2/10/12

KAIDAH MEMAHAMI BID'AH ( 2)


BAB KEDUA
ADAKAH BID'AH HASANAH
Sebagian orang yang mengatakan adanya bid'ah hasanah mereka berdalil dengan ucapaan umar " نعمة بدعة هذة " ini adalah sebaik-baiknya bid'ah " tatkala beliau mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih secara berjama'ah dan sabda rasulullah SAW , tentang sunnah hasanah ( sunnah yang baik ) & sunnah sayi'ah ( sunnah yang buruk ) , untuk memgetahu benar tidaknya pendalilan tersebut mari kita kupas dua hadist tersebut diatas.
Pembahasan ini ana bagi menjadi tiga sub judul : pembahasan pertama : salah faham tentang ucapan umar RA , pembahasan kedua : kenapa pada masa khalifah abu bakar hal itu tidak dilakukan. pembahasan ketiga : salah paham terhadap hadist sunnah hasanah & sunnah sayyi'ah
Pembahasan pertama Salah Faham Terhadap Ucapan ‘Umar bin Khattab
Sebagian orang mencoba berdalil dalam membolehkan bid‘ah dengan menyatakan bahwa Saiyyidina ‘Umar radhiallahu 'anh ikut andil dalam membuat bid‘ah. Mereka berkata, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada Sholat Tarawih berjamaah lalu ‘Umar melakukannya dan menyatakannya sebagai: “Sebaik-baik bid‘ah”
نعمت البدعة هذه
Yang mereka maksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dan al-Imam Malik dalam al-Muwattha’:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ. قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنِ الَّتِي يَقُومُونَ. يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.
Dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, dia berkata: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Di dapati orang ramai sholat terpisah, . Ada yang sholat sendirian, ada pula yang sholat dan sekumpulan (datang) mengikutinya. ‘Umar berkata: “Jika aku kumpulkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dikumpulkanlah mereka dengan (diimami oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai mengerjakan sholat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab). Berkata ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perkara ini, sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam) (lihat Shahih al-Bukhari – hadith no: 2010 (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan) dan al-Muwattha’ (الموطأ) al-Imam Malik – hadith no: 231 (Kitab seruan kepada sholat, Bab apa yang berkenaan solat pada malam Ramadhan)) .
Berdasarkan riwayat di atas, ada yang salah paham dan menganggap ‘Umar bin al-Khattab adalah orang yang pertama memulai dan mengadakan Sholat Tarawih secara berjamaah. Maka sebagian orang tersebut berpendapat bahwa hal itu adalah satu perbuatan bid‘ah yang dianggap baik oleh ‘Umar. & bahkan boleh membuat bid‘ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat yang baik. Sebenarnya pemahaman seperti ini muncul karena kurang membaca hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah dan ini jelas terdapat dalam kitab-kitab hadits, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadist yang dimaksud diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu 'anha:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda sholat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikuti sholat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal itu . Maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi (pada malam kedua). Baginda sholat dan mereka ikut sholat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal tersebut . Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar sholat dan mereka ikut sholat bersama. maka ketika malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahlinya ( makmum ) . (Baginda tidak keluar) hingga waktu sholat subuh tiba . Selesai sholat subuh, beliau menghadap orang banyak ( makmum ) , bersyahadah seraya bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada tadi malam ) tetapi aku takut jika difardukan / diwajibkan (Solat Tarawih) ke pada kalian lalu kalian tidak mampu(1) Hal ini berlaku terus menerus hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat ( lihat : Shahih Muslim – hadits no: 761 (Kitab sholat musafir dan menqasarkannya, Bab anjuran menegakkan sholat pada malam Ramadhan)
Dalam sebagian riwayat al-Bukhari dan Muslim disebut: “…yang demikian berlaku pada bulan Ramadhan.” (وذلك في رمضان) (lihat: Shahih al-Bukhari – hadith no: 2011 (Kitab Sholat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan)
Hadits ini dengan jelas ( sejelas sinar mentari di siang bolong ) menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang pertama memulai dan mengerjakan Sholat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walau beliau tidak melakukannya secara terus menerus , bukan karena perbuatan ini yang salah tetapi karena beliau bimbang & takut kalau hal tersebut menjadi satu ibadah yang diwajibakan ( di anggap wajib ) . maka tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat, kebimbangan ini tidak ada lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan kembali Sholat Tarawih secara berjamaah. dari sini diketahui bahwa sesunguhnya ‘Umar al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulai & mengamalkan sholat terawih secara berjamaah.
al-Imam al-Syatibi rahimahullah menegaskan: Renungkanlah hadits ini. dan hadist ini menunjukkan kedudukan Sholat Tarawih adalah sunnat. Sesungguhnya sholat baginda ( SAW ) pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu disebabkan karena bimbang dan takut nantinya hal itu di wajibkan. dan hal Ini tidak menunjukkan dilarang secara mutlak karena zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (penetapan syari'at ) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajiban jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri' (2) dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka hal itu kembali kepada asalnya. (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147.)



____________________________________
(1) Allah tidak mungkin menfardukan sesuatu yang manusia tidak mampu. Namun maksud Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah baginda bimbang umat Islam akan gagal dan tidak mampu melakukannya lalu mereka berdosa. Dan inilah salah satu bentuk kasih sayangnya Rasululllah kepada umatnya, lalu beliau meningalkannya karean takut hal itu nanti diwajibkan oleh Allah.
(2) ‘Illah al-Tasyri’ (علة التشريع) dimaksud adalah puncak yang menyebabkan diletakkan sesuatu perundangan atau hukum. Dalam hal ini, puncaknya beliau ( SAW ) meningalkan sholat tersebut dengan berjamaah secara terus menerus ialah bimbang dan takut hal itu menjadi suatu kewajiban. Baginda tidak ingin membebankan umat dengan suatu kewajiban baru, ditakutkan jika mereka tidak akan kuat melakukannya dan di tingalkan dan akhirnya berdosa.
Pembahasan Kedua :
Timbul persoalan berikutnya, mengapakah Abu Bakar radhiallahu 'anh tidak mengumpulkan orang banyak untuk melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah? Untuk mengetahui jawabannya, kita merujuk sekali lagi kepada penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:
Adapun (sebab) Abu Bakar tidak mengerjakan hal tersebut adalah kerana salah satu dari beberapa hal berikut, diantaranya :
(pertama) dia berpendapat sholat orang banyak pada akhir (malam) lebih afdal pahalanya dari pada dikumpulkannya mereka dengan satu imam pada awal malam. Ini disebutkan oleh imam al-Turtusyi (الطرطشي)
(kedua) disebabkan singkatnya waktu pemerintahannya(1) untuk melihat perkara-perkara seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtadiin dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147-148 ).
Timbul persoalan kedua, kenapakah ‘Umar al-Khattab radhiallahu 'anh mengungkapkan dengan perkataan " hal tersebut sebagai satu bid‘ah? Sekali lagi, penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah menjadi rujukan:
Dia menamakannya bid‘ah hanya pada dzahirnya saja karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula hal tersebut tidak dikerjakan pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. maka hal ini sebenarnya : bukanlah bid‘ah pada makna (syar'i ). siapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu adanya pembelaaan dalam meletakkan nama. Justru itu tidak boleh baginya berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah (al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 148).
Jelaslah ucapan ‘Umar bukanlah merujuk kepada bid‘ah yang dilarang oleh syar'iat tetapi merujuk kepada bid‘ah yang dimaksudkan dari segi bahasa atau keadaan. Ini karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah lalu berhenti disebabkan faktor penghalang yang dinyatakan tadi. Apabila faktor penghalang telah hilang, maka ‘Umar menghidupkannya semula. Justeru itu beliau menamakannya bid‘ah. Perkataan bid‘ah yang digunakan oleh ‘Umar radhiallahu 'anh hanya merujuk pada segi bahasa, tidak pada segi syarak. Dari segi syarak, ia adalah Sunnah karena merupakan sesuatu yang pernah berlaku sebelumnya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.


________________________________________________
(1) Saiyyidina Abu Bakr radhiallahu 'anh hanya sempat memerintah dua tahun tiga bulan. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (البداية والنهاية), jld. 7,
Pembahasan ketiga : Salah Faham Terhadap Hadits Sunnah Hasanah
Terdapat sebuah hadits yang disering disalah fahami oleh orang-orang yang membolehkan amalan bid‘ah. Hadits yang dimaksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
Siapa saja yang mengadakan dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. Siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun (lihat Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab anjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…).
Hadits ini dijadikan dalil bahwa tidak mengapa melakukan bid‘ah asalkan ia baik. Ini adalah dalil yang salah yang dihasil dari pemahaman yang salah pula. pemahaman yang benar dapat diperoleh jika mau merujuk kepada asbab al-Wurud (أسباب الورود) hadits ini. Jika dalam pengajian tafsir ada bab yang dinamakan asbab al-Nuzul, maka dalam hadits ia dinamakan asbab al-Wurud atau asbab Wurud al-Hadith. Saya jelaskan asbab Wurud al-Hadith sebagai:
ما دعا الحديثَ إلى وجوده، أيام صدوره.
Apa yang membawa kepada ( sebab ) keluarnya hadits pada hari ( saat ) munculnya hadist tersebut
Maksudnya, faktor yang menyebabkan sebuah hadits itu terbit ( keluar ) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kata lain, faktor-faktor yang menyebabkan beliau mengucapkan sesuatu ucapan, melakukan sesuatu perbuatan atau mengakui sesuatu tindakan. Memahami sebab-sebab yang menyebabkan keluarnya sebuah hadits adalah sangat penting untuk menjaga kita dari meletakkan ( menjadikan dalil ) sebuah hadits tidak pada tempatnya. Ini karena kadang-kala sebab keluarnya sesuatu hadits sangat mempengaruhi maksud hadits. Kesalahan dalam memahami sebab keluarnya hadits akan membawa kepada kesalahan fahaman terhadap maksud hadits tersebut . sebagai misalnya adalah hadits yang di atas ada Sabab al-Wurudnya dan ini mari kita rujuk kepada hadits itu sendiri dalam bentuknya yang lengkap:
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. عَلَيْهِمُ الصُّوفُ. فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ. قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ. فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ رَجُلاً مِنَ لأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

Dari Jarir bin ‘Abd Allah katanya: Datang sekumpulan Arab Baduwi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka memakai pakaian bulu. Baginda melihat buruknya keadaan mereka. Mereka ditimpa kesusahan. Baginda menganjurkan orang orang untuk bersedekah. Namun mereka lambat melakukannya sehingga kelihatan kemarahan pada wajah baginda. (Kata Jarir) Kemudian seorang lelaki dari golongan Ansar datang dengan sebuah perak (dan mensedekahkannya). Kemudian datang seorang yang lain pula, kemudian orang ramai datang (bersedekah) berturut-turut. Sehingga terlihat kegembiraan pada wajah baginda.(Melihat yang sedemikian) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: siapa yang mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. dan siapa yang mengadakan ( memulaikan ) dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun ( Rujukan yang sama sebelumnya, Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab sanjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…)..
Dengan merujuk asbab al-Wurud dalam hadist di atas, kita dapat mengetahui bahwa “Sunnah Hasanah” yang dimaksudkan merujuk kepada sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bukannya satu perbuatan yang tidak memiliki asal usul di dalam syariat. Memulia ( mengadakannya ) untuk bersedekah tidaklah termasuk mengadakan amalan baru, bahkan sebaliknya bermaksud untuk memulai langkah atau tindakan bagi perkara yang sudah ada asal usulnya.
Al-Syeikh ‘Ali Mahfuz (1) telah menjelaskan tantang hadist diatas dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’ ' ' الإبداع في مضارّ الابتداعketika menjawab kekeliruan orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai hujah bagi membolehkan bid‘ah: Jawaban terhadap kekeliruan ini ialah, bukanlah maksud mengadakan sunnah itu membuat rekaan (baru). Namun maksudnya (ialah mengadakan ) amalan yang thabit (pasti) dari sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam … Sesungguhnya sebab yang karenanya muncul hadits ini ialah sedekah yang disyariatkan … (lalu disebut hadits di atas secara lengkap) … hadits ini menunjukkan bahwa yang dikatakan sunnah di sini seperti apa yang dilakukan sahabat tersebut yang membawa sebuah perak. Dengan sebab dan karenanya terbukalah pintu sedekah dengan cara yang lebih nyata sedangkan sedekah memang disyariatkan dengan kesepakatan ulama’. Maka jelas maksudnya (“siapa yang mengadakan Sunnah Hasanah…”) di sini ialah siapa yang
__________________________________
(1) al-Syeikh ‘Ali Mahfuz semasa hidupnya adalah anggota Pembesar ‘Ulama Universitas al-Azhar. Buku tulisan beliau ini bertujuan memerangi bid‘ah yang banyak berlaku dalam masyarakat. Buku ini mendapat pengakuan dari para ulama al-Azhar dan dijadikan rujukan dalam kurikulum pelajaran. Beliau meninggal dunia pada tahun 1942. Silahkan lihat pujian dan pengakuan para ulama untuk buku ini dalam edisi cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.


beramal. Ini kembali kepada hadits(1) : Siapa selepasku yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku yang telah mati, maka baginya pahala………………Seakan-akan sunnah itu sedang tidur maka sahabat radhiallahu 'anh berkenaan menggerakkannya dengan perbuatannya. Bukan maksudnya mengadakan sunnah yang (sebelumnya) tidak pernah ada. ( ‘Ali Mahfuz, al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’, m.s. 128-129. (nukilan berpisah)
Dalam Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin (نزهة المتقين شرح رياض الصالحين) karya Dr. Mustafa al-Bugha(2) . dan rakan-rakannya, dijelaskan: Hadits ini dianggap sebagai asal dalam menentukan bid'ah Hasanah dan Saiyyiah. Bersegeranya sahabat, berlomba-lomba dalam bersedekah adalah sunnah Hasanah –seperti yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dari sini difahami bahwa apa yang dikatakan sunnah Hasanah itu adalah sesuatu yang pada asalnya disyarakkan seperti sedekah. (Dr. Mustafa al-Bugha, Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin , jld. 1, m.s. 160)
Berkata al-Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (1421H) : Jika kita mengetahui sebab (keluarnya) hadits ini dan meletakkan maknanya dengan betul, maka jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “mengadakan sunnah” di sini ialah melakukan ( memulaikan) amal. Bukan melakukan (memulaikan) tasyri’ (syariat baru). Ini karena tasyri’ hanya boleh dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadits “siapa yang mengadakan (memulaikan)” ialah melakukan (memulaikan) amal dengannya dan orang ramai mencontohnya… atau boleh dimaksudkan juga siapa yang melakukan (memulaikan) jalan yang baik yang menyampaikan kepada ibadah lalu orang ramai mencontohinya. Ini seperti menulis buku, meletakkan bab-bab ilmu, membina sekolah dan sebagainya dimana ia adalah jalan kepada perkara yang dituntut syari'at . Apabila seorang insan mengadakan (memulaikan) jalan yang membawa kepada perkara yang dituntut oleh syari'at dan jalan itu pula tidak terdiri dari apa-apa yang dilarang, maka dia termasuk dalam hadits ini. Jika makna hadits adalah seperti yang disalah fahami, yaitu seorang insan boleh membuat apa saja syariat yang dia mau, berarti agama Islam belum sempurna pada (akhir) hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Muhammad bin Salih al-‘Utsaimin, Alfaz wa Mafahim (ألفاظ ومفاهيم), m.s. 53.)

_________________________________
(1) Hadits yang dimaksudkan ialah:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ.
Siapa selepasku yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku yang telah mati, maka baginya pahala seperti orang yang beramal dengannya dengan tidak dikurangkan pahala mereka sedikitpun. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan Ibn Majah. al-Tirmizi menghasankannya. Akan tetapi yang benar hadist ini tertolak karana kedua-duanya meriwayatkannya dari jalan Katsir bin ‘Abd Allah, beliau matruk yaitu dianggap pendusta atau pereka hadits. Justru itu penilaian yang dibuat oleh al-Imam al-Tirmizi dipertikaikan. Berkata al-Munziri rahimahullah (656H): “Bagi hadits ini ada syawahid (lafaz-lafaz hadith lain yang menyokongnya).” (al-Munziri, al-Tarhib wa al-Targhib, jld. 1, m.s. 47).
(2)Beliau ialah seorang tokoh yang masyhur, bermazhab al-Syafi’i)

Kesimpulan Pembahasan:
Sebagai kesimpulan pembahasan masalah ini , sekali lagi ditegaskan bahwa maksud hadits “…mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik (Sunnah Hasanah)…” ialah mengadakan perkara yang sudah ada asal usul di dalam syari'at seperti sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka dari pembahasan dua hadist di atas kit aketahui bahwasanya tidka ada bid'ah hasanah dalam agam islam .

KAIDAH MEMAHAMI BID'AH ( 1)




BAB PERTAMA
MEMAHAMI PENGERTIAN BID’AH

A. PENGERTIAN BID'AH MENURUT BAHASA
Definisi bid'ah menurut takrif etimologi diambil dari asal perkataan al-bida' (اَلْبِدَع) yang bermakna / artinya : "Mencipta (atau mengada-adakan sesuatu pekerjaan, amalan, benda atau perkara) yang sama sekali tiada contoh atau misal sebelumnya". (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 36)
Asal Kalimat/Perkataan:
(بَدَعَ - يَبْدَعُ - بِدْعًا)
Atau
(بَدَعَ - بِدَاعَةً - بَدُوْعًا)
Atau
(اَبْدَعَ - اِبْتَدَعَ - تَبَدَّعَ)
Kalimat atau perkataan di atas arti / maknanya: "Mencipta, mereka-reka, mengada-adakan, memulaikan atau sesuatu yang baru (pertama-tama diadakan)".
Berkata Ibn Manzur (ابن منظور) rahimahullah:
بدع الشيءَ يَبدَعُه بَدعا، وابتدعهُ: أنشأه وبدأه.
Telah membuat sesuatu bid‘ah (past tense), sedang membuatnya (present tense) dan bad‘an (masdar/ kata terbitan) berarti mengadakan dan memulaikan ( lihat Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jld. 8, m.s. 6.).
Al-bid'ah (البدعة) juga nama yang diberikan ke atas perbuatan yang sengaja diada-adakan dan jamaknya bida' (بدع) (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 57) atau apa yang dicipta dalam agama dan selainnya (Lihat: العين Jld. 2. Hlm. 55.) dan siapa yang mengada-adakan sesuatu dia dianggap telah melakukan bid'ah. Dalam "Takrifat" pula ia ditetapkan sebagai setiap amal yang bertentangan dengan sunnah yang berupa sesuatu urusan yang diada-adakan. (Lihat: التعريفات hlm. 43)
Berkata Imam ath-Thurthusi rahimahullah:
اَصْلُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ اْلاِخْتِرَاعِ ، وَهُوَ الشَّيْءُ يُحْدَثُ مِنْ غَيْرِ اَصْلٍ سَبَقَ ، وَلاَ مِثَالٍ احْتُذِيَ وَلاَ اُلِفَ مِثْلَهُ
"Kata bid'ah berasal dari kata al-ikhtira' (اَلاِخْتِرَاع) yaitu sesuatu yang baru dibuat tanpa ada contoh sebelumnya, tiada misal mendahuluinya dan tidak pernah ada contoh semisalnya (sebelumnya)". (Lihat: الحوادث والبدع hlm. 40 ath-Thurthusi (Tahqid oleh Ali Hasan). Diterbitkan oleh Dar Ibn al-Jauzi)
Berkata Muhammad bin Abi Bakr al-Razi rahimahullah:
بدع الشيء: اخترعه لا على مثال.
Membuat bid‘ah sesuatu bermaksud mengadakannya tanpa ada suatu contoh. (al-Razi, Mukhtar al-Sihah, m.s. 38.)
Dalam al-Mu’jam al-Wajiz disebutkan hampir sama seperti di atas yaitu mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.( al-Mu’jam al-Wajiz, m.s. 40.) Demikian kesemua mu’jam bahasa arab menyebut makna yang hampir sama.
Inilah bid‘ah dari segi bahasa yaitu membuat sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya.
Kalimah bid'ah terdapat di dalam al-Quran yang digunakan dengan penggunaan istilahnya yang paling tepat dan seiring mengikuti maksud serta pengertian yang dikehendaki oleh kalimah tersebut. Kenyataan ini dapat difahami melalui tiga potong ayat di bawah ini:
Ayat Pertama :
بَدِيْعُ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضِ
"(Dialah) Pencipta segala langit dan bumi". (al-Baqarah, 2:11)
Penggunaan kalimah bid'ah pada ayat di atas adalah yang paling tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian kalimah bid'ah menurut bahasa karena hakikatnya hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja Pencipta (melakukan bid'ah) hingga terciptanya langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di alam ghaib atau di alam nyata.
Segala ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang ada ini tidak pernah didahului oleh suatu contoh / misal atau pencipta sebelum-Nya, hanya Dialah Pencipta yang mengadakan dan memulai seluruh penciptaan yang terdapat di langit, di bumi, di alam dunia atau di alam akhirat yang sebelumnya tidak ada ('adam) kepada ada (maujud).
Para ahli ilmu yang pakar atau mengetahui kaedah penggunaan tata Bahasa Arab akan lebih mudah memahami maksud dan pengertian bid'ah yang terdapat pada ayat di atas, yang terdapat di dalam hadits-hadits yang begitu banyak jumlahnya dan yang banyak digunakan dalam tata bahasa dan penulisan Bahasa Arab. Penggunaan bid'ah pada ayat di atas amat tepat baik secara bahasa (termasuk gaya bahasa) atau takrif syar'ii. Ia ditafsirkan oleh para ahli ilmu sbb:

أبدعت الشيء لا عن مثال
"Aku telah ciptakan (mengadakan) sesuatu tanpa ada misal (sebelumnya)." (Lihat: جامع البيان عن تأويل آي القرآن Jld. 1 Hlm. 709. Ibn Jarir at-Tabari)
Di ayat yang kedua pula Allah berfirman:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
"Katakanlah (ya Muhammad!): Bukanlah aku seorang Rasul pembawa agama yang baru dari agama yang telah dibawa oleh para Rasul yang lalu". (al-Ahqaf, 46:9)
Menurut Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu : bid'ah yang dimaksudkan pada ayat di atas ialah "Yang Ter-awal / pertama." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180) Ia ditakdirkan juga sebagai ucapan yang bermakna: "Bukanlah aku ini pembuat bid'ah (sahibul bid'ah)." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180)
Yang paling jelas ayat di atas bermaksud dan bertujuan agar Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam memberi tahu kepada umatnya bahwa baginda bukanlah seorang Rasul yang bid'ah (yang baru) di dunia ini. Sudah ada Rasul-Rasul lain mendahului baginda sebelum baginda diutus menjadi Rasul. Inilah pengertian bid'ah sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat (syara’) dan dimaksudkan oleh bahasa yaitu "Bid'ah ialah : sesuatu yang baru yang diada-adakan dan tidak ada contoh atau misal sebelumnya".
Oleh karena baginda bukan merupakan seorang Rasul yang pertama dan baru kepada manusia maka baginda tidak dinamakan Rasul yang bid'ah menurut pengertian istilah bahasa dan syara’ karena sudah ada contoh dan beberapa orang rasul sebagai pendahulu sebelumnya.
Dan di ayat ketiga Allah berfirman:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا
"Dan mereka sengaja mengada-adakan rahbaniyah". (al-Hadid, 57:27)
Menurut penafsiran al-Hafiz Imam as-Syaukani rahimahullah tentang ayat di atas:
وَرَهْبَانِيَّةً مُبْتَدِعَةً مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ
"Kerahiban yang mereka sendiri ciptakan & ada-adakan". (Lihat: فتح القدير. Jld. 5. Hlm. 178)
Maka jika difahami pengertian bid'ah dari ketiga-tiga ayat al-Quran di atas maka dapat dipahami makna atau maksudnya adalah : "Sesuatu yang baru, yang tidak ada misal (contoh) sebelumnya, yang diada-adakan dan yang direka-reka".
Bid'ah menurut bahasa (لُغَةً) juga telah didefinisikan oleh kalangan ulama fiqih yang muktabar:
كُلُّ عَمَلٍ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
"Setiap amalan (perbuatan atau pekerjaan) yang tiada contoh sebelumnya". (Lihat: البدعة تحديدها وموقف الاسلام منها Hlm. 157. 'Izat Ali Atiah)
Bila dikatakan: (اِبْتَدَعَ فُلاَنٌ بِدْعَة) "Telah mencipta si Fulan satu cara/jalan" maknanya: cara/jalan ciptaan si Fulan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
Menurut As Syeikh Ali Hasan bid'ah ialah:
وَهَذَا اْلاِسْمُ (يَعْنِى: اِلْبِدْعَةُ) يَدْخُلُ فِيْمَا تَخْتَرعُهُ الْقُلُوْبُ وَفِيْمَا تَنْطِقُ بِهِ اْلاَلْسِنَةُ وَفِيْمَا تَفْعَلُهُ الْجَوَارِحُ
"Dan yang dapat dikategorikan dalam bid'ah, termasuklah sesuatu yang dilakukan oleh hati, yang diucapkan oleh lisan dan yang dilakukan oleh anggota badan ". (Lihat: علم اصول البدع hlm 23. Ali Hasan. Daar ar-Rayah. Cetakan kedua)
Takrif yang ringkas ini amat jelas, mudah dihayati dan difahami, oleh karena tidak perlu dikupas dengan uraian panjang lebar.
B. PENGERTIAN BID'AH MENURUT ISTILAH SYARI'AT
Kalangan jumhur ulama fiqih (fuqaha) dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah telah memberikan takrif/pengertian bid'ah dengan mengikuti landasan yang sesuai dengan hukum syara’ atau syariyah (شَرْعِيَّةٌ). Antara takrif / makna yang masyhur yang sering digunakan ialah:
اِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ اَصْل فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَىْ لاَدَلِيْلَ مِنَ الشَّرْعِ
"Menciptakan (mengada-adakan atau mereka-reka) sesuatu (amal) yang sama sekali tidak ada contohnya pada zaman Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ada dalilnya dari syara".
كُلُّ مَا عَارَضَ السُّنَّةَ مِنَ الاَقْوَالِ اَوِ الاَفْعَالِ اَوِ الْعَقَائِدِ وَلَوْ كَانَتْ عَنْ اِجْتِهَاد
"(Bid'ah): ialah setiap yang bertentangan dengan sunnah dari jenis perkataan (ucapan) perbuatan (amalan) atau akidah (pegangan/kepercayaan) sekalipun melalui usaha ijtihad." (Lihat: احكام الجنائز وبدعها. Hlm. 306. Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)
فَالبِدْعَةُ اِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَّرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةِ فِى التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ
"Maka bid'ah pada dasarnya ialah ungakapn Suatu jalan dalam agama yang direka & diciptakan yang menyerupai syari'at . dengan tujuan mengamalkannya untuk berlebih-lebihan dalam penyembahan (ibadah) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 27)
اَلْبِدْعَةُ طَرِيْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يَقْصُدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ. اَوْ قَالَ: يَقْصُدُ بِهَا التَّقَرُّب الِى اللهِ وَلَمْ يقمْ عَلىَ صِحَّتِهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ صَحِيْحٌ اَصْلاً اَوْوَصْفًا
"(Maknanya): Bid'ah ialah suatu jalan (ciptaan/rekaan) yang disandarkan oleh pembuatnya kepada agama sehingga menyerupai syariah.yang dikerjakan dengan maksud untuk menjadikannya tata-agama sehingga mencapai jalan (cara) yang menyerupai jalan syariah. Atau sebagaimana yang dikatakan: (Amalan) yang bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ditegakkan kesahihannya melalui dalil syarii yang sahih yang bersumber dari sumber yang sebenar dan tepat." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 37)
Ta’rif (definisi) yang baik bagi perkataan bid‘ah dari segi istilah ialah ta’rif yang dikemukakan oleh al-Imam Abu Ishaq al-Syatibi (الشاطبي) rahimahullah (790H)(1) dalam kitabnya yang masyhur berjudul al-I’tishom (الاعتصام) diatas. Kebanyakan para pengkaji & peneliti setuju dan sepakat bahwa al-Syatibi telah mengemukakan ta’rif jami’ dan mani’ ( جامع ومانع).(2) diantaranya Dr. Ibrahim bin ‘Amir al-Ruhaili dalam tesis Ph.Dnya ketika membandingkan beberapa ta’rif yang dibuat oleh beberapa tokoh diantaranya Ibn Taimiyyah(3) , al-Syatibi, Ibn Rajab dan al-Sayuti rahimahumullah, menyimpulkan bahwa ta’rif al-Syatibi adalah yang terpilih.(4)



_____________________________
(1) Beliau ialah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Gharnati (الغرناطي) Tokoh Andalus yang agung, bermazhab Malik. Seorang muhaddits, faqih (ahli fikah) dan usuli (ahli usul fikah). Mengarang beberapa buah kitab yang agung. Kitab beliau al-Muwafaqat (الموافقات) menjadi rujukan utama dalam ilmu usul al-Fiqh. Bahkan beliau dianggap paling cemerlang dalam mengemukakan pembahasan Maqasid al-Syara’. Demikian juga kitab al-I’tishom ini mendapat pengakuan yang besar dari kalangan para ulama & kaum muslimin.
(2) Sesuatu ta’rif yang baik hendaklah yang jami’ lagi mani’. Jami’ maksudnya ia menghimpunkan unsur-unsur utama dalam ta’rif, sementara mani’ maksudnya ia bisa menghalangi unsur-unsur yang tidak berkaitan masuk ke dalamnya.
(3) Berkata al-Imam al-Sayuti (w 911H): “Ibn Taimiyyah: seorang syaikh, imam, al-`allamah (sangat alim), hafizd (dalam hadits), seorang yang kritis, faqih, mujtahid, seorang penafsir al-Quran yang mahir, Syaikh al-Islam, lambang golongan orang-orang zuhud, sangat sedikit orang yang semisal dengannya di zaman ini, …salah seorang tokoh terbilang …memberi perhatian dalam bidang hadits, memetik dan menapisnya, pakar dalam ilmu rijal (para perawi), `illal hadits (kecacatan tersembunyi hadits) juga fiqh hadits, ilmu-ilmu Islam, ilmu kalam dan lain-lain. Dia termasuk lautan ilmu,termasuk cendikiawan yang terbilang, golongan zuhud dan tokoh-tokoh yang tiada tandingan.”(al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, m.s. 516).
(4) Dr. Ibrahim ‘Amir al-Ruhaili, Mauqif Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah min Ahl al-Ahwa wa al-Bida’, jld. 1, m.s. 90-92.

C. Penjelasan & uraian al-Imam al-Syatibi Terhadap Ta’rif Bid‘ah
al-Imam al-Syatibi rahimahullah setelah memberikan ta’rif ini, tidak membiarkan kita tertanya-tanya maksudnya, sebaliknya beliau sendiri telah menguraikan maksud ta’rif ini. Di sini dinyatakan beberapa point penting uraian al-Imam al-Syatibi:
Pertama:
Dikaitkan jalan (طريقة) dengan agama karena rekaan/ciptaan itu dilakukan dalam agama dan penciptanya/pembuatnya menyandarkan kepada agama. Sekiranya jalan rekaan/ciptaan hanya khusus dalam urusan dunia maka tidak dinamakan bid‘ah ( dalam agama pent.) , seperti membuat barang dan kota ( membangun dsb ), karena jalan rekaan/ciptaan dalam agama terbagi menjadi dua: apa- apa yang ada asalnya dalam syariat dan apa- apa yang tiada asalnya dalam syariat, maka yang dimaksudkan dengan ta’rif ini ialah bahagian rekaan/ciptaan yang tiada contoh terdahulu dari al-Syari’ (Pembuat syariat yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala)
Ini karena ciri khas bid‘ah ialah ia keluar dari apa yang digariskan oleh Allah & Rasul-Nya. Dengan ikatan ini maka terpisahlah (tidak dinamakan bid‘ah) segala yang jelas – sekalipun bagi orang biasa – rekaan/ciptaan yang mempunyai kaitan dengan agama seperti ilmu nahwu, sharaf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din dan segala ilmu yang berkhidmat untuk syariat. Segala ilmu ini sekalipun tiada pada zamannya nabi Muhammad salallahu alaihi waslam , tetapi asas-asasnya ada dalam syari'at. Justeru itu, tidak layak sama sekali dinamakan ilmu nahwu dan selainnya daripada ilmu lisan, ilmu usul atau apa yang menyerupainya yang terdiri daripada ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syariat sebagai bid‘ah. Siapa yang menamakannya bid‘ah, sama saja atas dasar majaz (bahasa kiasan) seperti ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh yang menamakan bid‘ah sholat orang banyak pada malam-malam Ramadhan, atau atas dasar kejahilan dalam membedakan sunnah dan bid‘ah, maka pendapatnya tidak boleh diambil dan dipegang.( lihat al-I’tishom, الاعتصام m.s.27-28).
Kedua:
Maksud (تضاهي الشرعية) ialah menyerupai jalan syari'at dalam agama sedangkan ia bukanlah syari'at pada hakikatnya. Bahkan ia menyelisihi syari'at dari beberapa sudut diantaranya:
Meletakkan batasan-batasan (1) seperti seseorang yang bernazar untuk berpuasa berdiri tanpa duduk, berpanas-panasan tanpa berteduh, membuat keputusan mengasingkan diri untuk beribadah, menghalalkan / mengharamkankan makanan dan pakaian dari jenis tertentu tanpa sebab.(2)
______________________________________
(1) Maksudnya batasan-batasan yang tidak diletakkan oleh syariat.
(2) Ini seperti jamaah tertentu pada zaman kini, dimana di kalangan mereka ada yang menganggap pakaian & baju negeri atau bangsa tertentu seperti kurta India, atau gaya serban guru tarikat mereka sebagai pakaian agama.
Beriltizam dengan cara (kaifiyyat كيفيات ) dan bentuk (haiat هيئات ) tertentu.(1) Ini seperti dzikir dalam bentuk jama'ah dengan satu suara, menjadikan perayaan hari lahir Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maulidan ) dan semisalnya.
Beriltizam dengan ibadah tertentu dalam waktu tertentu sedangkan tidak ada penentuan tersebut dalam syarak. Ini seperti beriltizam puasa pada hari Nisfu Sya’ban dan menegakkan sholat khusus pada malamnya (2). Kemudian bid‘ah-bid‘ah tersebut disamakan dengan perkara-perkara yang disyariatkan. Jika penyamaan itu adalah dengan perkara-perkara yang tidak disyariatkan maka ia bukan bid‘ah. Ia termasuk dalam perbuatan-perbuatan adat kebiasaan. (lihat al-Syatibi, al-I’tishom الاعتصام , m.s. 28).
Ketiga:
Maksud (يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله): “Tujuan mengamalkannya untuk berlebihan dalam mengabdikan diri kepada Allah” ialah menjalankan ibadah. Ini karena Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu. [al-Zariyat 51:56]
Seakan-akan pembuat bid‘ah melihat inilah tujuannya. Dia tidak tahu bahwa apa yang Allah tetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan-Nya sudah memadai & mencukupi.( lihat al-I’tishom,الاعتصام m.s. 29).
Selanjutnya al-Imam al-Syatibi menjelaskan: Telah jelas dengan ikatan ini (yang dijelaskan) bahwa bid‘ah tidak termasuk dalam adat. Apa saja jalan yang direka & di buat-buat di dalam agama yang menyerupai perkara yang disyariatkan tetapi tidak bertujuan beribadah dengannya, maka ia keluar dari nama ini (bid‘ah). (lihat al-I’tishom الاعتصام, m.s. 30).
Kesimpulan Ta’rif al-Imam al-Syatibi
Dari apa yang dijelaskan dan diuraikan oleh al-Imam al-Syatibi rahimahullah, dapat dibuat beberapa kesimpulan:
_____________________________
(1) Maksudnya yang tiada dalil syarak.
(2) terdapat sebuah hadits yang sahih mengenai kelebihan Nisfu Sya’ban, yaitu hadits:
طلع الله إلى خلقه في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن.
Allah melihat kepada hamba-hamba-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hamba-Nya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuhan (orang benci membenci). Hadist ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain. al-Albani mensahihkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 3, m.s. 135. Namun hadits ini tidak mengajarkan kita untuk melakukan apapun amalan pada malam berkenaan seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Justeru para ulama seperti al-Imam al-Syatibi membantahkan amalan-amalan khusus yang dilakukan pada malam tersebut.
Bid‘ah ialah jalan syari'at yang baru yang diada-adakan dan dianggap ibadah dengannya. Adapun membuat perkara baru dalam urusan dunia tidak boleh dinamakan bid‘ah.
Bid‘ah ialah sesuatu yang tidak ada asal dalam syariat. Adapun apa yang ada asalnya dalam syariat tidak dinamakan bid‘ah.
Ahli bid‘ah menganggap jalan, bentuk, cara bid‘ah mereka adalah satu cara ibadah yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah.
Bid‘ah semuanya buruk. Apa yang dinamakan Bid‘ah Hasanah yang membawakan & mencontohkan perkara-perkara duniawi bukanlah bid‘ah pada istilahnya.
Berkata Al-Jauhari rahimahullah:
اَلْبَدِيْعُ وَالْمُبْتَدِعُ اَيْضًا واَلْبِدْعَةٌ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ
"Al-Badi', al-Mubtadi' dan bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah agama disempurnakan (dinyatakan lengkap)". (Lihat: مختار الصحاح ar-Razi / صحاص اللغة Hlm. 44)
Berkata al-Fairus Abadi rahimahullah:
اَلْبِدْعَةُ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ . وَقِيْلَ: مَااسْتُحْدِثَ بَعْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلاَقْوَالِ وَاْلاَفْعَالِ
"Bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah (agama) disempurnakan. Dan disebut bid'ah apa saja yang direka-cipta setelah ( wafatnya) Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baik berbentuk ucapan atau amalan (perbuatan)". (Lihat: بصائر ذوى التمييز Jld. 2. Hlm. 132)
Takrif di atas telah disepakati oleh semua golongan ulama salaf dan khalaf. Ini terbukti dengan keseragaman takrif & penjelasan mereka termasuklah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi'e, Hambali, Hanafi, Maliki, Sufyian as-Thauri dan imam-imam fiqih yang lain. Apa yang dimaksudkan "Mendekatkan diri kepada Allah" sebagaimana yang terdapat dalam ta'rif di atas, tidak termasuk bid'ah yang berbentuk (urusan) keduniaan seperti kereta, pesawat, membukukan al-Quran dan sebagainya. (Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 6 Salim Hilali)
D. KOMPARASI MAKNA BID’AH SECARA LUGHAWI DAN SYAR’I
Ini bisa diketahui dari dua sisi, yaitu :
[1]. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]
[2]. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ‘ditolak dan batil’. (1)

E. PERKATAAN DAN PERBUATAN YANG SEMAKNA DENGAN BID'AH
Perbuatan seseorang Muslim boleh dihukum bid'ah apabila perbuatan atau amalan tersebut telah ditambah-tambahi , tambal sulam atau diubah dari bentuk atau cara asalnya yang telah ditetapkan oleh syara’. Kedudukan sesuatu amal boleh dinilai melalui makna atau maksud dari kalimah-kalimah yang tercatat di bawah ini:
1 - Bid'ah berarti mereka-reka atau sesuatu rekaan yang direka-reka (dicipta) (اِخْتِرَاعٌ) . (Lihat: القاموس المخيط. Hlm. 907. مقاييس اللغة (1/209). لسان العرب.)
2 - Bid'ah juga berarti baru (mendatangkan yang baru atau sesuatu yang diada-adakan) .(اِحْدَاثٌ اَوْ زِيَادَة) (Berdasarkan hadist: كل محدثة بدعة "Setiap yang baru (diada-adakan) itu bid'ah.")
3 - Bid'ah bererti mengubah (mengubah-ubah atau menukar ganti) .(تَبْدِيْلٌ) (Lihat: Surah al-Baqarah 2:59.
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah Allah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.)
4 - Bid'ah berarti menambah yang baru ( menukar-tambah) .(زِيَادَةٌ) (Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa-sallam telah mengharamkan penambahan dalam agama, baginda bersabda:اذا حدثتكم حديثا فلا تزيدُنَّ علي "Jika aku katakan kepada kamu suatu kata-kata maka janganlah sekali-kali kamu menukar-tambah atas kata-kataku")
5 - Bid'ah berarti menyembunyikan atau menghilangkan. .(كِتْمَانٌ)
________________________________________
(17) [Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Pustaka Azzam]

Setiap amal-ibadah yang masih terlibat dengan salah satu dari lima kalimat ( makna) di atas sedangkan tidak ada dalil (hujjah) atau izdin dari syara' (al-Quran, al-Hadist, athar yang shahih dan fatwa dari ulama muktabar pent.) yang mengharuskan dan memerintahkannya maka ibadah tersebut dinamakan ibadah yang bid'ah.
Seharusnya para ulama jaman ini ( khususnya di indonesia ) mencontoh & mensuri tauladani peranan para ulama Salaf as-Sholeh yang telah berusaha dengan segala daya upaya memerangi bid'ah dan semua aktivitasnya & pelakunya supaya tidak terus berkembang biak sebagaimana sekarang yang kita lihat apa yang diamalkan oleh masyarakat . Dalam usaha memberantaras amalan dan aktivitas serta pelaku bid'ah jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berjalan di atas manhaj Salaf as-Soleh telah menerangkan kekejian atau kesesatan bid'ah. Cara mereka menjelaskan pengertian bid'ah senantiasa mengikuti kaidah & istilah syarii. Mereka menegahkan istilah (pengertian) bid'ah dengan penampilan yang amat jelas dan mudah difahami. Walaupun mereka mempunyai gaya susunan bahasa dan ayat yang berlainan tetapi prinsip serta objektifnya adalah sama dan ke arah yang sama.
Al-Hafiz Ibnu Rejab al-Hambali rahimahullah menjelaskan:"Yang dimaksudkan bid'ah ialah setiap perkara yang diada-adakan di dalam agama sedangkan perkara yang diada-adakan itu tidak terdapat sumbernya dari syara’ yang membolehkan seseorang melakukannya. Jika sekiranya terdapat dalilnya (contohnya) dari syara' hal seperti ini bukanlah perbuatan bid'ah walaupun ada yang mengatakan bid'ah karena itu hanyalah bid'ah menurut istilah bahasa saja (yang bukan termasuk dalam istilah syara)". (Lihat: جامع العلوم والحكم ، ابن رجب الحنبلى Hlm. 160. India)
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah: "Bid'ah pada asalnya setiap yang dicipta yang tiada contoh sebelumnya. Menurut syara’ pula setiap yang bertentangan dengan sunnah dan tercela". (Lihat: فتح البارى Jld. 5 Hlm. 105)
Menurut Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah: "Bid'ah menurut bahasa ialah setiap yang dicipta. Di segi syara’ pula ialah: Setiap pembaharuan yang diada-adakan dan bertentangan dengan syara". (Lihat: التبين بشرح الاربعين ، ابن حجر الهيثمى Hlm. 221)
Menurut Azzarkasy rahimahullah: "Bid'ah menurut syara ialah perkara yang diada-adakan yang tercela". (Lihat: الابداع فى مضار الابتداع ، علي محفوظ. Hlm. 22)
Menurut Imam Syafie rahimahullah: "Bid'ah ialah setiap perkara yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Ijma atau Athar. Maka itu semua dinamakan bid'ah yang menyesatkan".
Apabila memahami pengertian bid'ah (بِدْعَةٌ) di segi bahasa dan juga syara melalui semua istilah bid'ah yang telah dikemukakan di atas, tentulah kita akan memahami bahwa bid'ah itu hanyalah merupakan perkara-perkara yang direka dan dicipta serta di buat semata-mata dan tidak ada contohnya dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, para Salaf as-Sholeh atau tidak terdapat dalilnya dari agama Islam (syara).
Oleh karena itu, bid'ah itu wajib ditolak oleh setiap orang yang benar-benar beriman dengan lengkap dan sempurnanya agama Islam di segenap aspeknya yang telah dijelaskan di dalam al-Quran dan al-Hadist.
Setiap mukmin wajib mengimani bahwa agama Islam ini telah sempurna dan lengkap. Tidak ada kekurangannya. Tidak ada cacat celanya. Terpelihara dari pengaruh negatif dan dari segala jenis pencemaran atau kerusakan. Tiada suatu pun tata cara ibadah sama ada yang wajib atau yang sunnah, yang jamaii ( secara berjama'ah) atau fardi yang pernah tertinggal dalam agama Islam yang berpandukan kepada al-Quran dan al-Hadist dan yang berautoritas sepenuhnya membentuk hukum-ahkam pada setiap zaman dan tempat. Ini semua telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Ma’idah, 5:3)
Dalam susunan kata (bahasa) ayat ini telah menggunakan kalimah (اَكْمَلْ) yaitu (اسم تفضيل) yang maknanya: "Cukup/amat sempurna, tiada lagi yang mengatasi kesempurnaannya atau yang telah disempurnakan secukup-cukupnya".
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : "Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam, karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya" (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)
Keshahihan iman seseorang ialah apabila ia mempercayai kesempurnaan firman Allah yang termuat di dalam kitab-Nya yang menjelaskan bahwa agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar telah sempurna (اكمل) sehingga tidak perlu dilakukan apa pun penambahan sama saja apakah di segi huruf, kalimah, ayat, perlaksanaan ibadah atau hukum & ahkamnya.
Seseorang yang beriman wajib membuktikan kepercayaannya dengan berpegang teguh kepada kalimah (سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا) "Kami mendengar dan mentaati" di dalam al-Quran. Jika ini diabaikan berarti dia tidak percaya kepada firman Allah: "Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu."
Malangnya, mengapakah kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala yang khusus ditujukan kepada manusia ini tidak dapat difahami atau diterima oleh sebagian manusia sehingga diperselisihkan dan akhirnya dikufuri? Tentunya perkara itu mustahil berlaku kepada manusia jika mereka menerima amanah yang berupa al-Quran dengan ikhlas dan dengan penuh kesadaran.
Segala perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala amat tepat. Terlalu mustahil Allah menurunkan kitab yang tidak bisa difahami oleh hamba-Nya. Orang yang tidak mau memahami kitab Allah ini hanyalah orang-orang yang fasik terhadap ayat-ayat tersebut. Tanda kefasikan mereka ialah apabila tidak mau menerima ayat-ayat Allah di dalam al-Quran dan al-Hadist untuk diimani tanpa ditakwil atau diperselisihkan/dipertentangkan. Hanya orang-orang fasik atau rusak akidahnya saja yang suka mentakwil al-Quran dan al-Hadist mengikuti rekaan & ciptaan otak dan hawa nafsu masing-masing sehingga menyimpang dari syari'at. Seolah-olah mereka merasakan ada kekurangan atau sesuatu yang terlupakan di dalam al-Quran, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan yang demikian sebagaimana firman-Nya:
مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami lupa (tertinggal) suatu apa pun di dalam al-Kitab (al-Quran)". (al-An’am, 6:38)
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَّ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
"Telah sempurna (lengkap) kalimah Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimah yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimah-kalimah-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-An’am, 6:115)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam wafat setelah baginda selesai menyampaikan dan mengajarkan segala perbuatan (ibadah) dan petunjuk yang telah diamalkan oleh baginda dan para sahabatnya sebagaimana penjelasan yang terkandung di dalam nash-nash dari syara. Semua yang telah disempurnakan oleh syara merupakan contoh kepada umat Islam di segenap perkara sama saja apakah cara untuk melakukan yang baik atau cara untuk meninggalkan yang buruk dan keji supaya umat Islam tidak terjerumus ke dalam perbuatan bid'ah. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu telah menjelaskan tentang kesempurnaan agama ini:
عَلَّمَنَا رَسُـوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ كُلَّ شَـيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَ ةَ
"Kami telah diajar oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam segala perkara hingga persoalan (bagaimana cara) membuang kotoran (kencing atau berak)." (Hadis Riwayat Bukhari)
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا اَمَرَكُمُ الله بِهِ اِلاَّ وَقَدْ اَمَرْتُكُمْ بِهِ ، وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ اِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
"Tidaklah aku tinggalkan sesuatu tentang apa yang telah Allah perintahkan kepada kamu kecuali telah aku perintahkan tentangnya. Tidaklah pula (aku tinggalkan) tentang sesuatu yang dilarang (oleh Allah) kecuali telah aku larang kamu dari (melakukan)nya. (Hadis shahih. Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 7. Salim Hilali)
اِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاء ، لَيْلهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ اِلاَّ هَلَكَ
"Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kamu di atas contoh yang terang (sehingga keadaan) malamnya seperti siang harinya. Tidak ada yang menyeleweng darinya selepasku kecuali dia akan binasa." (Hadis Riwayat Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim. Disahihkan oleh al-Albani dan mentakhrij kitab sunnah: لابن ابي عاصم Jld. 1. Hlm. 26-27)
Imam at-Thabrani menyebut riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radiallahu 'anhu beliau berkata:
تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِى الْهَوَاءِ اِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُ لَنَا مِنْهُ عِلْمًا . قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ اِلاَّ وَقَدْ بَيَّنَ لَكُمْ
"Setelah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam meninggalkan kami, tidak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan baginda menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Ia berkata: Maka Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam bersabda: Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke syurga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kamu". (Lihat: الرسالة hlm. 93. Imam as-Syafie. Tahqiq Ahmad Syakir. Sanad hadis ini sahih. Lihat: علم اصول البدع hlm. 19. Ali Hasan)
Seorang mukmin yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam yang mempunyai daya pemikiran yang tinggi, niat yang baik dan akal yang sempurna, bijak, rasional, waras dan logik tidak mungkin akan bertindak melakukan sesuatu apa pun terhadap perkara-perkara yang ternyata sudah diyakini sempurna, & lengkap, jauh sekali untuk menuka-tambah atau mengubah-suai (modifikasi).
Itulah kenyataan yang terdapat pada agama Islam. Ia adalah agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling mulia dan sempurna sejak di Lauhil Mahfuz hingga diturunkan ke bumi. Ia telah dilaksanakan dan dicontohkan keseluruhannya oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam berserta para sahabat baginda secara iktikadi (اعتقادى) keyakinan, fekli (فعلى) perbuatan / ptakteknya dan qauli (قولى). Perkataan.
Penyampaiannya pula tidak pernah tertinggal walaupun satu huruf atau satu kalimat, apalagi lagi satu ayat, satu surah atau keseluruhan al-Quran yang menjadi sumber hukum-hukum kepada sekalian manusia sejak ia diturunkan hingga ke Hari Kiamat. Hakikatnya, segala apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah salah dan mustahil salah atau tertinggal karena ia adalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia telah dijamin kesempurnaannya oleh Allah hingga ke Hari Kiamat. Kenyataan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang telah ditampilkan di atas.
Persangkaan dan kejahilan terhadap ilmu pengetahuan agama adalah puncak yang menyebabkan seseorang itu sanggup menambah atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran yang telah dijamin oleh Allah kesempurnaannya. Allah telah berulang kali menerangkan di dalam firman-Nya dan melalui hadist-hadist Nabi-Nya tentang kesempurnaan agama ini. Hakikat ini terangkum di dalam al-Quran, hadist-hadist dan atsar-atsar shahih yang menjadi pegangan serta rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan ummah, terutama yang berhubung dengan hukum-ahkam dalam mengatur urusan kehidupan mereka.
Lantaran benar-benar sempurnanya al-Kitab (al-Quran dan al-Hadist), Allah menjadikan kedua-dua kitab ini sebagai sumber rujukan yang terbaik untuk ummah di setiap segi atau perkara, dari yang sekecil-kecilnya hingga kepada perkara-perkara yang besar dan rumit. Allah telah menyeru sekalian manusia agar menganut agama Islam. Diwajibkan agar berpegang teguh kepada Kitab-Nya yang paling sempurna tanpa ditolak-tambah atau diubah & disesuaikan ( modifikasi ) di setiap aspeknya demi mentaati perintah dan contoh yang telah ditunjukkan & diajarkan oleh Rasul-Nya termasuk hukum-hukumnya yang telah ditetapkan.
Islam adalah agama yang sempurna, apabila ditolak-tambah atau diubah-suai menurut selera kemauan manusia maka ia tidak dapat dinamakan agama Islam lagi karena telah bertukar kepada agama rekaan otak manusia yang dangkal. Dengan adanya campur tangan manusia ia lebih sesuai diistilahkan sebagai agama bid'ah yang sesat lagi menyesatkan. Malahan ia juga lebih layak dinamakan agama jahiliah yang berpandukan hawa nafsu kesyaitanan manusia yang fasik. Kesempurnaan agama Islam lebih nyata apabila manusia diharamkan dari mencemarkan agama ini dengan penambahan melalui perbuatan bid'ah.

2/8/12

حتى تكون أسعد الناس-2


حتى تكون أسعد الناس-2

SEHINGGA MENJADI ORANG YANG

PALING BERBAHAGIA-2




· اقبل الناس على ما هم عليه وسامحْ ما يبدرُ منهم , واعلمْ أن هذه هي سنة اللهِ في الناسِ والحياةِ .

· hadapilah manusia itu dengan apa adanya dan maafkanlah apa yang mereka lakukan , ketahuilah bahwa ini merupakan sunnah Allah pada manusia dan kehidupan itu sendiri.

· لا تعشْ في المثاليّاتِ بل عشْ واقعَك , فأنت تريدُ من الناسِ ما لا تستطيعه فكنْ عادلاً.

· jangan hidup dalam idealisme-idealisme, tapi hiduplah dengan realita, sebab dengan hidup dalam idealisme, sama saja dengan anda menginginkan dari orang lain apa yang tidak dapat anda lakukan, karena itu jadilah orang yang obyektif ( dalam neghadpai kenyataan ).

· عشْ حياة البساطةِ وإياكَ والرفاهيةَ والإسراف والبَذْخَ فكلما ترفَّهَ الجسمُ تعقَّدتِ الروحُ .

· hiduplah sederhana dan jauhi semua bentuk foya-foya dan pemborosan sebab setiap kali badan diajak foya-foya maka jiwa akan semakin terhimpit.

· حافظْ على أذكارِ المناسباتِ فإنها حفظُ لك وصيانةٌ , وفيها من السدادِ والإرشادِ ما يصلحُ به يومُكَ .

· lakukanlah dzikir-dzikir tertentu ( seperti doa pagi & petang dsb ) , sebab dia akan menjadi penjaga dan pelindung anda, dan didalamnya ada kebenaran dan petunjuk yang akan membuat waktu-waktu anda menjadi lebih bermakna.

· وزّعِ الأعمالَ ولا تجمعْها في وقتٍ واحدٍ ، بل اجعلْها في فتراتٍ وبينها أوقاتُ للراحةِ ليكنْ عطاؤُك جيداً .

· Rencanakan pekerjaan-pekerjaan itu dengan matang dan jangan menggabungkannya menjadi satu waktu ( dengan menunda-nundanya ) akan tetapi kerjakanlah pekerjaan anda dalam rentang waktu yang cukup dan luangkanlah beberapa waktu diantaranya untuk beristirhat agar optimal.

· انظرْ إلى من هو دونك في الجسمِ والصورةِ والمالِ والبيتِ والوظيفةِ والذريةِ ، لتعلمَ أنك فوقَ ألوفِ الناسِ .

· lihatlah orang yang lebih rendah dari anda dalam hal ( kesempurnaan ) tubuh dan bentuk rupa, harta, rumah , pekerjaan, dan keluarga, agar anda mengerti bahwa yang lebih rendah dari anda dalam hal-hal tersebut masih ada ribuan jumlahnya.

· تيقّنْ أن كل من تعاملُهم من أخٍ وابنٍ وزوجةٍ قريبٌ وصديقٌ لا يخلو من عيبٍ، فوطِّنْ نفسَك على تقبلِ الجميعِ .

· Tanamkan keyakinan dalm diri anda bahwa siapa saja yang menjalin komukasi dengan anda tidak terlepas dari cela, baik itu saudara, anak, istri, kerabat, maupun teman, karenanya persiapkan diri anda untuk menerima itu semua.

· الزمِ الموهبة التي أعطيتها، والعلمَ الذي ترتاحُ له، والرزقَ الذي فُتِح لك ، والعمل الذي يناسبُك.

· maksimalkan dan tekuni bakat yang dianugerahkan kepada diri anda, dan ilmu yang anda sukai , rizki yang dikarunaiakan kepada diri anda, dan pekerjaan yang cocok untuk anda.

· إياك وتجريح الأشخاصِ والهيئاتِ، وكن سليمَ اللسانِ ،طيبَ الكلامِ ، عَذْبَ الألفاظِ ، مأمونَ الجانبِ .

· hati-hatilah, jangan sekali-kali melukai perasaan seseorang dan kelompok, jadikan lisan itu lurus, bicaralah yang baik, tutur kata yang sejuk , dan isi pembicaraannya terjaga dari hal-hal yang buruk dan keji

· اعلمْ أن الاحتمالَ دفنٌ للمعائب ،والحلمَ سترٌ للخطايا , والجودَ ثوبٌ واسعٌ يغطي النقائصَ والمثالبَ .

· ketahuilah bahwa kesabaran itu akan mengubur segala aib , ketabahan itu akan menjadi penutup bagi kekeliruan, dan kedermawanan itu adalah pakaian yang besar yang akan menutup semua kekurangan dan cacat.

حتى تكون أسعد الناس-1




حتى تكون أسعد الناس-1

SEHINGGA MENJADI ORANG YANG

PALING BERBAHAGIA-1


· الإيمانُ يُذْهِبُ الهموم ,ويزيلُ الغموم , وهو قرةُ عينِ الموحدين , وسلوةُ العابدين .

· keimanan menghapuskan keresahan dan melenyapkan kegundahan, keimanan adalah kesenangan yang di buru oleh orang-orang yang bertauhid dan hiburan bagi orang-orang ahli ibadah .

· ما مضى فاتَ , وما ذهبَ ماتَ ,فلا تفكرْ فيما مضى , فقد ذهب وانقضى .

· yang telah berlalu dan yang telah pergi telah mati, jangan dipikirkan yang telah berlalu, karena telah pergi dan selesai

· ارض بالقضاءِ المحتومِ , والرزقِ المقسومِ , كلُّ شيءٍ بقدرٍ ، فدعِ الضَّجَرَ .

· terimalah qodho' yang telah pasti dan rizki yang telah dibagi itu dengan hati terbuka segala sesuatu itu ada ukurannya, karenanya buanhlah kegelisahan

· ألا بذكر اللهِ تطمئنُّ القلوبُ , وتحطُّ الذنوبُ , وبه يرضى علاّمُ الغيوبِ , وبه تفرجُ الكروبِ .

· ketahuilah bahwasanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tentram, dosa akan diabaikan, Allah akan menajdi ridha, dan tekanan hidup akan terasa ringan.

· لا تنتظرْ شكراً من أحدٍ , ويكفي ثواب الصمدِ , وما عليك ممَّنْ جحدَ , وحقدَ, وحسدَ.

· jangan menanti ucapan terima kasih dari sesama , cukuplah pahala dari dzat yang bergantung kepadaNya segal sesuatu, tak ada yang harus anda lakukan terhadap orang yang membangkang, mendengki , dan iri.

· إذا أصبحت فلا تنتظرِ المساء , وعشْ في حدودِ اليومِ , وأجمعْ همَّك لإصلاحِ يومِك .

· ketika waktu pagi jangan menunggu sampai sore, hiduplah dalam batasan hari ini, kerahkan seluruh semangat yang ada untuk menjadi lebih baik dari hari ini.

· اتركِ المستقبلَ حتى يأتي , ولا تهتمَّ بالغدِ ؛ لأنك إذا أصلحت يومك صلح غَدُكَ .

· biarkan masa depan itu hingga dia datang sendiri, dan jangan terlalu berkepentingan dengan hari esok, karena jika anda melakukan terbaik di hari ini maka hari esok juga akan baik.

· طهِّرْ قلبك من الحسدِ, ونقِّهِ من الحقدِ , وأخرجْ منه البغضاء , وأزلْ منه الشحناءَ.

· bersihakn jiwa dari dengki, dan jernihkan dari iri, keluarkan penyakit permusuhan dan percekcokan yang ada dalam jiwa.

· اعتزلِ الناس إلا من خيرٍ , وكن جليس بيتِك , وأقبلْ على شأنِك , وقلِّلْ من المخالطةِ .

· hindarilah sesama manusia kecuali untuk perbuatan baik, jadilah orang yang senantiasa berada didalam rumahnya, hadapilah hal-hal yang ada kepentingannya dengan diri anda, dan kurangilah berbaur dengan banyak orang ( yang tidak membawa manfaat ) .

· الكتابُ أحسنُ الأصحابِ , فسامرِ الكتب , وصاحبِ العِلْمَ , ورافقِ المعرفة .

· buku adalah teman yang paling baik, bercakap-cakaplah dengan buku, bersahabatlah dengan ilmu, dan bertemanlah dengan pengetahuan.

· الكونُ بُني على النظامِ , فعليك بالترتيبِ في ملبسِك وبيتِك ومكتبِك وواجبِك

· semesta ini dibangun diatas sebuah keteraturan, karena itu, pakaian, rumah, meja, dan kewajiban, anda harus dikerjakan dengan rapi.

· اخرجْ إلى الفضاءِ , وطالعِ الحدائق الغناء وتفرَّجْ في خَلْقِ الباري وإبداعِ الخالقِ

· keluarah ketempat yang lapang, lihatlah kebun nan indah, dan sibaklah ciptaan dan kreasi sang pencipta

· عليك بالمشي والرياضةِ , واجتنبِ الكَسَلَ والخمولَ, واهجرِ الفراغَ والبطالةَ .

· anda harus berjalan-jalan dan olah raga, jauhi kemalasan dan ketidak berdayaan, tinggalkan kehampaan dan pengangguran.

· اقرأ التاريخَ ، وتفكرْ في عجائبهِ ، وتدبْر غرائبَه واستمتعْ بقصصِه وأخبارِه .

· bacalah sejarah, pikirkanlah keajaiban-keajaiban , dan renungkanlah keanehan-keanehan, simak kisah-kisah dan kabar-kabarnya.

· جدِّدْ حياتَك , ونوِّعْ أساليبَ معيشتِك , وغيِّرْ من الروتينِ الذي تعيشُه .

· Perbaruilah hidup anda, jadikan hidup anda lebih berfariasi, dan ubahlah rutinitas hidup anda.

· اهجر المنبهاتِ والإكثار منها كالشاي والقهوةِ, واحذرِ التدخين والشيشةَ وغَيْرَها.


· Jauhilah dan kurangi makanan-makanan perangsang misalnya, kopi dan teh, dan hati-hatilah terhadap rokok, syisya, dan yang lain semisalnya.

· اعتنِ بنظافة ثوبِك وحسنِ رائحتِك وترتيبِ مظهرِك مع السواكِ والطيبِ .

· Perhatikan kebersihan pakaian anda, dan perhatikan bau badan, perhatikan penampilan luar, jangan lupa mengosok gigi dan memakia parfum .

· لا تقرأْ بعض الكتبِ التي تربِّي التشاؤمَ والإحباطَ واليأسَ والقنوطَ .


· Jangan membaca sebagian buku-buk yang memanjakan pesisime dan rasa putus asa dan penyesalan.

· تذكرْ أن ربَّك واسعُ المغفرةِ يقبلُ التوبة ويعفو عن عباده , ويبدلُ السيئاتِ حسناتٍ .

· Ingatlah bahwa Rabb itu sangat luas ampunanNya, maha menerima taubat, mengampuni hamba-hambaNya dan mengantikan keburukan dengan kebaikan.

· اشكرُ ربَّك على نعمةِ الدينِ والعقلِ والعافيةِ والسِّتْرِ والسمعِ والبصرِ والرزقِ والذريةِ وغيرِها .

· Bersyukurlah kepada Rabb atas anugerah nikmat agama, akal , kesehatan, penutup ( aib & badan ) , pendengaran, penglihatan, rizkeki , anak keturuan , serta nikmat-nikmat yang lainya.

· ألا تعلمُ أن في الناس من فَقَدَ عقله أو صِحَّتَه أو هو محبوسٌ أو مشلولٌ أو مبتلًى ؟! .

· Tidak kah anda perhatikan bahwasanya diantara manusia itu ada yang hilang akalnya, atau terampas kesehatanya, di penjara, dilumpuhkan, atau di timpa bencana.

· عشْ مع القرانِ حفظاً وتلاوةٌ وسماعاً وتدبراً فإنه من أعظمِ العلاجِ لطردِ الحزنِ والهمَّ .

· Hiduplah bersama Al Qur'an baik dengan cara menghapal, membaca, mendengarkannya, atau merenungkannya, sebab itu merupakan obat yang mujarab untuk mengusir kesedihan dan mendung kedukaan .

· توكلْ على اللهِ وفوِّضْ الأمرَ إليه , وارضَ بحكمِه , والجأ إليه , واعتمْد عليه فهو حَسْبُك وكافيكَ .

· Bertawakalah kepada Allah dan serahkan semua perkara, kepadaNya, Terimalah semua ketentuanNya dengan sepenuh hati berlindunglah kepadaNya dan bergantung kepadaNya sebab dia cukup sebagia

· اعفُ عمَّنْ ظلَمَك , وصلْ من قطعَك , وأعطِ من حرمَك , واحلمْ على من أساءَ إليكَ تجدِ السرورَ والأمنَ .

· Maafkanlah orang yang pernah berbuat dhalim kepada Anda, sambunglah tali silatur rahmi dengan orang yang memutuskan tali silturrahmi dengan anda, berilah orang yang tidak pernah memberi kepada anda, bersabarlah terhadap orang yang berbuat jahat kepada anda, niscaya anda akan memperoleh rasa bahagia dan ama dalam diri anda.

· كَرِّرْ «لا حولَ ولا قوَة إلا باللهِ » فإنها تشرحُ البالَ وتصلح الحالَ , وتُحمل بها الأثقالُ , وترضي ذا الجلال .

· ucapkan berulang-ulang :" laa huala walaa quwwata illa billah "karena bacaan itu akan membuat hati menjadi tentaram, dan keadaan akan menjadi baik, dan meringakan yang berat, dan membuat Yang Maha Tinggi menajdi ridha.

· أكثر من الاستغفارِ , فمعَه الرزقُ والفرجُ والذريةُ والعِلْمُ النافعُ والتيسيرُ وحطُّ الخطايا .

· perbanyaklaah membaca Istighfar sebab dengan istighfar akan membuka rizki, akan ada jalan keluar, akan ada keluarga, akan ada ilmu yang berguna, akan ada kemudahan, dan akan sebagai penghapus dosa.

· اقنعْ بصورتِك وموهبتِك ودخلِك وأهلِك وبيِتك تجدِ الراحةَ والسعادةَ .

· terimalah bentuk wajah ( body ) kamu , bakat, pemasukan, dan keluarga dengan lapang dada, niscaya anda akan mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan .

· اعلم أن مع العسرِ يسراً ، وأن الفرجَ مع الكَرْبِ وأنه لا يدومُ الحالُ ، وأن الأيامَ دولٌ .

· Ketahuilah bahwasanya setelah kesulitan itu akan ada kemudahan, dan setelah kesusahan itu akan ada jalan keluarnya, dan ketahuilah bahwasanya keadaan seseorang itu tidak akan tetap selamanya , hari-hari itu akan senantiasa bergulir .

· تفاءلْ ولا تقنطْ ولا تيأسْ , وأحسن الظنَّ بربِّك وانتظرْ منه كلَّ خيرٍ وجميلِ .

· Optimislah , jangan pernah ada rasa putus asa dan menyerah tanpa ada usaha, berbaik sangkalah kepada Allah dan tunggulah segala kebaikan dan keindahan dariNYA.

· افرحْ باختيارِ اللهِ لك , فإنك لا تدري بالمصلحِة فقد تكونُ الشدةُ لك خيْراً من الرخاء
.

· Terimalah pilihan Allah untuk anda dan gembiralah, sebab anda tidak tahu tentang kemaslahatan, bisa jadi suatu kesulitan itu lebih baik bagi anda daripada kemudahan.

· البلاءُ يقرِّبُ بينك وبين اللهِ ويعلِّمك الدعاء ويذهبُ عنك الكِبْرَ والعُجْبَ والفَخْرَ .

· ujian itu akan mendekatkan antara diri anda dengan Allah, akan mengajarkan kepada anda bagiamana berdoa itu, dan akan menghilangkan kesombongan, ujub dan rasa banga diri, dari diri anda.

· أنت تحملُ في نفسِك قناطير النعم وكنوز الخيرات التي وهبك الله إياها .

· anda membawa banyak kenikmatan dalam diri anda dan membawa pundi-pundi kebaikan yang Allah anugerahkan kepada diri anda.

· أحسن إلى الناس وقدمِ الخير للبشرِ ؛ لتلقى السعادة من عيادةِ مريضٍ وإعطاءِ فقيرٍ والرحمةِ بيتيمٍ .

· berbuat baiklah kepada manusia dan berilah bantuan kebaikan kepada sesama agar anda mendapatkan kebahagian dari menjenguk orang sakit, dan dari memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkannya ( fakir ) dan dari mengasih sayangi anak yatim.

· اجتنبْ سوء الظنِّ ، واطرحِ الأوهامَ ، والخيالاتِ الفاسدةَ ، والأفكارَ المريضةَ

· Jauhilah rasa buruk sangka , buanglah jauh-jauh angan-angan , khayalan-khayalan yang merusak, dan pikiran-pikiran yang sakit ( kotor dan kerdil ).

· اعلم أنك لستَ الوحيدَ في البلاءِ , فما سَلِمَ من الهمِّ أحدٌ , وما نجا من الشدةِ بَشَرٌ .


· Ketahuilah bahwsanya anda bukan satu-satunya orang yang mendapat ujian, Tidak seorangpun yang lepas dari kesedihan, dan tidak seorangpun yang lepas dari kesulitan.

· تيقَّن أن الدنيا دارُ محنٍ وبلاءٍ ومنغِّصاتٍ وكدرٍ فاقبلْها على حالِها واستعنْ باللهِ

· yakinlah bahwa dunia ini hanyalah tempat ujian dan cobaan, tantangan, dan kesedihan karena itu terimalah ia apa adanya dan mintalah pertolongan kepada Allah.

· تفكرْ فيمن سبقوك في مسيرةِ الحياةِ ممَّن عُزِلَ وحُبِسَ وقتلَ وامْتُحِنَ وابتليَ ونكبَ وصودرَ .

· Berfikirlah & ambil pelajaran dari orang-orang yang telah terdahulu ( siroh orang-orang shaleh) , yang pernah dikucilkan, yang pernah dipenjarakan, yang pernah dibunuh yang pernah di uji dan yang pernah dibuang dan di usir dari dari negrinya

· كل ما أصابك فأجرُه على اللهِ من الهمِّ والغمِّ والحزنِ والجوعِ والفقرِ والمرضِ والدَيْنِ والمصائبِ .


· semua apa yang menimpa anda pahalanya disisi Allah, baik itu kesedihan, keresahan, kelaparan, kefakiran,rasa sakit, hutang , dan musibah-musibah yang lainnya ( selama anda selalu sabar & tawakal kepadaNya)

· اعلمْ أن الشدائد تفتحُ الأسماع والأبصار وتحيي القلبَ ، وتردعُ النفسَ ، وتذكر العبدَ وتزيد الثوابَ .

· Ketahuilah bahwasanya kesulitan itu akan membuka pendengaran dan penglihatan, menghidupkan hati mendewasakan jiwa, mengingtakan hamba dan menambah pahala.

· لا تتوقعِ الحوادثَ , ولا تنتظر السوءَ, ولا تصدقِ الشائعاتِ , ولا تستسلمْ للأراجيفِ .


· jangan suka menerka-nerka peristiwa, jangan menunggu keburukan, dan jangan mudah percaya terhadap semua kabar-kabar yang tidak jelas, dan jangan mudah menelan mentah-mentah cerita-cerita yang tidak benar

· أكثرُ ما يُخافُ لا يكونُ , وغالبُ ما يُسمع من مكروهٍ لا يقعُ , وفي اللهِ كفايةٌ وعنده رعايةٌ ومنه العَوْنُ .

· kebanyakan apa yang ditakuti orang itu sebenarnya tidak terjadi , dan kebanyakan berita-berita yang menakutkan itu tidak terjadi, dan cukuplah Allah saja sebagia penjaga, dan disisis Allahlah semua pergawasan dan pertolongan.

· لا تجالسِ البُغضاءَ والثُقلاءَ والحَسَدَة فإنهم حُمَّى الروحِ , وهمْ رُسُلُ الكَدَرِ وحملةُ الأحزانِ .

· jangan banyak bergaul dengan orang-orang pendendam, dan jangan pula dengan orang-orang penganguran serta pendengki , sebab mereka adalah penyakit jiwa pembawa kesedihan dan keresahan.

· حافظْ على تكبيرة الإحرامِ جماعةً , وأكثرِ المُكْثَ في المسجدِ , وعوِّد نفسَك المبادرةَ للصلاةِ لتجدَ السرورَ .

· jagalah selalu bertakbiratul ihram ( sholat pent.) secara berjama'ah, dan perbanyaklah berdiam diri di masjid ( untuk berdzikir pent.) dan biasakan dirimu untuk selalu menyegerakan sholat agar anda mendapatkan kebahagiaan.

· إياك والذنوبَ , فإنها مصدرُ الهمومِ والأحزانِ ، وهي سبب النكباتِ ، وبابُ المصائبِ والأزماتِ .

· jauihilah perbuatan dosa, sebab dia adalah sumber keresahan dan kesedihan, dan pintu musibah serta tekanan jiwa.

· داومْ على ﴿لا إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ﴾ . فلها سرٌّ عجيبٌ في كشف الكْربِ , ونبأٌ عظيمٌ في رفعِ المحنِ .

· bacalah selalu ( doa ) :" laa ilaahaa illa anta subhaanaka innii kuntu minad dhoolimin " sebab dia adalah doa yang memiliki rahasia yang sangat ajaib, untuk menghilangkan kesedihan dan kesulitan, dan merupakan berita besar untuk menghilangkan cobaan.

· لا تتأثْر من القولِ القبيحِ والكلامِ السيئِ الذي يقال فيك ، فإنه يؤذي قائلَه ولا يؤذيك .

· jangan mudah terpengaruh dengan perkataan jelek dan ungkapan keji yang dikatakan tentang diri anda, karena itu akan menyakiti orang yang mengatakannya dan bukan diri anda sendiri.

· سَبُّ أعدائك لك وشتمُ حسّادِك يساوي قيمتَك ؛ لأنك أصبحتَ شيئاً مذكوراً ، ورجلاً مهماً .

· cercaan musuh dan umpatan orang-orang yang dengki kepada diri anda setara dengan nilai harga diri anda, sebab itu anda menjadi bahan omongan dan menjadi terkenal & orang penting .

· اعلمْ أن من اغتابك فقد أهدَى لك حسناتِه ، وحطَّ من سيئاتِك ، وجعلَك مشهوراً، وهذه نعمةٌ .

· ketahuilah bahwa orang yang menghibah, anda berarti memberikan hadiah kebaikan-kebaikan kepada anda, menghapuskan kesalahan-kesalahan anda, dan menjadikan diri anda orang yang terkenal, dan ini merupakan nikmat Allah.

· لا تشدِّدْ على نفسِك في العبادةِ , والزمِ السنةَ واقتصدْ في الطاعةِ , واسلكِ الوسطَ وإياكَ والغُلُوَّ .

· jangan terlalu ketat ( keras ) menekan diri anda sendiri untuk melakukan ibadah, konsistenlah dengan as sunnah dan cukuplah dengan ketho'atan, dan tempuhlan jalan pertengahan dan janganlah engkau ghulu' ( berlebih-lebihan ).

· أخلصْ توحيدك لربك لينشرحَ صدرُك , فبقدرِ صفاءِِ توحيدِك ونقاءِ إخلاصِك تكونُ سعادتُك .

· ikhlashkan tauhid anda kepada Allah Tuhanmu agar hati terbuka dan lapang, sejernih apa tauhid anda dan setulus serta sebersih apa keikhlasan anda (dalam bertauhid ) maka sejernih dan sebersih itupulalah kebahagaian anda.

· كن شجاعاً قويَّ القلبِ ، ثابتَ النفسِ ، لديك همةٌ وعزيمةٌ , ولا تغرنَّك الزوابعُ والأراجيفُ .

· jadilah sosok pemberani yang berhati teguh dan berjiwa kuat, anda memiliki semangat dan tekat , jangan sekali-kali anda termakan oleh rumor / isu-isu dan cerita-cerita yang tidak benar.

· عليك بالجود فإن صدرَ الجوادِ منشرحٌ وباله واسعٌ ، والبخيلُ ضيقُ الصدرِ ، مظلمُ القلبِ ، مكدرُ الخاطرِ .

· jadilah orang yang dermawan sebab orang yang dermawan hatinya akan selalu lapang dan jiwanya luas , sedangkan orang yang pelit sempit dadanya dan hatinya pengap serta nuraninya kotor.

· أبسط وجهَك للناسِ تكسبْ ودَّهم , وألنْ لهم الكلامَ يحبوك , وتواضْع لهم يجلّوك .

· tersenyumlah kepada siapa saja , niscaya anda akan mendapatkan cinta kasih mereka, haluskan tutur kata anda niscaya mereka akan mencintaimu dan rendahkanlah kati kepada mereka niscaya mereka akan menghormati anda.

· ادفع بالتي هي أحسنُ , وترفقْ بالناسِ , وأطفئِ العداواتِ , وسالمْ أعداءُك , وكثّر أصدقاءَكَ .

· balaslah perbuatan baik itu dengan yang lebih baik, berbuat baiklah kepada sesama, dan padamkanlah api permusuhan, berdamailah dengan musuh, dan perbanyaklah teman.

· من أعظم أبوابِ السعادةِ دعاءُ الوالدين , فاغتنمْه ببرِّهما ليكون لك دعاؤهما حصناً حصيناً من كلِّ مكروهٍ .

· pintu kebahagian terbesar adalah doa kedua orang tua, berusahalah mendapatkan doa itu dengan berbakti kepada mereka berdua, agar doa mereka menjadi benteng yang kuat yang menjagamu dari semua hal yang tidak anda sukai.

2/6/12

Syair Muhasabah


Syair Menyentuh Qalbu
o
إذا ما قال لي ربي أما استحييت تعصينـي
وتخفى الذنب عن خلقى وبالعصيان تأتينى
jika Rabbku bertanya kepadaku : kenapa kamu tidak punya rasa malu berbuat maksiyat kepadaku,
o Dan engkau sembunyikan dosa-dosamu dari makhluq ciptaan-Ku dan engkau datang kepadaku dalam keadaan bermaksiyat kepada-KU
o
فكيف أجيب يا ويحى ومن ذا سوف يحمينى
أسلى النفس بالأمال من حين إلـى حيـني
maka bagaimana aku menjawabnya : alahkah celakanya aku, siapakah kiranya yang akan melindungiku ..
o Jiwaku selalu ditipu dengan angan-angan disepanjang waktu

وأنسى ما وراء الموت ماذا بعـد تكفينـى
كأنى قد ضمنت العيش ليس الموت يأتينـى
sehingga aku lalai tentang perkara yang akan terjadi setelah kematian dan setelah aku dikafani
o Seakan-akan aku akan hidup selamanya dan kematian tidak akan mendatangiku.

وجاءت سكرة الموت الشديدة من سيحمينى
نظرت إلى الوجوة أليس منهم من سيفدينى
ketika datang sakaratul maut yang menyakitkan aduhai siapakah kiranya yang dapat melindungiku
o Aku melihat wajah-wajah manusia ( berharap ) semoga mereka mau menolongku


o
سأسأل ما الذى قدمت فى دنيـاى ينجينـى
فكيف إجابتى من بعد ما فرطت فى دينـى
kemudian Rabbku bertanya : apa yang telah engkau persipakan di dunia yang dapat menyelamatkan mu ( dari siksaan-KU )
o Maka apa kah kiranya jawabku, setelah aku lalai dan lupa akan agamaku

ويا ويحى ألم أسمـع كـلام الله يدعونـى
ألم أسمع لما قد جاء فـى قـ و ياسيـني
sungguhnya celakalah diriku : bukankah aku telah mendengar seruan dan pangilan Rabbku
bukankah aku telah mendengarkan peringatan dan kisah dalam surat qaaf dan surat yasin.

ألم أسمع بيوم الحشر يوم الجمـع والديـن
ألم أسمع منادى الموت يدعونـى ينادينـى
bukankah aku telah mendengarkan kisah tentang hari kebangkitan, hari dikumpulkan dipadang maksyar dan hari pembalasan.
o bukankah aku telah mendengarkan malaikat pencabut nyawa yang memangil dan memperingatkanku

فيا ربـاه عبـد تائـب مـن ذا سيؤينـى
سوى رب غفـور واسـع للحـق يهدينـى
wahai rabb hamba ini bertaubat, karena kepada siapa lagi aku mengadu
o Selain kepadamu ya Rabb Yang Maha Luas Ampunannya dan Yang menunjukkan jalan kebenaran kepadaku
o
أتيت إليك فارحمنى وثقـل فـى موازينـى
وخفف فى جزائى أنت أرجى من يجازينى
o Aku datang kepada-MU wahai rabbku maka rahmatilah aku dan beratkanlah timbangan kebaikanku
o Dan ringankanlah balasan ( keburukanku) karena engkaulah dzat yang aku harapkan pahala ( dan surga-MU ) .
Dalam situsnya Dr. Muhammah Al audhiy
http://dr-m-elawadi.ahlamountada.com/t199-topic
disebutkan :
وهذه الأبيات لها قصة مع الإمام أحمد بن حنبل حيث جاء إليه شخص قال له يا إمام ما رأيك في الشعر، قال الإمام وأي شعر هذا، قال الرجل :
إذا ما قال لي ربي أما استحييت تعصيني
وتخفي الذنب عن خلقي وبالعصيان تأتيني

فأخذ الإمام يردد الأبيات ويبكي حتي أصبح له صوت كبكاء الأطفال حتى قال تلامذة الإمام كاد يهلك الإمام من كثرة البكاء .
Kisah syait bait ini sebagai berikut : ada seseorang datang kepada imam ahmad bin hambal, kemudian orang itu bertanya : wahai imam bagaimana pendapatmu mengenai syair ini? kemudian imam ahmad bertanya syair yang mana ? kemudian orang tsb menbacakanya, setelah mendengarnya imam Ahmad mengulang syair tersebut hingga menangis salah seorang muridnya berkata : hampir saja membuat imam ahamd pingsan dikarenakan banyaknya menangis ( wallahu a’lam )

HUKUM MEMBERIKAN HADIAH KEPADA ATASAN


Hukum Memberi Hadiah Kepada Atasan*


Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Terjemah: Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Hukum Memberi Hadiah Kepada Atasan
Pertanyaan: Apakah hukumnya orang yang memberikan barang-barang mahal dengan alasan sebagai hadiah kepada atasannya dalam pekerjaan?
Jawaban: Ini merupakan kesalahan dan sarana menuju keburukan yang banyak. Seharusnya sang atasan tidak menerima hadiah apapun. Sungguh ia bisa menjadi suap dan sarana menuju mudahanah dan khianat (dalam tugas), kecuali bila ia mengambilnya untuk rumah sakit dan kepentingan rumah sakit, bukan untuk dirinya. Dan ia memberitahukan kepada pemberi hadiah bahwa ini untuk kepentingan rumah sakit dan ia tidak mengambilnya. Namun lebih baik baik lagi jika ia menolaknya serta tidak menerimanya baik itu untuk dirinya ataupun untuk rumah sakit, sebab hal itu bisa menyeretnya untuk menerimanya untuk dirinya sendiri. Dan terkadang pemberi hadiah bisa bertindak berani kepada seseorang yang mempunyai kedudukan/ wewenang dikarenakan ia mengharapkan perlakuan lebih baik dari pada yang lainnya. Karena tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebagian sahabat untuk mengumpulkan zakat, ia berkata: ‘Ini untuk kamu dan ini dihadiahkan kepada saya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari hal itu dan berkhutbah di hadapan manusia seraya bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُه فَيَقُوْلُ: هذَا لَكُمْ وَهذَا أُهْدِىَ لِي! أَفَلَا قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيْهِ أَوْ فِى بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا)) [ متفق عليه ]
“Bagaimana keadaan ‘amil (petugas zakat) yang aku mengutusnya, lalu ia berkata: ini untuk kamu dan ini dihadiahkan kepada saya. Apakah ia tidak duduk di rumah bapaknya atau di rumah ibunya, sehingga ia menunggu apakah ada yang memberi hadiah kepadanya atau tidak?’ "( HR. al-Bukhari 6636 dan Muslim 1832).
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban pegawai negeri dalam pekerjaan apapun, adalah melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya dan ia tidak boleh mengambil hadiah yang terkait dengan pekerjaannya, dan apabila ia mengambilnya hendaklah ia menyerahkannya untuk baitul mal (kas negara) dan ia tidak boleh mengambilnya untuk dirinya sendiri. Berdasarkan hadits yang shahih ini, dan karena ia merupakan sarana menuju kerusakan dan melalaikan amanah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Fatwa untuk para karyawan Dinas Kesehatan hal. 44-45.


catatan :
*Fatwa ini disampaikan saat tanya jawab dengan para karyawan dinas kesehatan.
sumber : www.islamhouse.com