati-hatilah dengan hal yang baru (dicipta dalam agama) sesungguhnya setiap ciptaan yang baru itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat". (Hadis Riwayat Ahmad (1653). At-Tirmizi (2600). Musnad Abu Daud (3991). As-Sunnan Ibn Majah (42))
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap yang diada-adakan itu bid'ah, setiap yang bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu adalah ke dalam neraka". (Hadis Riwayat Muslim)
فِى خُطْبَةِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَمَّا بَـعْدُ: فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْـثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدَْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ ، وَشَرَّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Dalam khutbah Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baginda bersabda: Kemudian dari itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan sekeji-keji perkara (perbuatan) ialah mengada-adakan yang baru dan setiap bid'ah (yang baru itu) adalah sesat dan setiap yang sesat ke neraka". (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah)

__________________________________________
(1) Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya


Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat). Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya استثناءistitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.
عَنْ حُذَيْـفَةَ قَالَ: لاَيـقْـبَـلُ اللهُ لِصَاحِبِ الْبِدْعَةِ صَلاَةً وَلاَصَوْمًا وَلاَ صَدَقَـةً وَلاَ حَاجًا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَصَـرَفًا وَلاَعَدْلاً ، يَخْـرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَا يَخْرُجُ الشَّـعْرَةَ مِنَ الْعَجِيْنِ. رواه ابن ماجه
"Dari Huzaifah radhiallahu 'anhu baginda berkata: Allah tidak akan menerima dari pembuat bid'ah puasa, sembahyang, haji, umrah, jihad, kebaikan dan keadilan (yang dikerjakannya). Dia akan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya rambut dari tepung". (Hadis Riwayat Ibn Majah. Lihat: فتح البارى jld. 17. hlm. 10. Hadis ini lemah dan sebahagian ulama hadis mendapati hadis ini adalah hadis mungkar)
اَبَى اللهُ اَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِب بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah hingga ditinggalkan bid'ah tersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah (49) Muqaddimah)
مَا اَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً اِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ فَتَمَسَّكُ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu-satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah) satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik dari melakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad (16356))
مَنْ اَحْدَثَ فِىاَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mencipta (mengada-adakan) yang baru dalam urusan (agama) Kami ini, maka itu tertolak". (Hadis Riwayat Ahmad (24840). Bukhari (2499) as-Soleh. Muslim (3242) al-Aqdhiah. Abu Daud (3990) as-Sunnan. Ibn Majah (14) Muqaddimah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi: "Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul Bari)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : "Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melakukan (mengerjakan) satu amal yang bukan dari perintah Kami, maka (amalan itu) tertolak". (Maksud tertolak ialah bermakna “bid'ah” بالبدعة المسمى هو "Ia dinamakan bid'ah". Lihat: علم اصول البدع hlm. 29. Ali Hasan)
Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama". (Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak". Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَىْ غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan yang bukan dari perintah kami, maka ia tertolak". (Hadis Riwayat Ibn Majah)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ متفق عليه
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Maka barangsiapa yang menyimpang dari Sunnahku, maka bukanlah dia dari golonganku". Muttafaq 'Alaih.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَّرَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فَقَدْ اَعَانَ عَلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ. حديث مرفوع
"Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: siapa yang memuliakan aktivis/pelaku bid'ah, maka dia telah menolong untuk menghancurkan Islam" (Hadis Riwayat Ahmad. Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 14. Menurut Syeikh Ali Hasan: Hadis ini adalah hadist hasan isnadnya. Lihat: المنتقى النفس hlm. 37. Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اهل السنة (1/139)) Hadis Marfu'. (Ibn Asakir dalam تاريخ دمشق: ترجمة "العباس بن يوسف الشكلى. Hlm. 286)
اِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَثَمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى
"Sesungguhnya pada setiap amal terdapat kegiatan, dan pada amal ada fitrahnya. Barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan bid'ah maka dia telah sesat dan barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan sunnah maka dia telah mendapat petunjuk". (Hadis Riwayat Ahmad (22376), Musnad. Hadis sahih. Lihat: الاتمام (23521). Lihat: اتباع السنن (8))
Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.

C. DARI ATSAR PARA SALAFUS SHALEH
Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara berjama'ah yang muncul pada zamannya:
عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Dari ‘Amr bin Salamah(1) katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum sholat subuh. Apabila dia keluar, kami berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman (2) telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak setuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan hal itu baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu kaum, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu sholat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu (kerikil ). Apabila lelaki itu berkata :
_______________________________
(1)Beliau adalah seorang tabi`in, anak murid ‘Abd Allah bin Masud. Meninggal dunia pada 85H.
(2)Gelar untuk `Abd Allah bin Mas`ud.


Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kamu katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak berkata apa-apa kepada mereka karana menanti pendapatdan perintahmu”.
Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka menghitung dosa mereka dan engkau jaminkan bahwa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. hingga dia tiba kepada salah satu dari kaum tersebut. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang sedang kamu lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih banyak (hidup) , baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.(1) Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya(2) , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa banyak orang yang bertujuan baik, tetapi tidak mendapatkannya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka(3) Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”(4)
Lihatlah bagaimana ‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh membantah perbuatan ibadah kumpulan ini walaupun mereka pada asalnya memiliki niat dan pandangan yang baik. Pada dzahirnya tiada yang buruk pada perbuatan mereka. Namun oleh kerana ia merupakan ibadah yang tidak ada contoh daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka ia ditolak. Bahkan ‘Abd Allah bin Mas‘ud memberi amaran betapa perbuatan bid‘ah yang kecil akan mengheret seseorang kepada bid‘ah yang lebih besar. ‘Abd Allah bin Mas‘ud menggambarkan mereka akan menyertai Khawarij yang sesat.
___________________________________________________________
(1)Maksudnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam baru sahaja wafat, tetapi mereka telah melakukan bid`ah.
(2) Maksudnya Allah.
(3)Ini salah satu sifat Khawarij yang disebut dalam hadith-hadith.
(4) Riwayat al-Darimi di dalam Musnadnya dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.

Justeru itu ‘Abd Allah bin Mas‘ud juga pernah menyebutkan:(1)
اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة.
Sederhana dalam sesuatu sunnah lebih baik daripada bersungguh sungguh dalam sesuatu bid‘ah .
إن البدعة الصغيرة بريد إلى البدعة الكبيرة.
Sesungguhnya bid‘ah yang kecil adalah pembawa kepada bid‘ah yang besar.
Seorang lelaki telah datang kepada al-Imam Malik rahimahullah (179H)(2) dan berkata:(3)
“Wahai Abu ‘Abd Allah (gelar al-Imam Malik) dari mana aku patut berihram?” Jawab al-Imam Malik: “Dari Zu Hulaifah (ذو حليفة) di mana tempat yang Rasulullah berihram.” Kata lelaki itu: “Aku ingin berihram dari Masjid Nabi (medinah).” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu.” Kata lelaki itu lagi: “Aku ingin berihram dari kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu, aku takut fitnah akanmenimpa dirimu.” Tanya lelaki itu: “Apa fitnahnya? Ia hanya jarak yang aku tambah.” Jawab al-Imam Malik:
وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصّر عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإني سمعت الله يقول: فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Apakah lagi fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahwa engkau telah mendahului satu kelebihan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menguranginya. Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman: (maksudnya) “Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]
Perhatikan bahwa sekalipun lelaki tersebut ingin berihram dari tempat yang begitu baik yaitu Masjid Nabi atau kubur baginda shallallahu 'alaihi wasallam, al-Imam Malik rahimahullah membantahnya disebabkan ia adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau menyatakan ini adalah fitnah karena seakan-akan lelaki itu menganggap dia dapat melakukan ibadah yang lebih baik daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
_________________________________________
(1)Lihat: Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, jld. 5, m.s. 11.
(2) Beliau ialah imam Mazhab Maliki, pembesar Atba’ al-Tabi‘in. Guru al-Imam al-Syafi'i. Tokoh fekah dan hadith yang tiada bandingnya. Karya beliau yang agung ialah kitab al-Muwattha’. Berkata al-Imam al-Sayuti: “Beliau guru para imam, Imam Dar al-Hijrah (Madinah), mengambil hadith darinya al-Syafi‘i dan banyak lagi. Berkata al-Syafi’i: ‘Apabila datangnya athar, maka Malik adalah bintang’.” (al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 96)
(3) al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 102
Imam Abu Syamah al-Muqaddisi berkata:
وَقَدْ حَذَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَصْحَابهُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ اَهْلَ زَمَانِهِمْ الْبِدَعِ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُوْرِ ، وَاَمَرُوْهُمْ بِالاتِّبَاعِ الَّذِيْ فِيْهِ النَّجَاةُ مِنْ كُلِّ مَحْذُوْرٍ
"Nabi Sallallahu 'alaihi wa-sallam telah memberi peringatan kepada sekalian para sahabatnya, dan orang-orang selepas zaman mereka dari melakukan bid'ah dan ciptaan-ciptaan yang baru (dalam agama). Mereka sekalian diperintahkan agar ittiba' karena dengannya akan mendapat kejayaan (dan terselamat) dari setiap yang telah diperingatkan (oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam)". (Lihat: الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 11)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلاِسْتَقَامَةِ اِتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ
"Dari Ibn Abbas beliau berkata: Hendaklah kamu takut (takwa) kepada Allah dan sentiasa istiqamah (sentiasa dalam ketaatan), hendaklah kamu mengikut (al-Quran dan as Sunnah) dan janganlah berbuat bid'ah".
قَالَ عُمَربْن الْخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَاِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةٌ
"Setiap bid'ah itu sesat, walaupun (semua) manusia telah berpendapat & melihat bid'ah (yang mereka lakukan itu) hasanah (baik)". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (162). Ibn Battah (205). Baihaqi dalam المدخل الى السنن (191) dan Ibn Nasr dalam السنة (70) sanadnya sahih)
قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلاِقْتِصَادُ فِى السُّنَّةِ اَحْسَنُ مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فِى الْبِدْعَةِ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam mengerjakan bid'ah". (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة (114-115). As-Sunnah, hlm. 27-28 Ibn Nasr. Al-Ibanah (1/230) Ibn Battah)
Di riwayat yang lain pula:
وَاِنَّ اِقْتِصَادًا فِى سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِجْتِهَادٍ فِى خِلاَفِ سَبِيْلِ سُنَّةٍ فَانْظُرُوْا اَنْ يَكُوْنَ عَمَلُكُمْ اِنْ كَانَ اِجْتِهَادًا اَوْ اِقْتِصَادًا اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ عَلَى مِنْهَاجِ اْلاَنْبِيَاءِ وَسُـنَّتِهِمْ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengikuti jalan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam melakukan perkara yang bertentangan dengan jalan sunnah. Lihatlah apa yang akan kamu lakukan, jika ia termasuk yang bersungguh-sungguh atau yang biasa hendaklah mengikut panduan manhaj para nabi dan sunnah mereka sallallahu 'alaihi wa sallam". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (11). Ibn Mubarak dalam Az-Zuhud. Jld. 2. hlm. 12. dan Abu Na'im dalam Al-Hilyah. Jld. 1. Hlm. 252)
Al-Hafiz Fudhail bin 'Iyad rahimahullah menyatakan:
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فِى سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فِى بِدْعَةٍ
"Amal yang sedikit (tetapi) dalam perkara sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak (tetapi dalam perkara yang) bid'ah." (Lihat: الابانة عن شريعة الدينية Jld. 1. hlm. 395. (249))
Imam Malik rahimallahu ‘anhu seorang imam Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh amat tegas terhadap bid'ah. Beliau menganggap aktivis bid'ah sebagai orang yang mengkhianati kesempurnaan risalah (al-Quran dan al-Hadist) yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam kepada ummahnya. Beliau pernah mengeluarkan ucapannya yang tegas terhadap pembuat bid'ah:
مَنِ ابْتَدَعَ فِى اْلاِسْلاَمِ بِدْعَةٌ وَيَرَاهَا حَسَنَةٌ فَقَدْ زَعَمَ اَنَّ مُحَمَّدٌ قَدْ خَانَ الرِّسَالَةَِلاَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: "اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَاكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيْنًا" فَمَالَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Siapa yang melakukan bid'ah di dalam Islam kemudian disangkanya baik, maka dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati al-Risalah karena telah jelas Allah berfirman: (Hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu dan Aku cukupkan nikmat kamu dan Aku hanya meridai Islam sebagai agamamu). Apa yang tidak dapat dianggap sebagai agama pada masa itu (masa Nabi), maka pada masa ini ia juga tidak boleh dianggap sebagai agama." (Hadist Riwayat Malik)
قَالَ فَـيْصَلُ بْـنُ عِـيَاضٍ رَحِمَ هُ اللهُ: مَنْ اَحَبَّ صَاحِبَ بِـدْعَةٍ اَحْـبَـطَ اللهُ عَمَلَهُ وَاخْرَجَ نُـوْرَ اْلاِسْلاَمِ مِنْ قَلْبِهِ
"Berkata Faisal bin 'Eyadz: Siapa yang menyukai pembuat bid'ah, Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan akan dicabut cahaya Islam dari hatinya". (Lihat: تلبيس ابليس Ibn Qaiyim, hlm 84. Dan lihat: شرح السنة hlm. 138. Dikeluarkan juga oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول الاعتقاد اهل السنة. Jld. 1. Hlm. 139)
وَقَالَ: مَنْ جَلَسَ اِلَى صَاحِبِ بِدْعَةٍ اَحْبَطَ الله عَمَلَهُ وَاَخْرَجَ نُوْرَ اْلاِيْمَان - اَوْ قَالَ الاِسْلاَمِ - مِنْ قَلْبِهِ
"Beliau juga pernah berkata: siapa yang duduk di majlis orang bid'ah Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan mengeluarkan nur (cahaya) iman - atau ia berkata - keluar nur Islam dari hatinya." (Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اعتقاد اهل السنة (1/132). Dan Ali bin al-J'ad. dalam "Musnad" (1885))
اَنَّ صَاحِبَ الْبِدْعَةِ يَزْدَادُ مِنَ اللهِ بُعْدًا كُلَّمَا بَالَغَ فِى الطَّاعَةِ والْعِبَادَةِ
"Pembuat bid'ah akan bertambah-tambah jauh dari Allah sekalipun bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan kuat ibadahnya". (Lihat: Fathul al-Qadir, jld. 1, hlm. 10)
اِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بَدْعَتَهُ
"Sesungguhnya Allah menghijab (tidak menerima) taubat setiap pembuat bid'ah hingga ia meninggalkan bid'ahnya". (Hadis Riwayat at-Thabrani dengan sanad yang sahih. Dan dihasankan oleh al-Munziri. Lihat: مدارج السالكين (1/84) Ibn Qaiyim)
Imam Ibn Rajab rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh menyebut keburukan ahlul bid'ah (مبتدع) dalam usaha menyadarkan ummah agar menjauhi mereka? Beliau menjawab:
"Adapun Ahli Bid'ah itu sesat begitu juga orang-orang yang beserta dengannya yang seakan-akan ulama. Maka boleh menjelaskan kejahilan, kecacatan atau kejahatan mereka dalam rangka memperingatkan ummah agar tidak mengikuti mereka". (Lihat: شرح السنة , al-Barbahari, hlm. 138. Tahqiq Abu Yasir ar-Rodadi)
Penjelasan Imam Ibn Rejab di atas menunjukkan bahwa menyebut dan membongkar perbuatan bid'ah yang diseru dan dilakukan oleh para penyeru bid'ah tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Malah wajib dijelaskan kepada khalayak umum jika tujuan dan niat seseorang yang bertindak sedemikian demi untuk menjauhkan atau menyelamatkan ummah agar tidak terlibat dan tidak terpengaruh dengan perbuatan dan hasutan ahli bid'ah.
semua nash-nash di atas mengharamkan umat Islam dari melakukan perbuatan bid'ah. Selain amalan yang berbentuk bid'ah itu ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala karena ia menyesatkan, ternyata bid'ah ini juga amat ditakuti oleh orang-orang beriman yang berilmu. Ini disebabkan setiap amalan bid'ah terutama yang melibatkan akidah, pasti akan menyebabkan pembuatnya menjadi sesat dan di akhirat kelak akan menjadi golongan yang merugi karana akan dilemparkan ke neraka. Malah seseorang itu akan dikekalkan di dalam neraka jika semasa hidupnya ia terlibat dalam perbuatan bid'ah di segi akidah yang menyebabkan kesyirikan.
Setiap orang yang beriman sepatutnya memperhatikan dengan akal jernih terhadap ancaman dari hadist-hadist di atas sehingga dapat memberi kesan menakutkan yang mendalam di hati sanubari atau perasaan mereka.
Para sahabat dan jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as Soleh terlalu berjaga-jaga dari terlibat dengan segala perbuatan yang berbentuk atau berunsur bid'ah. Ketegasan mereka dalam perkara ini telah diuraikan melalui kata-kata mereka tersebut.
Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah
192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al Asy’ari.” Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini. Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya siapa laki-laki tadi?”Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu) Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)
Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.
Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi.

USUL BID'AH BAB 5 ( IBADAH ADALAH TAUQIFIYYAH)


BAB KELIMA
IBADAH ADALAH TAUQIFIYYAH
A. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.
Tauqifiyyah maksudnya adalah
لا يثبت و لا يعمل إلا بدليل من القرآن و السنة
(Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) (Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334 berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, mengatakan : “Bahwa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran). “(Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258)
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
الأصل في العبادة الممنع والمحرم أم الأصل في العبادة الإتباع
yang artinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah yang memalingkannya. Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan terjaga dari kontaminan-kontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan. Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi(1)
B. Pembagian Amalan & contoh diantara bid'ah :
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .

• Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah sebagimana disebutkan diatas yang ada dalam pelaksanaannya :
"الاصل في العبادات الحظرالا بنص
Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin
(hukum asal dalam semua ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهزا وباطنا
artinya : “Suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.
____________________________________
(1) Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73).




Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (QS Al-Mulk (67) : 2 ) Beliau menerangkan bahwa أَحْسَنُ عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah أخلصه وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)(1)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ubudiyah hal. 127 menjelaskan tentang dua pondasi dasar ( syarat mutlaq pent) dalam ibadah, yakni :
1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar(2) maupun syirik akbar(3). pent. )
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah ( dan ini makna Mutaba’ah li Rasulillah pent.)
Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, (dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i pent.) “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
________________________________________________
(1).sebagiaman Berkata Al fudail bin 'iyadh menafsiri ayat ini أَحْسَنُ عَمَلًا maknanya: اخلصه و أصوابه yang paling ikhlash dan yang paling benar kemudian beliau ditanya: apa makna yang paling iklash dan yang paling benar : beliau menjawab :
ان العمل اذا كان خالصا و لم يكن صوابا لم يقبل و اذا كان صوابا و لم يكم خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا صوابا و الخالص ان يكون لله و الصواب ان يكون على السنة
Sesungguhnya suatu amalan jika ikhlas namun tidak benar maka amalan tersebut tidak diterima oleh Allah, begitu juga suatu amalan itu benar namun tidak ikhlash maka juga tidak akan diterima hingga amalan tersebut ikhlash dan benar, sedangkan suatu amalan itu disebut ikhlash jika hanya untuk Allah semata, dan di kategorikan benar jika sesui dengan tuntunan sunnah Rasulullah –salallahu 'alaihi wasalam- . (lihat madarijus salikin مدارج السالكين (2/91-92)
(2).Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain.
(3).Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Berapa ulama membagi ibadah menjadi dua jenis , yakni :
1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci.
Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.
Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, افشوا السلام بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.

Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.bahkan dalam sebuah hadist dikatakan
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - رأى رجلا واقفا في الشمس فسأل عنه فقيل: هذا أبو إسرائيل. نذر أن يقوم في الشمس، ولا يقعد ولا يستظل، وأن يصوم. فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - " مروه أن يقعد ويستظل، وأن يتم صومه " فأمره بالوفاء بنذر العبادة المشروعة، وهو الصوم، ونهاه عن الوفاء بنذر العبادة غير المشروعة، وهي الوقوف وعدم الاستظلال، ولم يأمره بالكفارة.
bahwasanya Rasulullah salallahu 'alaihi wasalm melihat seorang laki-laki berdiam diri dengan berdiri dibawah terik matahari, maka Rasulullah bertanya tentangnya, maka dikatakan kepada belaiu: dia itu adalah Abu Israil, dia bernadhar akan untuk berdiam diri dibawah terik matahari, tidak duduk dan tidak berteduh dan sambil berpuasa, maka Rasulullah berkata: perintahkan kepadanya untuk duduk dan berteduh (membatalkan nadharnya) dan boleh melanjutkan puasanya, dan Rasulullah melarang dari melaksanakan nadhar ibadah yang tidak ada perintah dari syariat, yaitu berdiri dan tidak berteduh, dan rasulullah tidak memrintahkan untuk mengantinya dengan kafarah. (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di kuburan wali atau yang lainnya. & - Pelaksanaan haji di luar bulan haji.
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.
2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
Beribadah di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang, Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar. Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } (الشورى آية : 21)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci .
4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah

• Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
الا صل في المعاملات الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun". Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.
Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (1) menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
______________________________________
(1). Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
إن البدعة أحب إلى ألشيطان من للمعصية
“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”(1). Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتكم
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”(2)



_________________________________________________________________________
(1). Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.
(2). Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20.

USUL BID'AH BAB 4( Latar Belakang Munculnya Bid'ah)


BAB KE EMPAT
LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA BID'AH(1)

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata :
خط رسول الله _ صلى الله عليه و سلم - خطا بيده ثم قال : هذا سبيل الله مستقيما ثم خط خطوطا عن يمينه ذالك الخط و عن شماله ثم قال : و هذه سبل ليس منها سبيل الا و عليه شيطان يدعو اليه ثم قرا : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut" kemudian beliau membaca ayat : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),( HR imam ahmad, nasai , ad dharimi & ibnu abi hatim & hakim belaiu menshahehkannya) .
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir.

_____________________________________________
(1)Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65,

Perinciannya sebagai berikut.

1. Bodoh Terhadap Hukum-hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :
فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].

Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :
عن عروة، ، عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال:سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا، فسئلوا، فأفتوا بغير علم، فضلوا وأضلوا).
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".( HR bukhari bab 34 ,: bagimana di cabutnya ilmu agama)
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
2. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qashshash : 50].

Dan Allah Ta'ala berfirman.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.

3. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta'ala berfirman.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menjawab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170]
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
4. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"الله أكبر إنها السنن، قلتم والذي نفسي بيده كما قالت بنو أسرائيل لموسى اجعل لنا إلها كما لهم ءالهة، قال إنكم قوم تجهلون لتركبن سنن من كان قبلهم" رواه الترمذي وصححه
"Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]Lalu beliau bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".(HR. Turmudzi, dan dinyatakan shoheh olehnya)
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.

USUL BID'AH BAB 3 ( Pembagian Bid'ah )



BAB KE TIGA :
PEMBAGIAN BID'AH


A.Macam-macam Bid'ah
Bid'ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam :
Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
Bid'ah fil ibadah :Bid'ah dalam ibadah seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
A. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
B. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
C. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
D. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.(1).
Pembagian bid'ah dari segi pengambilan dalil ada dua :
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan diatas . Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua(2), yakni :
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi(3), Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan(4), Demonstrasi(5), dan lain-lain.



______________________________________
(1)Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo.
(2)‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148
(3)Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’ baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya.
(4). Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.
(5).Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain sebagainya.


2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i(1), membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at(2), dan lain-lain.
Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya (memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan beberapa kerusakan sebagai berikut:
1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkannya.
4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
_________________________________________
(1). Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam. Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi, memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi.
(2). Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah